tirto.id - Sejak ditetapkan sebagai calon presiden periode kedua, 2019-2024, Joko Widodo terus-terusan meminta masyarakat tidak absen berpartisipasi dalam pemilu alias golput. Hal serupa disuarakan barisan pendukungnya, termasuk Slank, grup musik yang telah membela Jokowi sejak 2014. Bimbim Slank bahkan bilang "golput itu cemen".
Megawati Sukarnoputri bahkan mencap "pengecut" mereka yang tak mau memilih. Ia pun menyarankan orang-orang ini "tak usah jadi WNI" sekalian.
Suasana berbeda tampak pada kelompok capres-cawapres lain. Tak ada imbauan dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno beserta timnya untuk tidak golput, setidaknya itu tak terekam media massa.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean bahkan memberikan kesan heroik kepada mereka yang memilih jadi golput.
"Demokrasi kita rugi, memang. Tapi golput juga butuh keberanian. Memilih untuk tidak memilih itu juga pilihan," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (3/4/2019).
Sikap Jokowi dan tim kampanye yang antigolput, tapi di sisi lain kubu oposisi cuek, dapat dimengerti jika kita melihat kesimpulan beberapa lembaga survei. LSI Denny JA dan Indo Barometer, misalnya.
Penjelasan mereka kira-kira sama: bahwa golput merugikan 01--nomor urut Jokowi-Ma'ruf--karena kelompok ini sebetulnya punya kecenderungan memilih petahana. Makin tinggi angka golput, makin besar pula kemungkinan Jokowi-Ma'ruf memperoleh angka yang tak maksimal. Makin kecil pula selisih suara mereka dengan lawan (dalam semua survei, Jokowi-Ma'ruf selalu unggul).
Budiman Sudjatmiko, politikus PDIP, bahkan kerap mengait-ngaitkan ini dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Menurutnya, seperti yang sering ia cuitkan di Twitter, Trump terpilih karena banyak pendukung Bernie Sanders dan Hillary Clinton memilih golput.
Ia hendak bilang memilih golput bisa saja mengantarkan Prabowo ke kursi RI-1.
Tapi betulkah kalau golput benar-benar hanya merugikan petahana?
Merujuk survei lain, jawabannya adalah: tidak. CSIS, misalnya, bahkan mengatakan golput lebih merugikan Prabowo daripada Jokowi. Penjelasannya sederhana: faktanya elektabilitas Prabowo masih lebih rendah dari Jokowi. Pemilih Jokowi juga, menurut survei mereka, lebih loyal.
Kemantapan pemilih petahana mencapai 84,4 persen, sementara oposisi cuma 81,3 persen. Sementara soal elektabilitas, Jokowi mendapat 51,4 persen, unggul dari Prabowo yang hanya memperoleh suara 33,3 persen.
Sementara Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan yang perlu diperhatikan terlebih dulu adalah penyebab orang tak memilih. Memang ada yang secara sadar tak memilih, alias golput ideologis. Tapi ada pula alasan lain, misalnya kendala teknis yang membuat nama mereka tak ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Di survei tadi ada 2,1 persen pemilih yang punya hak memilih, tapi belum terdaftar. Ini potensial golput teknis, ada juga golput misalnya enggak dapat surat undangan memilih. Itu juga potensial dan jumlahnya lebih besar dibanding yang ideologis," kata Burhan.
Istilah golput teknis juga dipakai peneliti Sri Yuniarti dalam "Golput dan Pemilu di Indonesia". Golput teknis termasuk nama tidak terdaftar; tidak bisa ke TPS karena harus masuk kerja atau menghadiri perayaan keagamaan; hingga ingin berlibur mumpung ada libur panjang akhir pekan.
'Golput teknis' ini jelas tak mengenal preferensi politik. Beda dengan golput ideologis yang mungkin memang hanya merugikan Jokowi-Ma'ruf, golput teknis merugikan keduanya.
Survei CSIS menyebut ada tujuh persen dari jumlah DPT, atau setara 13 juta orang, yang memilih berlibur ketika hari pencoblosan, 17 April 2019.
"Mereka kalau ditanya saat survei bisa menyatakan pilihannya, tapi pas hari H, mereka memutuskan jalan-jalan. Itu apatis," tambah Burhan.
Karena alasan-alasan itulah Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar menilai sulit menebak siapa yang betul-betul merugi karena ada jutaan orang tak bisa memilih atas alasan apa pun. Namun yang jelas keduanya tetap rugi.
"Susah mengidentifikasi karena apa dan kecenderungannya ke mana," kata Usep kepada reporter Tirto.
Bagaimana menekan angka golput non-ideologis ini, selain memperbaiki aspek administrasi yang merupakan ranah Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Menurut peneliti CSIS Arya Fernandez, di sini medan tempur sesungguhnya tim sukses masing-masing: "siapa lebih militan, lebih solid, dan lebih kerja keras untuk mendakwahkan orang ke TPS."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino