tirto.id - “Percayalah,” kata Donald Trump, di atas mimbar, dengan mimik muka serius. “Aku tidak datang ke sini, malam ini, untuk menjanjikanmu macam-macam hal tentang Israel. Itulah yang dilakukan politisi: omong doang, tak dibarengi tindakan nyata. Percaya deh.”
Janji tersebut disambut tepukan tangan meriah oleh sekitar 20.000-an peserta konferensi tahunan Komite Urusan Publik Israel Amerika (Amerikan Israel Public Affairs Commitee/AIPAC) pada akhir Maret 2016. Sebuah acara yang turut merekam kata-kata Trump bahwa Israel itu “teman dan pendukung sejati Israel” dan mendeklarasikan “prioritas utamanya adalah membongkar kesepakatan buruk dengan Iran” jika terpilih sebagai presiden AS, demikian kutip Politico.
Apa yang keluar dari mulut Trump memang kontroversial sejak kampanye, tapi publik AS (dan dunia) tak menyangka dirinya mampu memenangkan pertarungan dari Hillary Clinton, sang wakil Partai Demokrat. Hampir setahun berjalan, pemerintahan Trump merealisasikan satu per satu janjinya.
Salah satunya resmi disampaikan pada Rabu (6/12/2017) kemarin: AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan merencanakan pemindahan kedutaan besarnya ke kota suci tersebut.
Baca juga: Keputusan Trump dalam Bingkai Sejarah Konflik Yerusalem
AIPAC gembira. Tak berapa lama kemudian mereka merilis sebuah pernyataan dukungan kepada pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel “yang tak terbagi”. Mereka mengingatkan kembali bahwa janji tersebut, plus pemindahan kedubes AS ke Yerusalem, sebenarnya sudah tertuang dalam Jerusalem Embassy Act yang diloloskan Kongres AS tahun 1995, dan AIPAC “mendukungnya dengan amat kuat”.
AIPAC adalah salah satu kelompok Zionis tukang lobi di pemerintahan AS agar kebijakan-kebijakan luar negeri AS memberikan keuntungan pada Israel. AIPAC bergerak mulai dari departemen eksekutif negara hingga di kongresnya. Dengan anggota yang kini mencapai kurang lebih 100.000 orang yang tersebar di 17 kantor dan didukung oleh jaringan donor yang luas, AIPAC adalah salah satu grup lobi terkuat di Amerika Serikat.
Tahun lalu pejabat kongres California Brad Sherman menyebut AIPAC sebagai “organisasi terpenting untuk mempromosikan aliansi AS-Istael”. Pada 1997, majalah Fortune menyebut AIPAC sebagai grup paling berpengaruh kedua di Washington DC. Washington Post menyebutkan AIPAC mendapat dukungan besar dari politisi Yahudi di Partai Republikan, tapi tak sedikit juga yang berasal dari Partai Demokrat.
Saking kuatnya pengaruh AIPAC di kalangan politisi elit AS, dalam konferensi tahun lalu tak hanya Trump yang hadir, tapi juga Hillary Clinton, mantan Wapres Joe Biden, dan ketua dewan legislatif Paul Ryan. Dulu sempat ada anggapan bahwa AIPAC mendapat dukungan kuat dari kubu Republikan saja, tapi hal ini disanggah AIPAC sebab mereka juga dekat dengan organisasi pro-kepentingan Israel di AS yang berhalauan liberal, J Street.
Baca juga: Perbedaan Sikap Umat Kristen Soal Donald Trump-Yerusalem
AIPAC pertama berdiri pada tahun 1951 dengan nama American Zionist Comitee for Public Affairs, sebagai divisi lobi American Zionist Council. Perubahan nama terjadi pada tahun 1963. AIPAC menjalani proses tumbuh kembang yang bertahap. Mereka bukan apa-apa di tahun 1950 dan 1960-an. Memasuki era 1970 dan 1980-an barulah mereka memiliki daya tawar yang besar seiring makin banyaknya pemodal Yahudi yang tertarik menanamkan kepentingannya di pemerintahan AS.
Misi pokok mereka, sebagaimana yang tercantum di laman resmi AIPAC, adalah “untuk memperkuat, melindungi, dan mempromosikan hubungan AS-Israel dengan cara meningkatkan keamanan Amerika Serikat dan Israel.”
Dalam pelaksanaannya, anggota AIPAC bertemu secara rutin dengan anggota Kongres AS, biasanya dengan cara menyelenggarakan sebuah acara khusus, dan mengundang politisi yang akan dilobi-lobi. Harapannya, jika lobi berhasil, si politisi akan memperjuangkan aspirasi AIPAC di kongres hingga menjadi sebuah undang-undang.
Salah satu undang-undang penting yang sejumlah pengamat politik nilai sebagai keberhasilan penting bagi lobi AIPAC adalah terbitnya Jerusalem Embassy Act tahun 1995. Isinya memerintahkan pemerintahan AS untuk memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem paling lambat 31 Mei 1999. Pemerintah AS juga mesti membantu 50 persen dana pemindahan. Langkah ini adalah simbol dari pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel oleh pemerintah AS.
Baca juga: Yahudi yang Anti-Zionis, Yahudi yang Pro-Palestina
Presiden Bill Clinton dan George W. Bush menjanjikan realisasi UU ini saat kampanye, namun saat sudah terpilih memilih untuk menundanya dengan menandatangani hak penolakan tiap 6 bulan. Barrack Obama pun melakukan sama, bedanya ia tak menjanjikannya di kampanye presiden. Sementara Trump, meski dipandang kontroversial, mewujudkan omongannya ke dalam aksi sungguhan ketimbang Clinton atau Bush.
Salah satu tujuan pokok yang diprioritaskan AIPAC adalah tetap mengalirnya dana bantuan AS untuk Israel. Menurut catatan USA Today, sepanjang tahun 2010-2015 menghabiskan dana lebih dari $14 juta untuk melobi anggota kongres dan agen federal agar dana militer AS tetap mengalir ke dana militer Israel.
Demi tujuan ini saja, pada tahun 2013 kemarin total $1,4 juta dihabiskan AIPAC untuk mendanai 77 kunjungan anggota Kongres AS ke Israel, demikian menurut analisis Political MoneyLine yang dilansir oleh USA Today.
Pertengahan September 2016, sebagaimana dilaporkan Guardian, lobi AIPAC dan grup Zionis AS kembali menuai buah manisnya. Pemerintah AS sepakat akan memberikan dana bantuan militer untuk Israel sebesar $38 miliar yang akan diturunkan bertahap selama satu dekade ke depan. Jumlahnya terbilang amat fantastis, sampai-sampai Gedung Putih menyebutnya sebagai bantuan militer asing terbesar dalam sejarah.
Jumlahnya juga naik dari yang sebelumnya mencapai $30 miliar untuk periode 2006-2016. Meski demikian, sebenarnya dana yang turun di periode tersebut mencapai lebih dari $35 miliar sebab permintaan tambahan dari Israel selalu dikabulkan oleh Kongres AS. Kongres AS rutin mendanai pertahanan rudal Israel. Untuk satu dekade ke depan, dana khusus untuk kebutuhan ini dianggarkan sebanyak $5 juta, namun ujung-ujungnya diperkirakan akan tetap bertambah.
Baca juga: Sekolah-Sekolah Palestina dalam Cengkeraman Israel
Tujuan pokok kedua dari lobi-lobi AIPAC adalah agar pemerintah AS memperketat tekanan kepada Iran melalui sanksi-sanksi baru terutama terkait proyek pengayaan uranium Negeri Para Mullah itu.
Iran adalah musuh ideologis Israel. Hingga hari ini Iran adalah salah satu dari sedikit negara yang berani menentang proyek Zionisme Israel secara radikal. Artinya, Iran ingin Israel angkat kaki sepenuhnya dari tanah air bangsa Palestina yang diduduki hingga saat ini—termasuk kota suci tiga agama Yerusalem. Iran tak akan diam selama Israel ada dan menjalankan proyek aneksasinya.
Israel dan grup-grup lobi Zionis di AS menganggap Iran sebagai ancaman utama dan mendorong pemerintah AS bersikap serupa. AIPAC dan grup lobi Zionis lain dulu sempat kecewa dengan sikap Obama yang terkesan melunak terhadap Iran selama dua periode menjabat sebagai orang nomor satu di Gedung Putih.
Kini mereka bisa menarik nafas lega sebab Trump bersikap sebaliknya: bongkar seluruh kesepakatan AS-Iran era Obama, kini saatnya AS meninggalkan sikap kompromistis, proyek nuklir Iran adalah berbahaya.
Baca juga: Lobi Israel di Indonesia
AIPAC hanyalah salah satu tukang lobi untuk kepentingan Zionis di kalangan politisi AS. Ahli kebijakan luar negeri AS John Mearseimer dan Stephen Walt menulis untuk Commentary Magazine bahwa kelompok lobi Zionis lain yang punya daya tawar tinggi di Washington adalah Washington Institute for Near East Policy, Anti-Defamation League dan Christians United for Israel.
Organisasi lain yang turut mempengaruhi kebijakan luar negeri AS agar menguntungkan Israel, baik yang condong ke sayap kanan maupun yang cenderung liberal, adalah Zionist Organization of America. American Jewish Congress, Israel Policy Forum, American Jewish Committee, Religious Action Center of Reform Judaism, Americans for a Safe Israel, American Friends of Likud, Mercaz-USA, dan Hadassah.
Tujuan pokok yang ingin dicapai kelompok-kelompok tersebut serupa dengan AIPAC. Organisasi Zionis Amerika atau ZOA, misalnya. ZOA adalah organisasi Zionis pertama di AS yang berdiri pada tahun 1897 dengan anggota yang mencapai lebih dari 25 ribu.
Mereka memberikan dukungan penuh saat Deklarasi Balfour lahir pada tahun 1917. Deklarasi Balfour adalah dukungan resmi Inggris untuk pendirian tanah air bagi orang-orang Yahudi, dengan demikian bisa dianggap sebagai bibit realisasi proyek Zionisme.
Baca juga: Mengapa Israel Gelisah Saat Palestina Gabung Interpol?
Saat negara Israel dideklarasikan pada tahun 1948, ZOA memobilisasi dukungan baik dari kalangan pemerintah, kongres, maupun masyarakat AS untuk memberikan dukungannya. Mereka mengkritik penunjukan George W. Mitchell sebagai utusan AS untuk Timur Tengah pada tahun 2009 karena Mitchell dinilai kurang pro-Israel. Mereka juga mendesak Kongres AS untuk mengetatkan sanksi untuk Iran sekaligus menuntut transparansi penuh untuk dana bantuan kemanusiaan AS untuk warga Palestina.
Dengan demikian, pada hari di mana Trump mengejutkan dunia dengan klaim sepihaknya terkait status Yerusalem, ZOA merilis dukungan yang di laman resminya dengan judul “ZOA Memuji Presiden Trump karena Mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan Rencana Memindahkan Kedutaan Besar ke Sana”. Isinya berisi argumen teologis hingga politis untuk menguatkan keputusan Trump—yang sesungguhnya melabrak aturan internasional dan dikecam hampir seluruh politisi dunia.
“Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem memperkuat keamanan AS dan meningkatkan penghormatan di seluruh dunia terhadap AS dengan mendemonstrasikan bahwa AS dapat diandalkan untuk menjaga komitmennya terhadap sekutu-sekutunya, dan tidak akan terintimidasi dan menunjukkan kelemahan dengan menenangkan ancaman Islam radikal.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani