tirto.id - Joko Widodo optimistis Indonesia mampu keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah alias middle income trap 2045. Ini adalah situasi ketika suatu negara sukses mencapai tingkat pendapatan menegah, tapi tidak dapat melangkah lebih maju--menjadi negara maju.
Presiden ke-7 Indonesia itu bermimpi Produk Domestik Bruto (PDB) bisa menyentuh 7 triliun dolar AS saat umur RI genap satu abad. Dengan PDB sebesar itu, kata Jokowi, Indonesia akan termasuk lima besar negara dengan perekonomian maju dengan tingkat kemiskinan mendekati nol persen.
"Kita harus menuju ke sana. Kita sudah hitung, sudah kalkulasi, target tersebut sangat masuk akal dan sangat memungkinkan," ujar Jokowi usai dilantik sebagai presiden untuk masa jabatan 2019-2024 di Senayan, Ahad (20/10/2019).
Tapi, realistiskah ekspektasi tersebut?
Jika pertanyaan ini dialamatkan kepada ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, maka jawabannya adalah "tidak". Ia menilai ekspektasi tersebut terlalu tinggi dan cukup sulit dikejar.
Pasalnya, menurut Bhima, untuk menuju ke sana rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada pada angka 8-9 persen per tahun. Sementara dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan tak beranjak dari kisaran 5 persen.
Faktanya, dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional RPJMN) 2020-2024 saja, pemerintah masih mencantumkan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4-6 persen.
“Kalau sampai 2024 saja masih seperti itu, berat. Terlalu jauh untuk 2045,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Senin (21/10/2019).
Menurut World Bank, syarat menjadi negara maju alias high income country adalah rata-rata Pendapatan Nasional atau Gross National Income (GNI) di atas 12.055 dolar AS per kapita.
GNI 3.896-12.055 dolar AS per kapita disebut upper middleincome; 996-3.895 dolar AS per kapita lower middle income; dan kurang dari 996 dolar AS per kapita adalah low income country.
Indonesia, per 2018 lalu, memiliki GNI 3.840 dolar AS per kapita dan sempat naik tipis per Februari 2019 menjadi 3.927 dolar AS per kapita. Artinya, ekonomi Indonesia butuh peningkatan empat kali lipat untuk beranjak dari upper middle income ke high income.
Kondisi kian muskil lantaran resesi ekonomi global diprediksi berlangsung cukup lama. Kalaupun perlambatan berakhir satu tahun ke depan, terang Bhima, masih perlu 3-4 tahun untuk pulih.
Lesunya aktivitas ekonomi global itu bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi sejumlah negara seperti Argentina, Norwegia, Turki, hingga Singapura yang nilainya di bawah 0 persen.
Sejumlah negara juga diprediksi akan sulit mencari pendanaan karena investor lebih memilih aset yang lebih aman dilihat dari makin tingginya imbal hasil yang ditawarkan.
Tekanan Internal & Eksternal
PDB yang jadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal dihantam dengan penurunan harga komoditas seperti batu bara hingga minyak sawit dunia. Sementara konsumsi domestik, yang menopang lebih dari 50 persen PDB, juga masih tergopoh-gopoh.
Bhima mencontohkan, per Desember 2018, pertumbuhan penjualan mobil secara year on year mengalami kontraksi dan masih berlanjut per Juni 2019.
Belum lagi per 2020 nanti, pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan dan mencabut sebagian subsidi kelistrikan dan solar.
“Dia (Jokowi) mungkin lupa tahun depan ada resesi ekonomi global. Paling enggak seharusnya fokus jaga agar ekonomi enggak turun di bawah 5 persen,” ucap Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan peluang ekonomi untuk tumbuh lebih dari 5 persen dan keluar dari middle income trap masih terbuka asalkan pemerintah bisa menggenjot industri manufaktur yang pertumbuhannya terkontraksi dalam beberapa tahun terakhir.
Data BPS menunjukkan, pertumbuhan manufaktur berada di kisaran 3,54 persen pada kuartal II/2019, turun dari periode sama tahun sebelumnya yang berada di posisi 3,88 persen.
Jika industri makin lesu, Indonesia bisa gagal memanfaatkan bonus demografi yang akan berakhir pada tahun 2036. Penduduk usia produktif--15-64 tahun--yang jumlahnya sangat banyak tak bisa terserap ke pasar tenaga kerja. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah untuk belanja sosial bakal makin besar lantaran pengangguran berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan.
Gabungan dari kegagalan berbagai faktor itu, menurut Faisal sudah barang tentu akan benar benar membuat Indonesia terjebak di pendapatan menengah.
Menurutnya, pemerintah layak khawatir karena untuk mencapai posisi saat ini yaitu upper middle income membutuhkan 23 tahun.
"Kita perlu akselerasi dan tidak bisa dengan cara-cara lama. Jadi salah satu yang disebutkan perlu rehabilitasi industri manufaktur. Kalau mau mendorong pertumbuhan dia harus tumbuh tinggi di atas 10 persen kayak Cina itu industrinya tumbuh dobel digit," ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/10/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana