tirto.id - International Monetary Fund (IMF) resmi memangkas target pertumbuhan ekonomi dunia 2019 menjadi 3 persen dari sebelumnya 3,2 persen. Pemangkasan ini menjadi yang keempat kalinya IMF merevisi target sepanjang tahun ini.
IMF juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020, dari 3,5 persen menjadi 3,4 persen. Ihwal revisi yang berkali-kali itu lantaran belum meredanya perang dagang antara AS dan Cina, sehingga berdampak terhadap geliat ekonomi global.
“Dengan perlambatan menyeluruh dan ketidakpastian pemulihan, tidak ada ruang untuk kesalahan kebijakan. Penting agar pembuat kebijakan mengurangi eskalasi perang dagang,” ucap Ketua Ekonom IMF, Gita Gopinath seperti dikutip dalam Times.
Kondisi ini juga tampaknya akan kian parah menyusul adanya potensi dimulainya perang dagang AS dengan Eropa. Dilansir dari AFP, AS akhirnya mengenakan tarif terhadap barang Eropa dengan nilai mencapai US$7,5 miliar.
"Eropa siap membalas, tentu dengan framework sebagaimana diatur dalam WTO (World Trade Organization)," kata Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis dikutip dari AFP pada 18 Oktober 2019.
Namun, proyeksi IMF soal pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2019 dan 2020 belum berubah. Sejak revisi terakhir pada April 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020.
Dengan ekonomi global yang lesu geliat ekonomi Indonesia tidak bisa dibilang aman-aman saja. Bagaimana pun, Indonesia dipastikan tetap akan terdampak,terutama terkait ekspor. Sementara dari konsumsi dalam negeri masih terbilang cukup kuat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik ketimbang negara-negara lainnya lantaran konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang besar terhadap PDB Indonesia, yakni sekitar 56 persen.
"Selama domestik demand masih kuat, mungkin kita bisa menetralisir [tekanan eksternal]," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Kekhawatiran Pelaku Usaha
Lantas, bagaimana dengan para pelaku usaha?
Tidak seperti Menkeu, para pelaku usaha justru khawatir dengan revisi proyeksi IMF yang berkali-kali tersebut. Kekhawatiran itu diutarakan oleh Rosan Roeslani, selaku Ketua Umum Kadin Indonesia.
Menurut Rosan, revisi IMF terhadap proyeksi ekonomi global itu berpotensi menurunkan permintaan. Sejumlah pengusaha pun akan ancang-ancang untuk menunda ekspansi sampai ada perbaikan.
“Kalau demand flat tentunya kami tidak akan ekspansi besar-besaran. Mungkin akan tumbuh di beberapa bidang, tapi beberapa bidang yang lain mengalami perlambatan,” ucap Rosan kepada wartawan di Jiexpo Kemayoran Jakarta.
Rosan berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa insentif di tengah suramnya ekonomi global. Misal, melalui insentif pajak berupa super deductable tax 200-300 persen bagi perusahaan di bidang vokasi.
Kekhawatiran juga disampaikan Adhi S. Lukman, selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia. Menurutnya, ekonomi global yang melambat sebenarnya itu mulai dirasakan industri makanan minuman (mamin).
Dia bahkan bilang akhir-akhir ini ekspor dan penjualan produk mamin ke luar negeri semakin sulit. Belum lagi, sejumlah negara juga mulai bersikap proteksionisme melalui penerapan tarif bea, seperti Cina, Singapura dan Filipina.
“Saya dapat laporan waktu di Trade Expo Indonesia Kemendag kemarin, mereka merasakan penjualan semakin sulit dan berdampak ke ekspor,” ucap Adhi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/10/2019).
Adhi menilai pasar mamin di domestik sebenarnya masih bertahan. Namun dalam jangka panjang, ia khawatir daya beli masyarakat akan turun sebagai imbas penurunan di sejumlah sektor usaha lantaran terdampak lesunya ekonomi global.
Sejumlah langkah efisiensi juga sudah mulai dilakukan industri dalam menghadapi lesunya ekonomi global, di antaranya dengan penggunaan bahan baku yang lebih murah, penggunaan teknologi (otomatisasi) dan lain sebagainya. Namun, tak menutup kemungkinan, pengurangan karyawan juga akan dilakukan agar lebih efisien.
“Kami sudah mengupayakan efisiensi seperti beralih ke proses yang lebih murah semacam automation. Meskipun memang ada dalam waktu dekat kalau tidak menambah kapasitas, mungkin bisa berkurang karyawannya,” ucap Adhi.
Adhi pun berharap pemerintah bisa memangkas sejumlah regulasi yang membuat biaya tinggi di antaranya pemangkasan waktu izin impor bahan baku industri mamin guna mengantisipasi harga bahan baku yang mendadak naik saat menunggu pasokan.
Industri Tekstil Optimistis
Di lain pihak, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) justru optimistis bisa melalui lesunya ekonomi global. Hal itu dikarenakan industri TPT yang berorientasi ekspor mengantisipasi dengan memperluas negara tujuan ekspor, seperti ke Afrika dan Timur Tengah.
“Saya enggak mau pesimis. Indonesia bisa keluar di akhir tahun ini. Di sektor saya juga bisa lolos,” ucap Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, Ade mengakui terdapat sejumlah pengusaha TPT yang mengalami penumpukan stok akibat perlambatan ekonomi. Namun ia tetap optimistis lantaran industri juga sudah terbantu dengan bea masuk safeguard bagi produk tekstil.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang