tirto.id - Angka partisipasi pemilih dan golongan putih (golput) di Provinsi Bali cukup mengkhawatirkan. Dari data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali, tampak angka partisipasi pemilih hanya tercapai 71,92 persen dari target partisipasi minimal yang ditetapkan, yaitu 75 persen.
Rinciannya, jumlah orang yang menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS) hanya sebanyak 2.364.485 orang dari total 3.287.601 yang terdata dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih khusus (DPK). Hal tersebut berarti sebanyak 923.116 orang tidak memberikan hak suaranya ketika Pilkada serentak berlangsung di 27 November 2024 yang lalu.
Angka golput itu bahkan tampak lebih tinggi dibandingkan perolehan suara pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Made Muliawan Arya dan Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS) versi hitung internal PDIP berbasis C Hasil Salinan. Berdasarkan hitungan tersebut, Mulia-PAS hanya mampu meraup 886.053 suara dengan selisih 528.231 suara dari paslon nomor urut 2, Wayan Koster dan I Nyoman Giri Prasta.
Masing-masing kabupaten dan kota yang ada di Bali pun gagal memenuhi target yang ditetapkan, yaitu 85 persen. Raihan tertinggi partisipasi masyarakat dalam Pilkada diraih oleh Kabupaten Tabanan yang menggapai angka 82,75 persen, diikuti oleh Kabupaten Gianyar yang berada pada angka 82,47 persen, Kabupaten Bangli yang meraih angka 78,40 persen, dan Kabupaten Badung di angka 78,01 persen.
Sementara itu, Kabupaten Klungkung berada di angka 73,41 persen, disusul Kabupaten Karangasem yang meraih 72,85 persen dan Kabupaten Jembrana yang berada pada angka 71,19 persen. Ironisnya, Kota Denpasar yang menjadi ibu kota Bali dan Kabupaten Buleleng yang mencatatkan jumlah penduduk terbanyak justru berada di bawah 70 persen, yaitu 61,39 persen untuk Buleleng dan 59,55 persen di Denpasar.
KPU Buka Suara Perihal Tingginya Golput
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali, I Gede John Darmawan, mengungkap faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya angka golput di Bali. Pertama adalah karena banyaknya pemilih yang sudah tidak berdomisili di tempat dia terdaftar sebagai pemilih, lalu adanya perusahaan swasta yang tidak meliburkan karyawannya.
“Terutama perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata,” kata John ketika dihubungi Kontributor Tirto, Rabu (04/12/2024).
Selain itu, cuaca juga dianggap menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam Pilkada. Pasalnya, saat hari pemungutan suara pada 27 November yang lalu, Bali sempat diguyur hujan di prime time waktu pencoblosan. Kecamatan Denpasar Barat, wilayah yang memiliki tingkat partisipasi paling rendah, juga sempat diguyur hujan.
“Walau tidak bermaksud menyalahkan semesta, cuaca di beberapa jam utama (terjadi) hujan deras hampir merata di (seluruh) kabupaten/kota,” sambung John.
John juga menjelaskan angka tersebut berasal dari rekapitulasi di tingkat kecamatan yang telah rampung dan masih pada rata-rata tingkat partisipasi pemilih di Provinsi Bali dari tahun ke tahun. Partisipasi pemilih di Kota Denpasar pun telah mengalami kenaikan sebanyak 5,5 persen dari angka 54 persen di Pilkada 2020 yang lalu.
Di tempat terpisah, Ketua KPU Kota Denpasar, Dewa Ayu Sekar Anggaraeni, berkata bahwa rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak di Kota Denpasar adalah karena tidak terdistribusinya formulir C Pemberitahuan Pemungutan Suara kepada pemilih. Terdapat 14 persen formulir yang ternyata tidak sampai ke tangan pemilih dengan beragam alasan, seperti meninggal dunia, pindah domisili, atau tidak ditemui di kediaman.
“Kita bisa lihat dari rekapitulasi C Pemberitahuan yang tidak terdistribusi. Paling tinggi adalah pindah domisili, tidak dikenal, dan tidak dapat diterima orang di sana,” ungkapnya di Denpasar, Rabu (04/12/2024).
Kondisi penduduk Kota Denpasar yang heterogen juga dinilai menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Dari peta persebaran pemilih per kecamatan di Kota Denpasar, ditemukan bahwa penduduk pendatang banyak terkonsentrasi di Denpasar Selatan dan Denpasar Barat. Akibatnya, rasa memiliki terhadap Bali kalah oleh kesibukan bekerja.
“Sesuai tingkat partisipasinya rendah. Kalau Denpasar Timur dan Denpasar Utara warga aslinya lebih banyak daripada pendatang,” beber Sekar.
Golput Simbol Perlawanan Masyarakat?
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Warmadewa, Anak Agung Gde Brahmantya Murti, menyayangkan tingginya angka golput di Pulau Dewata ini. Menurutnya, tingkat partisipasi masyarakat menjadi refleksi kondisi demokrasi dan perpolitikan yang ada di Bali, sebab keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan negara menjadi kunci penting pemerintahan yang baik dan demokratis.
“Sayangnya dalam Pilkada saja mereka tidak menggunakan suara dan hak mereka, apalagi ikut secara aktif mengawal kebijakan publik,” tutur Brahmantya, dihubungi Kontributor Tirto, Rabu (04/12/2024).
Lebih lanjut, Brahmantya mengungkap dua faktor utama yang menjadi pendorong (driver) masyarakat Bali enggan menggunakan hak suaranya. Pertama, paslon tidak mampu memikat para swing voters melalui tawaran-tawaran kebijakannya di debat publik atau kampanye. Kedua, sikap politik yang dipilih masyarakat untuk golput.
“Ini menjadi ekspresi masyarakat untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka pada kondisi perpolitikan saat ini,” sambungnya.
Ketidakpuasan ini, menurut Brahmantya, berasal dari berbagai dinamika politik yang tampak di Bali selama beberapa tahun ke belakang, meliputi kebijakan dan kinerja pemerintah.
“Misalnya, kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan karena kepentingan publik, tetapi demi kepentingan segelintir elit. Kinerja pemerintah yang tiba-tiba sangat responsif untuk beberapa isu yang menguntungkan beberapa kelompok, tetapi lama jika membahas kebijakan-kebijakan yang lebih penting dan substansial untuk publik,” jelas Brahmantya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang