Menuju konten utama

Boris Johnson, Sobat Bromance Trump di Kursi PM Inggris

Rasis, seksis, Islamofobik, dan homofobik: inilah gambaran dari Perdana Menteri Inggris yang baru, Boris Johnson.

Boris Johnson, Sobat Bromance Trump di Kursi PM Inggris
Perdana Menteri Inggris yang baru Boris Johnson di London, Rabu, 24 Juli 2019. AP Photo/Frank Augstein)

tirto.id - Inggris punya perdana menteri baru. Namanya Boris Johnson. Selasa (23/7) kemarin, sebagaimana diwartakan BBC, Johnson terpilih setelah mengalahkan pesaingnya, Jeremy Hunt, dengan 92.153 banding 46.656 suara—dari total 160 ribu pemilih.

Selain jadi perdana menteri, Johnson juga akan memimpin gerbong Partai Konservatif di Inggris. Ia menggantikan Theresa May yang mundur beberapa waktu lalu. Dalam pidato kemenangannya, Johnson berjanji bakal “merealisasikan Brexit, menyatukan negara, dan mengalahkan Jeremy Corbyn (dari Partai Buruh).”

Lawannya, Hunt, mengaku kecewa dengan hasil yang ada. Meski begitu, ia berkeyakinan Johnson dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kata Hunt, Johnson memiliki “kepercayaan diri tinggi” dan itu merupakan "kualitas yang berharga".

Jurnalis, Politikus, Orang Bebal

Johnson lahir di New York, AS. Nama lengkapnya adalah Alexander Boris de Pfeffel Johnson. Ia lulusan Universitas Oxford. Sebelum jadi politikus, Johnson lebih dulu meniti kariernya di dunia jurnalistik. Laporan Deutsche Welle menyebut ia pertama kali bekerja untuk koran Times. Tapi, ia tak lama di situ. Johnson dipecat setelah kedapatan memalsukan kutipan.

Dari Times, Johnson pindah ke The Daily Telegraph sebagai koresponden di Brussels, Belgia. Ia ditugaskan meliput isu-isu yang berkembang di kawasan Eropa tengah. Di masa inilah sikap kritisnya terhadap Uni Eropa terasah dan kelak berandil besar dalam dukungannya terhadap Brexit. Karier Johnson pun menanjak hingga jadi editor di Telegraph dan Spectator.

Memasuki milenium baru, Johnson bergabung dengan Partai Konservatif dan masuk parlemen. Delapan tahun berselang, setelah dirasa cukup bekal, Johnson maju ke dalam kontestasi pemilihan wali kota London. Lawannya adalah Ken Livingstone dari Partai Buruh. Tak disangka, Johnson berhasil menang. Pencapaian tersebut terasa istimewa sebab London dikenal sebagai lumbung suara Partai Buruh.

Johnson menduduki jabatan itu selama dua periode, dari 2008 sampai 2016. Mengutip Vox, sepak terjang Johnson selama jadi wali kota London cukup berwarna: dari menggenjot pembangunan infrastruktur, mempersiapkan Olimpiade 2012, kampanye sepeda sebagai alat transportasi massal secara masif, sampai insiden konyol bertajuk "tersangkut di atas Victoria Park".

Tak semua pemberitaan tentang Johnson mengundang apresiasi. Selama bertahun-tahun, Johnson kerap bikin kontroversi. Segala julukan dialamatkan kepadanya, dari rasis, seksis, Islamofobia, atau malah kombinasi ketiganya.

Pada 2002, misalnya, masih mengutip Vox, Johnson menyebut orang-orang Afrika sebagai "pickaninny", ejekan rasis yang mengacu pada anak berkulit gelap keturunan Afrika. Lima tahun setelahnya, giliran Hillary Clinton yang dirisak Johnson dengan umpatan “perawat sadis di rumah sakit jiwa”. Pernah pula Johnson menghubungkan Papua Nugini dengan kanibalisme.

Tahun lalu, dalam sebuah kolom di Telegraph, Johnson menyebut bahwa perempuan muslim yang mengenakan burqa mirip “kotak surat” dan “perampok bank”.

Infografik Boris Johnson

Infografik Boris Johnson. tirto.id/Sabit

Militan Brexit

Pada 2016, Brexit menjadi wacana politik yang dibicarakan secara luas. Masyarakat Inggris berdebat apakah Britania Raya akan keluar atau tetap di Uni Eropa.

Johnson adalah salah satu politikus yang berdiri di garda terdepan kubu pro-Brexit. Komentar-komentarnya yang penuh kontroversi memberi legitimasi bagi publik untuk mengambil pilihan untuk keluar dari Uni Eropa. Di saat bersamaan, ia sangat giat mencari dukungan dukungan dan menjadi koordinator tak resmi dalam kampanye “Vote Leave”.

Keinginan Johnson agar Brexit terwujud dilandasi anggapan bahwa Inggris hanya dijadikan sapi perah oleh Uni Eropa. Selain itu, Johnson berkeyakinan Inggris bisa berdiri tegak tanpa harus bergabung dengan Uni Eropa.

Saking inginnya Inggris cabut dari UE, Johnson bahkan sampai meletakkan jabatannya sebagai menteri luar negeri pada Juli 2018, setelah Theresa May gagal melakukan pendekatan yang tegas kepada parlemen. May sendiri pada akhirnya juga mundur gara-gara proposal Brexit-nya ditolak parlemen untuk ketiga kalinya.

Para analis berpendapat terpilihnya Johnson menjadi perdana menteri bisa jadi membuka babak baru negosiasi Brexit. Pasalnya, Johnson dipandang memiliki relasi yang cukup baik dengan parlemen. Ditambah lagi, Johnson juga punya jaringan solid di kalangan politikus pro-Brexit yang sudah ia bentuk sejak 2016. Ibarat kata, Johnson hanya tinggal meyakinkan satu-dua hal yang sebelumnya gagal dilakukan oleh May dan para pendahulunya.

Namun, apakah dengan begitu masalah sudah selesai? Tentu tidak. Jen Kirby, masih dalam tulisannya di Vox, menyebut kehadiran Johnson pada dasarnya tak mengubah signifikan konstelasi politik yang muncul dalam dinamika Brexit. Karena pada dasarnya, proposal yang ditawarkan Inggris kepada Uni Eropa tidak dianggap populer dan lembaga ini telah punya sikap tak akan lagi membuka negosiasi. Johnson harus berkejaran dengan waktu sampai Oktober 2019: bisakah ia memecah kebuntuan yang ada?

Teman Bromance Trump

“Selamat kepada Boris Johnson karena menjadi perdana menteri Inggris yang baru. Ia akan hebat!

Begitulah tweet Presiden AS Donald Trump tak lama usai Johnson terpilih sebagai perdana menteri. Ungkapan Trump merangkum betapa hangat relasi sang presiden rambut oranye dengan Johnson.

Sebelum masuk ke babak itu, hubungan keduanya pernah tak kondusif. Pada 2015, misalnya, mengutip The Washington Post, Johnson menyatakan bahwa Trump “tak layak jadi presiden” setelah yang bersangkutan mengkritik kebijakan pengamanan di London untuk mengantisipasi gerak ekstremis sayap kanan.

Tak hanya itu, ketika Trump mewacanakan larangan masuk ke AS bagi imigran di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, Johnson menanggapinya sebagai “omong kosong”.

Namun, tak ada yang abadi dalam dunia politik. Kemarin lawan, besok mungkin justru jadi kawan. Inilah yang muncul dalam relasi Johnson-Trump. Hubungan keduanya perlahan berubah akrab dan hangat. Terlebih setelah relasi Trump dengan May memburuk, salah satunya, catat Politico, karena bocornya pesan diplomatik Inggris yang menyebut pemerintahan Trump “tidak berfungsi” dan “tidak layak”.

Kedekatan keduanya sebetulnya tak mengejutkan. Johnson dan Trump punya karakteristik yang sama.

Cas Mudde, ilmuwan politik yang fokus pada riset-riset tentang populisme, menulis komentar The Guardian berjudul “Is Boris Johnson Really Britain's Trump?” (2019). Ia menjabarkan kesamaan antara dua kepala pemerintahan berambut pirang itu:

Keduanya sama-sama banyak omong, punya skandal perselingkuhan, naik ke kekuasaan karena privilese, oportunis, narsis, melakukan pendekatan politik yang aneh, gemar bikin disinformasi, dan agresif secara verbal. Tak lupa, rasis dan seksis.

Meski demikian, perbedaan keduanya tetaplah ada. Johnson dianggap jauh lebih konservatif secara sosial maupun politik ketimbang Trump karena ia adalah produk dari pendidikan elite Inggris yang terkenal sangat konservatif.

“Singkatnya, Boris Johnson mungkin sedekat itu dengan Trump—sama seperti anggapan bahwa Inggris adalah negara paling Amerika di Eropa. Tapi, pada akhirnya, Johnson adalah orang Inggris, seperti halnya Trump adalah orang Amerika. Ia produk dari budaya dan kelas elite tertentu, penuh dengan privilese dan tradisi, di mana ia punya loyalitas dan tanggung jawab,” tulis Cas.

Dengan terpilihnya Johnson, relasi AS-Inggris nampaknya akan aman-aman saja, dengan catatan selama Johnson tak membuat kebijakan yang menyinggung kepentingan AS (baca: tetap berada dalam satu kubu). Misalnya dalam isu Iran dan perang dagang dengan Cina.

“Ikatan chemistry antara keduanya akan jauh lebih baik,” ungkap Amanda Sloat, analis di lembaga think tank asal Washington DC, Brookings Institution. “Trump jelas telah memihak pada Johnson, meski untuk sementara waktu. Dan tentu saja mereka akan punya gagasan yang sama tentang Brexit.”

Dua negara yang terpisahkan Laut Atlantik kini punya pemimpin yang sama: sama-sama pirang, rasis, seksis, dan bebal.

Baca juga artikel terkait BREXIT atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf