Menuju konten utama
Perdana Menteri Inggris

Liz Truss Datang Saat Inggris Berantakan

Mary Elizabeth “Liz” Truss menjabat Perdana Menteri Inggris tersingkat. Ia menjabat ketika situasi negara sedang banyak masalah.

Liz Truss Datang Saat Inggris Berantakan
British Prime Minister Liz Truss takes her seat for the funeral service of Queen Elizabeth II at Westminster Abbey in central London, Monday Sept. 19, 2022. The Queen, who died aged 96 on Sept. 8, will be buried at Windsor alongside her late husband, Prince Philip, who died last year. (Ben Stansall/Pool via AP)

tirto.id - (Artikel sebelumnya: Liz Truss: Peniru Margaret Thatcher yang Gagal Total )

Di Inggris, perdana menteri tidak dipilih dengan mandat dari suara populer rakyat seperti pemilihan presiden di Indonesia. Dalam pemilu, yang biasanya diselenggarakan setiap lima tahun sekali, warga memilih anggota parlemen dari daerah pemilihan masing-masing.

Dalam pemilu yang berlangsung 12 tahun terakhir—dari tahun 2010, 2015, pemilu dini 2017 dan terbaru pada 2019—mayoritas anggota parlemen terpilih berasal dari Partai Konservatif. Mereka, atau koalisi beberapa partai di parlemen, kemudian mengangkat perdana menteri yang lazimnya adalah pemimpin partai berkuasa.

Ketika seorang perdana menteri mengundurkan diri, sebagaimana selama ini rutin terjadi di Inggris, bukan berarti harus pemilu lagi. Partai yang berkuasa di parlemenlah yang kemudian akan memberikan suara untuk menentukan pemimpin baru partai sekaligus perdana menteri.

Hal itulah yang terjadi dua kali berturut-turut hanya dalam kurun waktu kurang dari empat bulan. Drama elite politik ini diawali pada minggu pertama bulan Juli. Ketika itu Boris Johnson mengumumkan akan mengundurkan diri dari jabatan yang sudah dipertahankannya selama tiga tahun.

Langkah tersebut diambil Johnson setelah nyaris 60 pejabat di pemerintahannya lebih dulu mengundurkan diri. Mereka pergi sebagai bentuk protes atas berbagai skandal yang membelit sang perdana menteri, seperti mengadakan pesta ketika terdapat aturan pembatasan berkumpul selama pandemi Covid-19 dan mengangkat pejabat yang melakukan pelecehan seksual.

Lebih dari itu, dilansir dari BBC, mundurnya Johnson diangggap berkaitan dengan kegagalannya meredam inflasi. Johnson, yang dalam kampanye tahun 2019 berjanji mempermulus proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Get Brexit Done) dan mewujudkan kemakmuran, juga dikritik sudah kehilangan fokus dan tak lagi punya pendirian atau visi dalam menjalankan roda pemerintahan.

Rekam jejak Johnson menarik pajak lebih tinggi dari sektor bisnis maupun kalangan pekerja juga membuatnya semakin tidak populer.

Selain itu, kinerja Johnson dalam menangani pandemi Covid-19 juga tidak luput dari kritik. Administrasinya pun dianggap gagal mengatasi krisis layanan kesehatan pemerintah (National Health Service/NHS). Di sana terdapat masalah keterbatasan jumlah tenaga kesehatan sampai unit rumah sakit. Akibatnya pasien dapat mengantre berbulan-bulan sampai dapat ditangani di meja operasi.

Di balik hujan kritik yang disematkan pada administrasi Johnson, pemerintah Inggris pada dasarnya dinilai sudah gagal dalam mengatasi karut-marut sosioekonomi yang muncul sejak 52 persen warga menyatakan ingin keluar dari persekutuan ekonomi Uni Eropa dalam referendum tahun 2016.

Menurut analisis Paul Hannon dan Jason Douglas di Wall Street Journal, selama enam tahun terakhir, pemerintah Inggris belum menunjukkan prestasi nyata sebagai negara yang bebas dan merdeka dari Uni Eropa.

Mereka memang berusaha keras menavigasi ulang relasi dagang dan merombak regulasi dengan berbagai negara agar dapat memperoleh keuntungan lebih besar, akan tetapi hasilnya tetap saja tidak sesuai ekspektasi. Perjanjian dengan Washington, misalnya, dianggap tidak lebih menguntungkan karena isinya sekadar replikasi kesepakatan dagang lama antara Inggris dengan Uni Eropa.

Seiring itu, sektor bisnis semakin kesulitan mengakses pasar tunggal Uni Eropa yang terdiri dari 445 juta konsumen. Sebabnya, aturan yang mempermudah komoditas berpindah tempat—tanpa dikenai bea cukai atau inspeksi—tak lagi berlaku.

Belum beres perkara Brexit, pemerintah Inggris di bawah administrasi baru Johnson dipusingkan dengan situasi sosioekonomi yang pelik akibat pandemi Covid-19. Semenjak itu, keberlangsungan hidup sehari-hari ini jadi biang kekhawatiran publik. Survei Ipsos pada Juni silam mengungkapkan bahwa mayoritas responden menganggap inflasi dan ekonomi sebagai dua masalah paling penting yang dihadapi Inggris.

Seiring aktivitas publik kembali menuju normal, permintaan terhadap bahan bakar seperti minyak dan gas mengalami peningkatan. Masalahnya, stoknya terbatas. Invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun juga berdampak pada tersendatnya pasokan energi dari Rusia dan gandum—yang tidak lain bahan pangan utama—dari Ukraina. Akibatnya, harga komoditas sehari-hari semakin mahal dan menimbulkan inflasi parah.

Sampai bulan September, tingkat inflasi di Inggris mencapai 10,1 persen—tertinggi dalam empat dekade. Dampaknya sangat terasa pada produk konsumsi sehari-hari. Dalam setahun terakhir, harga susu mengalami kenaikan sampai 30 persen, tepung 29 persen, minyak dan keju masing-masing di atas 20 persen.

Tingkat kerentanan pangan, yaitu kondisi ketika seseorang tidak bisa mengakses makanan bergizi atau tidak punya cukup uang untuk membelinya, juga meningkat. Masih pada bulan September, kondisi tersebut dialami oleh 18 persen rumah tangga atau sekitar 9,7 juta orang dewasa. Sekitar empat juta anak juga terdampak.

Dalam rangka meredam dampak kenaikan harga komoditas, administrasi Johnson menawarkan keringanan berupa diskon tagihan energi senilai 400 pound sterling untuk setiap rumah tangga yang berlaku selama enam bulan sejak Oktober. Pensiunan juga dibantu dengan potongan 300 pound sterling dan penyandang disabilitas 150 pound sterling, sementara delapan juta rumah tangga miskin disokong dengan bantuan ekstra 650 pound sterling.

Kebijakan tersebut dikritik sebatas solusi sesaat karena kelak besar tagihan akan kembali normal—kecuali pemerintah berkomitmen menurunkan harga dasarnya.

Orang-orang kecewa dan sebagian dari mereka menyuarakannya melalui demonstrasi sejak musim panas kemarin. Mula-mula dimotori oleh pegawai kereta, moda transportasi paling populer di Inggris. Gerakan protes ini kemudian diikuti oleh pengacara, supir bus, tukang bongkar muat, tukang sampah, pegawai Amazon, bahkan wartawan dari media anti-serikat buruh Daily Express. Mereka semua gusar karena gajinya tidak disesuaikan dengan tingkat inflasi yang meroket.

Infografik SC Krisis Ekonomi di Inggris

Infografik SC Krisis Ekonomi di Inggris. tirto.id/Tino

Dalam kondisi karut-marut itulah Boris Johnson mengundurkan diri sebagai perdana menteri dan Mary Elizabeth “Liz” Truss mengajukan diri sebagai pengganti.

Setelah serangkaian proses seleksi, pada 5 September lalu Truss resmi terpilih menjadi pemimpin partai. Sehari kemudian ia menerima mandat dari Ratu Elizabeth II untuk menyusun pemerintahan.

Tapi pemerintahannya hanya seumur jagung. Truss mundur pada 20 Oktober, jadi aktif tak sampai 50 hari atau hanya tujuh minggu. Ini membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai perdana menteri dengan masa jabatan tersingkat.

Apa saja peristiwa penting yang terjadi dalam periode tersebut?

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait LIZ TRUSS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino