tirto.id - Dua bulan sebelum pencoblosan, Fahri (bukan nama sebenarnya) mengurungkan niatnya untuk menggunakan hak pilihnya dalam kontestasi Pilkada 2024. Ini setelah dirinya mengetahui siapa saja kandidat calon gubernur dan wakil gubernur yang akan berlaga di Pilkada Jakarta 2024, yang dianggap tak merepresentasikan masyarakat.
Pilkada Jakarta 2024, diketahui diikuti tiga pasangan calon. Pasangan pertama Ridwan Kamil-Suswono. Pasangan ini diusung sebanyak 15 parpol pendukung diantaranya adalah Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, Nasdem, PSI, PKB, Gelora, PBB, Perindo, PAN, PPP, Prima, PKN, dan Garuda.
Pasangan kedua dari jalur independen, yakni Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Sedangkan pasangan ketiga adalah Pramono Anung-Rano Karno yang diusung oleh PDIP.
“Semua yang maju kelihatan banget karena pengen nafsu berkuasa aja,” ujar pria berusia 27 tahun tersebut, saat diwawancara Tirto, Senin (9/12/2024).
Fahri berpandangan antara calon dan kelompoknya sama-sama tidak berusaha memberikan solusi atas kebutuhan terpenting masyarakat. Masyarakat kecil justru dibikin bergantung dengan janji-janji politik atau uluran bantuan yang diobral para paslon.
“Belum lagi cara politik digunakan kotor. Masyarakat enggak akan belajar dari politisi enggak tau malu kayak gitu,” ujarnya.
Lain dengan Fahri, Andini juga enggan menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Jakarta 2024. Bukan hanya kali ini saja, bahkan pilkada sebelumnya ia juga memilih untuk golongan putih (golput). Alasannya, kata dia, siapapun yang akan memimpin Jakarta sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan bagi masyarakat Jakarta, kata Andini.
“Yang miskin tetap akan miskin, yang kaya justru makin kaya, yang sudah-sudah kan begitu,” ujar wanita yang bekerja di salah satu perusahaan swasta daerah Jakarta Timur, saat dimintai pendapatnya kepada Tirto, Senin (9/12/2024).
Faktor Tingginya Golput di Jakarta
Tingginya angka masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) memang menjadi perhatian serius dalam Pilkada 2024 ini. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, jumlah golput mencapai 3.489.614 orang, atau setara dengan 42,48 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 8.214.007 orang. Sementara, jumlah pengguna hak suara tercatat di angka 4.724.393 orang.
“Angka golput kita tinggi sekali, dan dalam konteks Jakarta, saya rasa hal ini lebih dari sekadar malas pergi ke TPS. Ada masalah yang lebih mendasar yang perlu diatasi oleh para politisi,” ujar Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Felia Primaresti, dalam keterangan diterima Tirto, Senin (9/12/2024).
Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 tentu saja menjadi satu pertanyaan besar tahun ini. Bahkan jika dihitung secara nasional tidak sampai 70 persen pemilih yang mengikuti Pilkada 2024, dimana target awalnya adalah 82 persen.
Jika dibandingkan dengan jumlah partisipasi saat Pemilu 2024, 81,78 persen orang menggunakan hak pilihnya untuk memilih presiden dan wakil presiden, 81,42 persen untuk memilih anggota legislatif, dan 81,36 persen untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah.
“Kita baru saja selesai Pilpres dengan dinamikanya yang sangat melelahkan, bahkan KPU dan Bawaslu saja seperti tidak diberi waktu untuk evaluasi. Wajar jika masyarakat jenuh dan tidak terlalu antusias [Pilkada 2024], sehingga angka partisipasinya turun,” ungkapnya.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat ada tiga alasan kenapa angka golput di Jakarta begitu tinggi, bahkan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Pertama, ia mengamini bahwa ada kejenuhan politik karena awal 2024 sudah diharuskan memilih di Pemilu 2024.
“Seperti namanya, demokrasi itu adalah pesta. Kalau terlalu sering dilakukan dalam waktu yang berdekatan, orang-orang akan jenuh datang ke pesta, begitu pula dengan pemilu,” ujar Musfi kepada Tirto, Senin (9/12/2024).
Kondisi di atas, tentu saja menjadi catatan tambahan terkait sistem pemilu serentak. Karena untuk meningkatkan partisipasi pemilih, seharusnya pemilu nasional dengan pemilu daerah tidak dilakukan dalam tahun yang sama.
Faktor kedua, lanjut Musfi, sepertinya ini menjadi pembalasan rakyat atas gagalnya Anies Baswedan maju di Pilkada Jakarta 2024. Mengingat ada banyak kekecewaan karena Anies gagal maju, sebagai balasannya, banyak simpatisan Anies justru tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena jagoannya batal berlaga.
“Meskipun Anies kemudian mendukung Pramono-Rano, dukungan itu ternyata tidak banyak mengobati kekecewaan rakyat Jakarta,” ujarnya.
Faktor ketiga, yakni para paslon yang berlaga tidak memiliki terobosan atau program yang menonjol. Program yang ditawarkan mirip-mirip, hanya berbeda nama dan jargon. Strategi politiknya juga sama, yakni sama-sama mengeklaim melanjutkan program Anies.
“Jika yang ditawarkan sama, untuk apa rakyat memilih di TPS? Toh siapa pun yang dipilih akan mirip-mirip bentuk kebijakannya,” ujar dia.
Hal di atas, menunjukkan kalau ketiga paslon sebenarnya tidak siap maju di Pilkada Jakarta 2024. Ketiga paslon ini dapat dikatakan paslon dadakan. Karena Ridwan Kamil sendiri awalnya berniat maju di Pilkada Jawa Barat. Pramono Anung sama sekali tidak pernah masuk radar survei. Dharma Pongrekun juga sama, tiba-tiba sudah mengumpulkan KTP, yang belakangan diketahui bermasalah.
“Kalau jujur, itu kan menunjukkan ketiga paslon ini belum melakukan riset mendalam terkait apa yang akan mereka lakukan di Jakarta. Ya karena itu, pemilihan mereka ini dadakan,” katanya.
Jika kemudian nantinya ada banyak program yang tidak produktif, tentu saja itu menjadi dosa partai politik yang mengusung mereka. Partai sendiri seharusnya sebagai instrumen sah demokrasi dan menjadi sekolah untuk menyiapkan para pemimpin.
“Partai harus memiliki rencana jangka panjang, yang menyiapkan cakada dari jauh-jauh hari, bukannya seperti sekarang yang serba dadakan,” tegas Musfi.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai bahwa Pilkada Jakarta 2024 kali ini harus diakui tidak se-kompetitif Pilkada 2012 maupun 2017.
Apalagi, di masa awal tahapan pencalonan Pilkada Jakarta ada sejumlah dinamika yang membuat munculnya apatisme di sejumlah kelompok pemilih. Sebut saja lahirnya gerakan coblos semua atau Gercos.
“Hal itu mengindikasikan bahwa tidak semua pemilih merasa terwakili atas pilihan politik yang ada. Kondisi tersebut relatif berbeda dengan Pilkada 2017 yang diwarnai oleh pertarungan hegemoni politik identitas,” ujar Titi kepada Tirto, Senin (9/12/2024).
Hal itu, kata Titi, tak lepas dari kontribusi pemilih Jakarta yang relatif lebih melek politik dan melek digital. Mereka cukup terpapar informasi dengan baik mengingat penetrasi media yang sangat besar di Jakarta sehingga bisa mengikuti dinamika politik Jakarta dan nasional dengan cukup baik. Ditambah, indeks literasi digital Jakarta pada 2024 adalah tertinggi di banding seluruh provinsi di Indonesia.
“Maka itu, pemilih Jakarta sangat otonom dan punya pendirian politik yang kuat untuk berani menentukan pilihan politiknya. Pilihan politik yang kontra dengan skenario atau pengkondisian politik oleh kelompok mayoritas yang berafiliasi dengan penguasa,” ujarnya.
Jadi Evaluasi KPU
Rendahnya partisipasi pemilih atau golput dalam Pilkada Serentak 2024 ini menjadi perhatian KPU RI. KPU bahkan terbuka dan siap melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan Pilkada 2024.
“Proses evaluasi pasti akan tetap kami lakukan," kata anggota KPU RI, August Melasz, saat jumpa pers di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Saat ini, lembaganya masih fokus memantau rekapitulasi suara pilkada oleh KPU Daerah. Ia mengaku lembaganya sekilas melihat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 di bawah 70 persen. Menurutnya, angka seperti itu biasanya terbilang normal ketimbang Pilpres 2024.
"Memang kalau kami lihat sekilas ya, dari gambaran secara umum, ya kurang lebih di bawah 70 persen. Secara nasional rata-rata. Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibandingkan pilpres [dan] pileg atau pemilu nasional itu biasanya di bawah," ujarnya.
Lebih lanjut, ia memastikan KPU siap melakukan evaluasi soal partisipasi pemilih yang dianggap menurun pada Pilkada Serentak 2024.
"Apakah misalnya alasan lokasi TPS dan sebagainya, sebenarnya ya itu mungkin akan jadi bagian-bagian dari evaluasi,” ungkapnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto