tirto.id - Berbulan-bulan lamanya Kaisar Hirohito menderita sakit pankreas. Saat diperiksa pada akhir September 1987, ia diketahui mengidap kanker usus dua belas jari.
Hirohito sempat membaik berkat operasi. Namun, beberapa bulan kemudian, ia tiba-tiba kolaps. Tim dokter menyatakan sang kaisar ternyata masih mengalami pendarahan internal.
Kondisinya tak pernah membaik. Pada 7 Januari 1989, tepat 29 tahun yang lalu, ia dinyatakan meninggal dunia pada pukul 7.55 pagi. Shioci Fujimori, selaku pelayan utama istana, mengumumkan berita duka ke khalayak beserta penyebabnya.
Sepanjang enam dekade masa kepemimpinannya, untuk pertama kalinya, warga Jepang mengetahui bahwa raja mereka mengidap kanker yang mematikan.
Di penghujung riwayatnya, Hirohito tercatat sebagai kaisar Jepang yang paling lama hidup dan paling lama memerintah sebuah monarki. Rekor tersebut kemudian dipatahkan oleh raja Bhumibol Abdulyadej dari Thailand. Namun, Rumah Kekaisaran Jepang masih memegang status sebagai monarki tertua di dunia.
Jepang mengalami dinamika yang luar biasa sebagai sebuah negara pada awal abad ke-20. Di masa itu pula Hirohito mulai menggenggam tahta. Bersamanya, Negeri Matahari Terbit bangkrut akibat perang besar, hingga akhirnya bangkit lagi dan menjadi salah satu adikuasa ekonomi dunia.
Hirohito lahir pada 29 April 1901 di Istana Aoyama, Tokyo, saat kakeknya Kaisar Meiji masih menjabat sebagai kaisar Jepang. Ayahnya, Kaisar Taisho, naik tahta pada 1912 atau saat Hirohito berusia 11 tahun.
Anak lelaki yang biasa dipanggil Michi itu secara resmi diumumkan untuk menjadi penerus Tahta Bunga Krisan pada 2 November 1916. Dua tahun sebelumnya ia telah menamatkan Sekolah Sebaya Gakushuin. Sampai tahun 1921 ia melanjutkan pendidikan di lembaga khusus untuk putra mahkota.
Ayahnya adalah lelaki yang tidak fit secara fisik maupun psikis untuk menjalankan tugas sebagai penguasa tertinggi. Taisho hanya bertahan selama 14 tahun. Pada 25 Desember 1926, ia meninggal karena serangan jantung yang diawali penyakit pneumonia.
Awal abad ke-20 adalah masa yang bergejolak, terutama secara politik, sebagai imbas dari pergulatan ideologi-ideologi baru sekaligus efek dari Perang Dunia I.
Untung militer Jepang sedang dalam kondisi yang cukup bugar. Mereka memiliki salah satu angkatan laut terkuat di dunia. Jepang juga berstatus sebagai satu dari empat anggota permanen League of Nations, organisasi global pertama dengan misi menjaga perdamaian dunia.
Jepang masih berupaya keluar dari efek Depresi Besar. Namun, kondisi ekonomi mereka tergolong lebih baik ketimbang negara lain. Jepang menguasai pasar dunia dengan memanfaatkan porak-porandanya Eropa usai Perang Dunia I, bahkan tercipta surplus perdagangan untuk pertama kalinya sejak era Edo.
Analisis tersebut mengemuka dalam artikel ilmiah Masato Shizume yang diunggah Bank of Japan Review dengan tajuk "The Japanese Economy during the Interwar Period" (2009).
Memasuki 1930-an, tulis Masato, ekonomi Jepang tercatat sebagai yang paling tidak terdampak oleh Depresi Besar jika dibandingkan dengan negara-negara industrialis lain. Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang mencapai 5 persen per tahun. Sebanyak 30 persennya disumbang oleh sektor manufaktur dan pertambangan.
Di awal kepemimpinan Hirohito, kekuatan militer pelan-pelan meningkat di dalam tubuh pemerintahan. Benih fasisme tumbuh subur. Sebagian besar dari hasil pertumbuhan industri Jepang kemudian dipakai untuk menguatkan pertahanan Jepang.
Menguatnya militerisme menumbuhkan hasrat akan perluasan wilayah. Jepang memulainya dengan diam-diam mengebom jalur kereta api di Mukden sebagai alasan untuk menginvasi Cina daratan.
Hirohito tidak menentangnya, tetapi ia ingin agar rahasia seputar insiden Mukden dipegang erat agar Jepang tak terlihat agresif. Perluasan wilayah juga sama dengan peningkatan sumber daya alam (SDA). Rezim memanfaatkannya lagi-lagi untuk menopang industri militer, termasuk melalui sistem kerja paksa.
Masato Shizume mencatat Jepang sukses melebarkan teritorinya hingga ke Asia Tenggara sepanjang tahun 1937-1941. Mereka mengeruk batubara di Cina, tebu di Filipina, beras dari Burma, hingga minyak bumi, timah, dan bauksit dari Hindia Belanda (Indonesia).
Kekuatan Jepang makin solid saat memasuki Perang Dunia II. Mereka mendapat banyak kemenangan di fase awal. Tapi, mulai tahun 1943, Jepang berangsur-angsur takluk. Militer Amerika Serikat makin merangsek ke wilayah mereka. Hampir setiap AS melancarkan serangan bom melalui udara di berbagai kota, termasuk Tokyo.
Memasuki pertengahan 1945, Sekutu memenangkan pertempuran di Eropa usai kekalahan Jerman dan Italia. Hirohito mulai mempertimbangkan opsi yang asing sekaligus terdengar “haram” di telinga orang-orang Jepang: menyerah.
Sejumlah sejarawan, termasuk penulis buku Hirohito And The Making of Modern Japan (2009) Herbert P. Bix, menggambarkan Hirohito sebagai sosok yang reputasiya melebihi kepala negara. Ia adalah keturunan dewa matahari Amaterasu, personifikasi bangsa, pemimpin spiritulitas negara, dan simbol persatuan rakyat Jepang.
Hirohito juga diharapkan menjadi teladan atas sikap tanpa menyerah yang melekat di benak setiap warga Jepang, terutama prajuritnya. Daripada kalah atau menanggung malu karena ditangkap musuh, prajurit Jepang lebih memilih mati atau bunuh diri, sebagaimana dicontohkan para samurai dengan ritual seppuku (harakiri).
Namun, Jepang saat itu benar-benar sudah hancur. Bom atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi klimaks serangan udara AS. Barang kebutuhan langka. Inflasi melesat naik. Transportasi lumpuh. Industri mandek. Ekonomi compang-camping. Belum lagi dengan ancaman serangan dari Uni Soviet usai dipatahkannya pakta netralitas kedua negara.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 kekaisaran Jepang membagikan pengumuman melalui jaringan radio yang mampu menjangkau para tentara yang sedang berada di koloni, langsung dari mulut Hirohito. Di hari itu pula sebagian besar warga Jepang untuk pertama kalinya mendengar suara sang kaisar.
Nadanya tinggi serta kaku. Ia memakai bahasa Jepang klasik yang lebih susah dipahami orang awam. Tapi pesan utama jelas: Jepang menyerah kepada Sekutu.
“Kami telah menyuruh pemerintah untuk berkomunikasi dengan pemerintahan AS, Britania Raya, Cina, dan Uni Soviet bahwa kerajaan kita menerima kesepakatan mereka,” katanya, merujuk pada permintaan Sekutu agar Jepang menyerah tanpa syarat.
Max Fisher menyadur ulang beberapa pokok pidato Hirohito dalam laporan The Atlantic edisi 15 Agustus 2012 untuk memperingati 67 tahun peristiwa bersejarah tersebut. Hirohito akhirnya menyingkirkan tekanan dari para jenderal yang ingin Jepang meneruskan perang sampai titik darah penghabisan.
Hirohito memilih damai.
“Untuk berjuang demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama semua bangsa, serta keamanan dan kesejahteraan rakyat kita, adalah kewajiban serius yang telah diwariskan oleh nenek moyang kekaisaran dan yang dekat dengan hati kita.”
Hirohito menambahkan bahwa Sekutu telah menggunakan bom baru sekaligus yang paling kejam, sampai-sampai mampu menyeret korban jiwa dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.
“Jika kita terus berjuang, yang terjadi bukan hanya keruntuhan bangsa Jepang, tetapi juga kepunahan total peradaban manusia.”
Max Fisher menggarisbawahi deklarasi tersebut sebagai faktor utama yang membentuk Jepang hingga hari ini: cinta damai, anti-perang, menjunjung tinggi kemanusiaan. Kondisi yang ideal—meski harganya adalah harga diri Hirohito yang mewakili harga diri seluruh warga Jepang.
Beberapa sejarawan percaya Hirohito bertanggung jawab langsung atas kekejaman tentara Jepang, baik di Perang Cina-Jepang Kedua maupun di Perang Dunia II.
Argumen mereka didasarkan pada konstitusi era Kaisar Meiji yang menyebut bahwa kaisar juga berstatus sebagai kepala angkatan bersenjata Jepang. Oleh sebab itu Hirohito dan beberapa anggora keluarga kekaisaran semestinya diseret ke pengadilan internasional atas dasar kejahatan perang.
Kenyataannya tidak demikian. Satu teori menyebutkan bahwa penyebabnya adalah keputusan Jenderal AS Douglas MacArthur yang memandang Hirohito diperlukan Jepang sebagai simbol kebangkitan pasca-perang. Hirohito pun meneruskan kepemimpinannya, dan anggota keluarganya aman dari persekusi.
Meski demikian, ada perubahan status dari kaisar yang berdaulat sepenuhnya atas Jepang menjadi pemimpin monarki konstitusional. Perubahan ini tercantum dalam Konstitusi 1947 yang mengamandemen Konstitusi Meiji. Sebagian besar isinya didikte oleh AS selaku pemenang perang.
Tujuh tahun setelahnya adalah periode AS mengokupasi AS Jepang. Kembali mengutip laporan Max Fisher, Hirohito menggambarkannya seperti “menanggung yang tak tertahankan dan menderita apa yang tak bisa diderita”.
Standar kehidupan di perkotaan menurun amat drastis. Pangan langka. Penyakit menjangkiti orang-orang. Kelaparan massal mewabah di mana-mana. Tentara yang berada di bekas koloni tak punya modal pulang kampung. Ada yang jadi pekerja murah di Uni Soviet hingga meninggal. Lainnya bernasib tak jelas.
Jepang boleh bangkrut. Tapi semangat hidup warganya tak pernah surut. Di tengah usianya yang kian menua, Hirohito juga tetap menjalankan tugasnya selaku pemersatu dan penguat moral bangsa.
Ideologi ultra-nasionalisme dibuang. Demokrasi disambut. Etos kerja dan kedisiplinan yang menakjubkan membuat Jepang mudah bangkit. Para ahli menyebutnya sebagai keajaiban karena pertumbuhan ekonomi Jepang melesat dalam durasi dan skala yang melampaui ekspektasi orang-orang.
Robert J. Crawford menganalisisnya di kanal Harvard Bussines Review dengan judul Reinterpreting the Japanese Economic Miracle (edisi Januari-Februari 1998). Ia menulis hingga pertengahan 1950-an ekonomi Jepang mengalami penyembuhan berkat reformasi ekonomi dari pemerintah.
Investasi AS juga datang, baik yang terprogram maupun karena disetir Perang Korea yang memaksa AS memusatkan logistik dan produksi senjatanya di Jepang.
Industrialisasi jalan lagi. Hingga awal 1970-an Jepang mengalami pertumbuhan PDB yang menjanjikan. Konsumsi meningkat, baik yang pokok hingga yang rekreasional. Atmosfer ini menggerakkan berbagai sektor industri pemenuh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Di saat yang bersamaan proyek infrastruktur terus digenjot hingga ke pelosok. Memasuki 1980-an Jepang menjadi telah memantapkan diri sebagai salah satu eksportir tersukses. Produk kebudayaan modern mereka laris manis di pasar dunia. Pasar saham Jepang berkali-kali meraih rekor tertinggi.
Hirohito hidup untuk membersamai Jepang melalui periode yang amat dinamis. Mulai saat mereka memetik keberhasilan restorasi Meiji, lalu hancur digempur Sekutu, hingga akhirnya bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, di tahun kematiannya, pada awal Januari 1989.
Editor: Maulida Sri Handayani