tirto.id - Perang Dunia II memasuki babak akhir pada pertengahan 1945. Di bulan Mei tahun itu Jerman secara resmi menyerah kepada Sekutu. Perang memang telah padam di Eropa, tapi tidak di Pasifik. Jepang masih cukup gigih melawan Amerika dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.
Sementara perang masih berkecamuk di Pasifik, para pemimpin Sekutu mengadakan konferensi di Postdam, Jerman, pada 17 Juli sampai 2 Agustus. Para penggede negara-negara Sekutu lengkap hadir, di antaranya Presiden AS Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Perdana Menteri Uni Soviet Joseph Stalin. Kemudian hadir pula pemimpin nasionalis Cina Chiang Kai Sek.
Para pemenang perang itu membahas hal-hal terkait status negara Blok Axis yang kalah, pemulihan Eropa, dan pendefinisian peran Uni Soviet di Eropa Timur. Satu agenda krusial lagi kemudian ikut dibahas: bagaimana memaksa Jepang menyerah. Tapi karena terikat pakta netralitas dengan Jepang, Uni Soviet tidak turut campur dalam soal ini.
Suatu deklarasi lalu diumumkan Amerika, Inggris, dan Cina pada 26 Juli. Pada intinya ketiga negara itu menyeru kepada Jepang yang sudah terjepit untuk menyerah tanpa syarat. Deklarasi juga dilambari ultimatum: Amerika akan membombardir Jepang dengan lebih keras jika Jepang ngotot tak mau menyerah.
Jepang sebenarnya sudah dalam kondisi rentan karena garis pertahanannya di Pasifik sudah rontok. Pada Februari 1944 Angkatan Laut Jepang mengalami kekalahan telak di Filipina. Lalu pada Juli 1944 Jepang tak bisa mempertahankan pangkalan Angkatan Lautnya di Saipan. Pukulan ini sampai membikin krisis di pemerintahan dan memaksa Perdana Menteri Tojo Hideki mundur.
Penggantinya, Koiso Kuniaki, tidak bisa membalik keadaan. Pada Maret 1945 Amerika berhasil merebut Iwo Jima. Koiso akhirnya mundur juga dan digantikan Suzuki Kantaro pada April. Sejak itu pemerintah Jepang sebenarnya sudah agak melunak dan cenderung ke arah perdamaian dengan Sekutu.
Meski begitu, pertempuran masih terbuka. Pada Juni tentara Amerika berhasil merebut Okinawa dan armada laut Jepang sudah lumpuh sejak itu. Jepang benar-benar sudah bobol karena armada Sekutu jadi lebih leluasa meluncurkan serangan-serangan bom ke wilayah utama Jepang.
“Samudera Pasifik yang luas itu kini menjadi semacam ‘danau’ bagi Armada Amerika. Dia dapat berlayar dan berhenti sesukanya. Jenderal MacArthur lalu menyusun rencana untuk mendarat di pulau-pulau Jepang dalam bulan November 1945,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Pasifik (2001: 334).
Mokusatsu yang Ambigu
Ketika berita deklarasi itu sampai ke Jepang, hampir semua menteri Kabinet Suzuki meminta agar negara mereka menyerah secara resmi. Tapi Menteri Angkatan Darat Jenderal Anami Korechika dan kelompok militer menolaknya. Yang terang, harus dicari solusi lain yang lebih terhormat dan tidak merugikan Jepang.
Karena tak ada kebulatan suara, pemerintah akhirnya memilih tak membuat kebijakan apapun untuk sementara. Kepada pers, Perdana Menteri Suzuki menanggapi Deklarasi Postdam itu dengan istilah "mokusatsu"—satu istilah ambigu yang kemudian berefek besar mempercepat deklarasi penyerahan Jepang.
Dosen Sejarah Timur Jauh di Stanford University dan mantan editor Nippon Times selama perang, Kazuo Kawai, menyebut bahwa istilah itu susah dicari padanannya dalam bahasa Inggris. Bahkan dalam bahasa Jepang sekalipun, mokusatsu bisa memiliki banyak arti. Hal ini sempat membuat media bingung bagaimana menafsir sikap pemerintah yang sebenarnya.
“Ia dapat diterjemahkan [ke bahasa Inggris] secara kasar sebagai "to be silent" atau "to withhold comment" atau "to ignore". "To withhold comment" [menahan komentar] mungkin yang paling mendekati pengertian sebenarnya, menyiratkan bahwa ada sesuatu yang ditahan, bahwa ada sesuatu yang signifikan akan datang. Tentu itulah yang dimaksud pemerintah Jepang,” tulis Kawai dalam Mokusatsu, Japan’s Response to the Postdam Declaration (1950).
Apa lacur, dua hari setelah Deklarasi Postdam diumumkan, Jenderal Anami malah memperbolehkan media menerjemahkan mokusatsu dengan pengertian "penolakan dengan mengabaikan". Ia bahkan sudah bersiap untuk melakukan siaran radio untuk mempertegas pengertian itu. Lebih parah, ia melakukannya tanpa persetujuan kabinet.
Siaran itu berhasil dicegah, tapi Radio Tokyo dan kantor berita Domei terlanjur menyebarkan berita bahwa pemerintah Jepang mengabaikan Deklarasi Postdam. Pemerintah Jepang bahkan dikritik karena menggunakan istilah yang ambigu dan tak mempersiapkan antisipasi yang memadai.
“Bagaimanapun, dunia terlanjur menafsir bahwa Jepang menolak Deklarasi Postdam, bahkan meremehkannya. Dengan demikian niat pemerintah Jepang untuk membuka negosiasi yang mungkin akan lebih menguntungkan akhirnya menjadi sia-sia karena Sekutu juga bersikap kepala batu,” tulis Kawai.
Hasil dari kelalaian ini sudah bisa diduga: jatuhnya bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki tiga hari setelah itu.
Faktor Uni Soviet
Hancurnya dua kota itu dan tewasnya ribuan warga tak berdosa rupanya belum cukup untuk memaksa Jepang menyerah. Pimpinan tentara Jepang bahkan tak percaya itu bom atom. Lagi pula, sejak Juni Jepang sudah sering menghadapi hujan bom. Jelas Jepang menganggap bom atom itu tidak lebih menakutkan daripada bom nonatom.
“Menurut ahli-ahli tentara Jepang paling banyak itu bom biasa dari 100 ton. Menunggu penyelidikan yang dilakukan. Tentara Jepang tidak mau mengambil keputusan apa-apa,” tulis Ojong (hlm. 336).
Sumber ketakutan pemerintah Jepang justru datang dari “halaman belakangnya”.
Bersamaan dengan pemboman Nagasaki, Uni Soviet secara mendadak juga menyerang koloni Jepang di Manchuria. Akhirnya setelah sekian lama mendiamkan Jepang, Uni Soviet memutuskan untuk mendukung Sekutu. Itu artinya pakta netralitas di antara dua negara putus.
Tentara Uni Soviet bahkan lanjut menaklukkan Mengjiang (Mongolia), Semenanjung Korea, Pulau Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan berencana menyerbu Hokkaido. Padahal, sebagian besar tentara Jepang difokuskan di selatan untuk bersiap menghadapi serbuan Amerika dari Pasifik yang kemungkinan baru akan terjadi pada November. Tentara Kekaisaran Jepang yang sudah sangat lemah tidak bisa diharapkan lagi untuk melawan Soviet di front kedua di Cina, apa lagi menahan invasi dari utara.
"Uni Soviet akan menghancurkan kekaisaran dan mereka akan mengeksekusi kaisar serta semua anggota keluarga kerajaan," kata sejarawan Jepang Tanaka Yuki sebagaimana dikutip laman ABC News.
Menurut Tanaka, serangan itu membuat pemerintah Jepang kehabisan opsi. Bagaimanapun juga Kaisar Hirohito adalah roh dari Kekaisaran Jepang. Jika tetap ngotot bertempur sampai akhir, konsekuensinya sungguh tidak tertanggungkan bagi Jepang.
Rapat kabinet lengkap diadakan segera pada tengah hari setelah Nagasaki dibom. Rapat yang juga dihadiri Kaisar Hirohito itu berjalan alot karena klik militer di kabinet belum juga mau tunduk. Para jenderal tidak mau ada perlucutan senjata atau pendudukan oleh Sekutu.
Untuk segera mengakhiri perdebatan dan membuat konsensus, Kaisar Hirohito akhirnya angkat bicara.
“Menghentikan peperangan sekarang adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan rakyat dari kehancuran. Saya putuskan bahwa perang ini harus diakhiri,” demikian titah Kaisar Hirohito sebagaimana dikutip Ojong (hlm. 336).
Esoknya, pada 10 Agustus, pemerintah Jepang mengirim dua telegram kepada Sekutu melalui duta besarnya di Swedia dan Swiss. Isinya: pemerintah Jepang secara resmi menerima Deklarasi Postdam dengan tambahan klausul bahwa kedudukan kaisar tak akan diganggu-gugat. Sekutu menjawabnya dua hari kemudian dengan menekankan bahwa Jepang mesti menyerah tanpa syarat.
Kabinet rapat lagi pada 13 Agustus untuk membahas jawaban itu. Kaisar Hirohito juga bertemu semua pemimpin militer untuk meyakinkan bahwa Jepang sebaiknya segera menyerah. Saat itulah konsensus dalam pemerintahan Jepang diperoleh.
Malam itu juga Kementerian Luar Negeri mengirim instruksi lagi ke kedutaan Jepang di Swiss dan Swedia agar menyampaikan kepada Sekutu bahwa Jepang setuju untuk menyerah. Pesan Jepang itu diterima pemerintah Amerika di Washington pada pukul 02.49, 14 Agustus 1945, tepat hari ini 74 tahun silam.
Kaisar Hirohito lantas mempersiapkan naskah Perintah Kekaisaran tentang penyerahan tanpa syarat Jepang. Setelah mendapat ratifikasi kabinet, naskah itu lalu dibacakan Kaisar Hirohito sendiri dan direkam untuk disiarkan keesokan harinya.
“Tanggal 15 Agustus 1945 kedengaran perintah di medan perang, baik di laut maupun darat dan di udara: Cease fire, cease fire... Perang telah berakhir, berhenti menembak,” tulis Ojong (hlm. 337).
Editor: Ivan Aulia Ahsan