Menuju konten utama

Benarkah Golput Memuluskan Kemenangan Trump, Brexit, dan Bolsonaro?

Benarkah kemenangan populisme sayap kanan di beberapa negara terbantu oleh golput?

Benarkah Golput Memuluskan Kemenangan Trump, Brexit, dan Bolsonaro?
Pengunjuk rasa anti-Brexit berdemo di depan House of Parliament di London, Inggris, Rabu (3/4/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah Mckay

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak memilih atau golongan putih (golput) dalam sebuah pemilihan umum kerap menjadi kambing hitam untuk naiknya populisme sayap kanan. Demikian pula di Indonesia jelang Pilpres 2019. Tapi, akuratkah klaim ini?

Wacana golput dalam Pilpres 2019 menguat setelah petahana Joko Widodo (Jokowi) memilih Ma’ruf Amin sebagai pasangan cawapres pada akhir 2018 lalu. Pilihan Jokowi rupanya mengecewakan sejumlah pendukungnya. Pasalnya, Ma’ruf yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menjadi saksi yang memberatkan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam persidangan kasus penodaan agama.

Sebagian pendukung Ahok dan mereka yang punya perhatian pada pasal karet penistaan agama bereaksi keras, salah satunya dengan mengancam akan golput dalam Pilpres 2019.

Sejumlah tokoh akhirnya berupaya menekan angka golput. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, misalnya, mencoba pihak-pihak yang kecewa atas pilihan Jokowi agar tidak golput. “Jangan ketika tidak terakomodir, lalu golput, itu jangan. Kami juga punya aspirasi berbeda, tapi kami tetap dukung Jokowi,” ucap Grace.

Lebih lanjut, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan sikap golput adalah pengecut dan menyarankan agar mereka yang golput "tak usah jadi WNI (Warga Negara Indonesia) sekalian".

Mahfud MD juga menyarankan agar golput dihindari dengan alasan "pesta demokrasi itu menyenangkan". Sementara Kaka Slank mengatakan bahwa "suara lu berpengaruh".

Jokowi sendiri menyatakan golput sebagai “ancaman faktual” dalam Instruksi Presiden RI Nomor 7 tahun 2018 tentang Rencana Aksi Bela Negara Tahun 2018-2019 (PDF, hlm.31).

Budiman Sujatmiko, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam cuitannya di Twitter tanggal 10 Oktober 2018 mengaitkan dampak golput pada pemilu presiden AS.

“Hillary kalah oleh Trump dlm pilpres (menurut sistem Electoral College) karena banyak pendukung Sanders yg memutuskan Golput ... (Tolong renungkan. Siapa yg diuntungkan jika sebagian pendukung pak @jokowi golput?),” tulis Sujatmiko.

Ia berkaca pada bagaimana kemenangan Donald J. Trump dalam pemilu AS 2016—yang mendorong gelombang populisme sayap kanan di berbagai belahan dunia—salah satunya adalah akibat kontribusi tidak langsung golput di AS. Namun, apakah korelasi positif antara golput dengan kebangkitan populisme sayap kanan seperti yang disebutkan Sujatmiko benar-benar nyata?

Golput di Brexit

Setidaknya ada tiga momen yang disebut-sebut sebagai tonggak penting kemenangan populisme sayap kanan di seluruh dunia: terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, Brexit, dan kemenangan Jair Bolsonaro dalam pemilihan presiden di Brazil.

Indikasi meningkatnya populis sayap kanan di Inggris dalam beberapa tahun terakhir ditandai dengan aksi Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Sebagai catatan, ide Brexit sendiri memang muncul dari para politisi yang skeptis terhadap Uni Eropa dan manfaat lembaga tersebut bagi Inggris.

Pada 2013, Perdana Menteri David Cameron yang berasal dari Partai Konservatif menjanjikan akan mengadakan referendum untuk menentukan keanggotaan Inggris di Uni Eropa jika Partai Konservatif menang dalam pemilu 2015. Partai Konservatif pun memasukkan agenda ini ke dalam manifesto mereka. Mereka pun memenangkan pemilu tersebut.

Dalam survei yang diadakan oleh Open Europe pada 2015, sebesar 56 persen responden mengatakan ingin agar Inggris tetap tergabung di dalam keanggotaan UE jika referendum dilaksanakan pada hari ketika survei berlangsung. Hanya 35 persen yang setuju Inggris meninggalkan UE sementara sembilan persen belum memutuskan.

Persentase ini sempat berubah setelah serangan teroris di Paris, Perancis, pada November 2015. Namun, menjelang referendum 2016, sebagian besar survei, seperti dilaporkan oleh Guardian, memperkirakan suara yang ingin Inggris tetap bergabung dengan UE (stay) lebih unggul.

Namun, prediksi tinggal prediksi. Suara yang setuju Inggris meninggalkan UE menang tipis dari yang setuju untuk tetap bergabung, dengan persentase masing-masing sebesar 51,9 persen (17,4 juta suara) dan 48,1 persen (16,1 juta).

Tingkat partisipasi dalam referendum tersebut sebesar 72,2 persen dari total 46,5 juta pemilih dengan surat suara yang ditolak sebesar 26.033 surat suara. Ini berarti menyisakan hampir 28 persen atau kurang lebih sebesar 13 juta orang yang tidak ikut dalam refendum tersebut.

Jumlah tersebut tentu tidak sedikit, terlebih jika melihat selisih kemenangan pemilih ‘keluar’ (leave) cukup tipis yakni sekitar 1,5 juta suara dari pemilih ‘tetap’ (stay) Apa yang terjadi jika para golput itu ikut dalam referendum brexit?

Dalam survei pasca referendum Profesor Harold Clarke dari University of Texas, Profesor Matthew Goodwin dari University of Kent dan Profesor Paul Whiteley dari University of Essex menemukan seandainya pun kaum golput memilih dalam referendum tersebut, maka pemilih ‘tetap’ akan memenangkan referendum dengan selisih tipis sebesar 50,35 persen suara.

Namun ketiganya memiliki catatan khusus terkait hasil tersebut. “Angka ini masih belum menjadi bukti konklusif bahwa opsi ‘tetap’ memiliki dukungan mayoritas dari pemilih secara keseluruhan. Sebaliknya, hasil 50,35 persen ini hanya perkiraan dari kekuatan pemilih ‘tetap’,” tulis mereka di laman The Conversation.

Jurnalis Adam Payne di Business Insider memiliki hipotesa senada. Dalam analisisnya terhadap poling pasca-referendum terhadap kaum golput, mereka yang setuju pada posisi ‘tetap’ lebih banyak dibandingkan posisi ‘keluar.’

“Semua penelitian yang ditunjukkan di artikel ini sepakat pada satu tema dasar—kampanye ‘tetap’ gagal memotivasi pendukung potensial,” tulisnya.

Dilansir Reuters, survei YouGov pada Januari 2019 lalu menunjukkan sebanyak 46 persen responden akan memilih untuk ‘tetap’ dibandingkan 39 persen yang memilih untuk tinggal jika referendum diselenggarakan secepatnya. Ini agaknya mengindikasikan bahwa memang terdapat perubahan sentimen publik dalam kurun waktu hampir tiga tahun sejak referendum 2016 diselenggarakan.

Pemilu Presiden Brazil dan AS

Brazil dan AS adalah dua kasus lain yang sering dijadikan contoh tentang risiko golput di tengah ancaman populisme sayap kanan. Politisi sayap kanan Brazil Jair Bolsonaro kini duduk di istana kepresidenan, hasil dari kemenangannya pada pemilu 2018. Sementara Donald Trump telah tiga tahun menjabat presiden setelah mengalahkan Hillary Clinton pada Pilpres 2016.

Brazil mewajibkan warganya ikut pemilu. Jumlah pemilih yang memiliki hak coblos 147,3 juta orang. Pemilu diselenggarakan selama dua putaran sebab pada putaran pertama tidak ada kandidat yang meraih lebih dari separuh total suara.

Dari pemilu putaran pertama itu, sebagaimana dilansir Valor, Bolsonaro dan Fernando Haddad keluar sebagai kandidat teratas. Di putaran kedua, Bolsonaro berhasil meraih 55,3 persen suara (57,7 juta suara) mengungguli Haddad yang meraih 44,87 persen (47 juta).

Sebanyak 21,3 persen pemilih abstain, 7,43 persen merusak surat suara (null), sementara 2,14 persen mengosongkan surat suara. Artinya ada sekitar 30 persen orang yang memiliki hak pilih tidak masuk ke dalam jumlah pendukung kedua kubu dalam hari pemilihan.

Namun, tidak seperti pada kasus Brexit, jika menilik pada laporan Quartz dan Washington Post, alasan mengapa banyak orang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu adalah karena ketidaksukaan mereka terhadap kedua kandidat.

Atamai Moraes, seorang mahasiswa jurusan medis, misalnya, mengatakan bahwa tidak memilih kedua kandidat adalah bentuk protes yang dapat dilakukan oleh rakyat. “Merusak [surat suara] adalah tanda penghinaan, pertanda tidak setuju dengan para kandidat dan dua posisi mereka,” sebutnya, dilansir Quartz. “Tidak ada hasil ideal yang sebenarnya. Semua kemungkinan [pilihan presiden] sangat mampu merusak demokrasi kita.”

Publik Brazil memang dihadapkan pilihan sulit. Jika mereka tidak setuju dengan Bolsonaro, maka mereka dihadapkan pada Haddad yang didukung oleh Luiz Inacio Lula da Silva atau Lula, mantan presiden yang dipenjara karena kasus korupsi. Anthony Pereira, direktur King's College Institute di Brazil, mengatakan sejumlah orang takut jika Haddad terpilih maka ia akan membebaskan Lula.

Namun Pereira juga mengatakan tingginya golput dalam pemilu Brazil adalah hal yang lazim sejak lama.

Infografik Golput Global

undefined

Melansir Guardian, sebanyak sekitar 40 persen masyarakat AS yang memiliki hak pilih tidak berpartisipasi dalam Pilpres 2016. Persentase ini setara dengan sekitar 92 juta orang, jika menggunakan data 232 juta pemilih dari Washington Post. Ini hampir selaras dengan perkiraan tingkat partisipasi oleh Michael McDonald dari University of Florida yang mencapai sebesar 58,9 persen, dilansir Forbes.

Guardian mencatat alasan untuk golput di AS pada Pilpres 2016 bermacam-macam. Salah satunya, karena kaum Golput merasa Trump niscaya kalah sehingga suara mereka tidak berarti. Namun perlu dicatat, dari poling mini yang dilakukan Guardian dari sekitar 100 responden, sebanyak 65 persen mengatakan tak menyesali keputusan mereka untuk golput.

Kendati demikian, studi Pew Research Center mencatat pemilih demokrat dan kalangan independen yang condong pada kandidat Demokrat mengisi ceruk 55 persen non-pemilih. Artinya ada kemungkinan jika golput yang berusia di bawah 30 tahun berpartisipasi dalam pemilu, Hillary Clinton dapat mengamankan sejumlah suara elektoral kunci di beberapa negara bagian sehingga potensi menang lebih besar, demikian lapor Fortune.

FiveThirtyEightmelaporkan masyarakat AS yang berpartisipasi dalam pemilu populer 2016 didominasi oleh orang kulit putih dengan persentase mencapai 75 persen, menurut survei bersama SurveyMonkey dan FiveThirtyEight.

Baca juga artikel terkait GOLPUT atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf