tirto.id - Eksistensi Joko Widodo (Jokowi) – Presiden Ketujuh RI – pada panggung politik tampaknya belum habis masa. Usai Jokowi beserta keluarganya ditegaskan tidak lagi bagian dari PDIP, sejumlah partai politik (parpol) pendukung pemerintah mengutarakan niat meminang Jokowi. Ia dinilai akan terus coba menancapkan pengaruhnya usai bukan lagi ‘orang parpol’. Hal itu ditunjukkan lewat pertemuannya di rumah Presiden Prabowo Subianto yang sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra.
Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, memandang Prabowo masih merasa memiliki utang budi dengan Jokowi. Pasalnya, Jokowi banyak berperan membantu Prabowo memenangkan Pilpres 2024. Jokowi memang disebut ‘cawe-cawe’ saat masih jadi orang nomor satu RI, demi menggolkan Prabowo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, meneruskan estafet pemerintahan.
“Pertemuan Jokowi dan Pak Prabowo itu mungkin lebih pada penghormatan Pak Prabowo terhadap Pak Jokowi, sebagai seorang prajurit [Prabowo] melapor gitu-gitu,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Senin (9/12/2024).
Kunto melihat pertemuan dua tokoh nasional itu memang membuka peluang bergabungnya Jokowi ke partai Gerindra. Kendati begitu, banyak persoalan yang akan datang bila Jokowi merapat ke kubu partai pemenang Pilpres itu.
Misalnya, akan terjadi persaingan tokoh pimpinan di tubuh internal Gerindra sendiri. Di satu sisi kader sangat menghormati Prabowo sebagai ketua mereka. Di sisi berlawanan, melihat Prabowo yang begitu takzim dengan Jokowi, akan membuat kader tentu juga manut dengan Jokowi.
“Akan bermasalah kalau ada matahari kembar di sebuah organisasi,” ujar Kunto.
Sebelumnya, Prabowo memang membuka pintu lebar untuk Jokowi jika ingin bergabung ke partai yang dipimpinnya. Hal itu disampaikan di hadapan wartawan usai persamuhan Jokowi dan Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, pekan lalu. Namun, Prabowo menyebut kalau tawaran kepada Jokowi bersifat sukarela dan tanpa paksaan apapun. Jokowi sendiri hanya meresponsnya dengan tertawa dan menyampaikan bahwa pertemuan itu dilandasi ‘kangen’.
"Gerindra terbuka, tapi kita nggak bisa memaksa," kata Prabowo di rumahnya yang terletak di Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Usai didepak dari PDIP, Jokowi sempat menyampaikan kepada wartawan bahwa kini partai dia perorangan. Namun, ia tak menyebut lebih jauh apa maksud dari perkataannya tersebut.
"Ya berarti partainya perorangan," kata Jokowi di Solo, sehari sebelum bertemu Prabowo.
Pernyataan Jokowi dilayangkan merespons ucapan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang menyatakan Jokowi dan keluarganya bukan lagi kader PDIP. Hasto menegaskan PDIP telah memecat Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan keluarganya dari keanggotaan partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Hasto menyebut Jokowi dan keluarga beda jalan dengan partai berlambang banteng moncong putih itu.
Hubungan Jokowi dengan PDIP – khususnya dengan Megawati – menjadi merenggang usai Gibran Rakabuming Raka maju sebagai wakil presiden menemani Prabowo. Jokowi sendiri dinilai PDIP banyak membantu pemenangan Prabowo-Gibran, meskipun seorang presiden. Di sisi lain, dalam Pilpres 2024 lalu, PDIP mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Menurut Kunto, selain di Gerindra, Jokowi akan mudah diterima di parpol lain seperti Golkar dan Gerindra. Di Golkar misalnya, Ketum Golkar, Bahlil Lahadalia, adalah mantan anak buah Jokowi di kabinet sebelumnya. PAN sudah menyatakan siap menerima Jokowi jika berminat mencari labuhan politik baru.
Kendati begitu, Kunto melihat Jokowi masih merasa nyaman memiliki ‘pengaruh’ di sejumlah parpol. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai tidak akan buru-buru bergabung ke parpol.
“Pak Jokowi akan terus memupuk harapan semua partai ini dan dia melihat peluang mana yang paling oke untuk dia bergabung,” terang Kunto.
Dilandasi Ketakutan
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, melihat Partai Gerindra akan jauh menggiurkan bagi Jokowi sebab parpol tersebut pemenang pilpres yang kekuatan politiknya tengah menguat. Secara alamiah, menurut Adi, siapapun politisi di negara ini akan ngiler bergabung dengan partai penguasa. Dalam konteks ini, akan sangat rasional Jokowi memilih Gerindra sebagai tempatnya menancapkan lagi pengaruh.
Masalahnya, bergabung ke Partai Gerindra akan membuat hasrat Jokowi sebagai bintang utama dan king maker kancah politik nasional memudar. Karena bintang dan king maker di Partai Gerindra haruslah Prabowo Subianto seorang. Sebabnya Adi memandang, tampak kecenderungan jokowi masih ingin terlihat jadi bintang dan king maker di masa mendatang, utamanya untuk memotori Gibran di pemilu mendatang.
“Di situlah dilemanya Jokowi kalau ke Gerindra,” sambung Adi.
Opsi lain, kata Adi, paling memungkinkan Jokowi ke parpol lain di luar Gerindra. Golkar dan PAN terlihat tertarik, namun tidak ada jaminan jika bergabung dengan dua partai itu Jokowi bisa tetap berperan sebagai king maker seperti saat ini.
Restu Jokowi memang masih dicari-cari politisi yang berkontestasi di Pilkada 2024. Jokowi tak henti-hentinya mempromosikan sejumlah calon kepala daerah dari berbagai wilayah.
“Tapi setidaknya di Golkar dan PAN Jokowi punya bargain politik kuat untuk jadi king maker karena punya Gibran yang wapres. Itu artinya, siapapun yang terima Jokowi bisa dipastikan punya Wapres yang secara politik prestisius,” ujar Adi.
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, membenarkan bahwa banyak parpol yang berminat menampung Jokowi setelah resmi dipecat oleh PDIP. Saat ditanya terkait pertemuan Jokowi dengan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (6/12/2024) malam, Budi mengatakan hal itu bagus karena ada mantan presiden dan presiden masih akrab.
Menteri Koperasi ini juga menyatakan bahwa Projo siap menerima Jokowi jika organisasi relawan itu berubah menjadi parpol.
"Semua partai siap menampung Pak Jokowi, terutama Projo, kalau jadi partai," kata Budi Arie dikutip dari Antara, Minggu (8/12/2024).
Sementara itu, Juru Bicara PDIP, Aryo Seno Bagaskoro, mengingatkan parpol-parpol untuk melihat rekam jejak politik seseorang sebelum diajak bergabung. Seno menyatakan bahwa parpol dibangun di atas landasan kesadaran berorganisasi dan bergerak bersama-sama.
Sehingga dalam parpol dibutuhkan penghormatan etika, moral, serta teladan kepemimpinan dalam politik yang mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Seno menilai hal tersebut tidak ada dalam landasan berpolitik Jokowi.
“Beliau bisa kapan saja mengumbar ambisi kekuasaan yang berbeda dengan rekomendasi dari partai. Rekam jejak itu akan selamanya tercatat dalam sejarah bangsa. Saya berharap betul bahwa itu menjadi pelajaran berharga untuk semua termasuk untuk parpol,” kata Seno kepada reporter Tirto.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, justru menilai sikap dari sejumlah parpol membuka pintu masuk untuk Jokowi bergabung ke kubu mereka bukan didasari aspek penghormatan. Ia menilai terdapat faktor lain seperti pengaruh jaringan atau ‘orang-orang’ Jokowi di institusi penegakan hukum yang membuat elite parpol ketakutan. Misalnya pengaruh Jokowi di kepolisian yang dinilai masih cukup kuat.
Hal itu diperkuat dengan berbagai ‘akal-akalan’ politik di sekitaran pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden. Mulai dari peristiwa Mahkamah Konstitusi sampai penyelenggara pemilu yang membuat Gibran melenggang lancar sebagai wakil presiden. Dedi menduga elite politik masih tersandera kepentingan Jokowi.
Secara pengaruh politik, menurut Dedi, Jokowi sebenarnya tidak cukup kuat. Argumen ini terbukti dari tidak adanya kepala daerah yang betul-betul menang sebab faktor Jokowi. Di Pilkada Jateng, Jatim, Banten, Jabar hingga Sumut, kemenangan justru terjadi karena faktor lain seperti struktur pemenangan parpol hingga konsolidasi pendukung cakada.
“Jika Jokowi dihormati, maka tidak akan ada perubahan konstitusi yang bertujuan untuk kepentingan Jokowi dan keluarganya,” ujar Dedi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang