tirto.id - Pagi itu (9/2/2020), setidaknya 15 perempuan tengah asik memilih warna lipstik dan blush on untuk memoles wajahnya. Mereka berinteraksi satu sama lain menggunakan bahasa isyarat.
Suara hanya bersumber dari pembawa acara dan guru make up mereka di atas panggung, yakni Angie.
"Ada tiga step kalau mau membuat alis," jelas Angie di atas panggung, di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, pada Minggu (9/2/2020).
Tak jauh di sisi kiri Angie, terdapat relawan yang menerjemahkan setiap ucapan Angie ke bahasa isyarat, sehingga para peserta memahami apa yang dijelaskan Angie.
Kelas make up tersebut diadakan oleh Lipstick untuk Difabel dan hanya diperuntukkan kepada kelompok tuli.
Sepanjang kelas make up berlangsung, yakni sejak pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB, terdapat sejumlah relawan yang membantu para peserta. Relawan perlu memahami bahasa isyarat dan makeup.
Angie pun membagikan sejumlah kiat merias wajah. Salah satu trik yang ia bagi adalah menggunakan jari manis untuk mengaplikasikan make up. Penggunaan jari manis dibanding jari lainnya "karena jari manis memiliki sendi yang paling lemah jadi bagus untuk nge-blush".
Selepas acara tersebut, Angie pun memilih peserta dengan penggunaan make up yang terbaik. Peserta terpilih adalah Cindy Natalia.
"Tentunya senang dan bangga," ungkap Cindy saat ditemui selepas acara pada Minggu (9/2/2020).
Cindy menyampaikan bahwa ia sudah beberapa kali mengikuti lomba menggunakan make up, tapi baru kali ini, untuk pertama kalinya, ia memenangkannya.
Cindy menggunakan make up natural. "Blend-nya sangat baik," jelas Angie.
Cindy pun mengisahkan bahwa ia memang hobi untuk menggunakan make up. Namun, ia lebih banyak memelajarinya melalui internet.
Mengubah Stigma Difabel
Pendiri Lipstik untuk Difabel, sekaligus beauty vlogger, Laninka Siamiyono, menyampaikan bahwa ia mau mengubah pandangan masyarakat kepada kelompok disabilitas melalui penggunaan make up.
"Bagaimanapun kondisinya, masih berhak loh untuk bermain make up, bisa tampil maksimal di setiap harinya," jelas Laninka saat ditemui selepas acara pada Minggu (9/2/2020).
Pasalnya, Laninka masih kerap kali menemukan stigma bahwa kelompok disabilitas seolah selalu terlihat lusuh, tak menarik, dan sebagainya.
"Kalau disabilitas itu, ya sudah begitu-gitu saja. Bukan hanya masalah penampilan, tapi pendidikan juga rendah, ya sudah segitu aja. Nah itu sih pengen aku ubah," jelas Laninka.
Lebih luas lagi, Laninka sebetulnya juga mau membantu mengubah pola pikir perempuan termasuk mereka yang bukan disabilitas. Laninka ingin para perempuan menerima dirinya, dan secara bebas merias dirinya sendiri.
Menjadi Terapi Pemulihan
Laninka menyampaikan bahwa kesenangannya pada make up justru bermula saat ia berada di titik terendah dalam hidupnya. Titik itu adalah ketika ia menjadi disabilitas, padahal sebelumnya tidak.
Saat itu, Laninka merasa dirinya tak berharga lagi, serta tak pantas untuk tampil cantik. Ia merasa malu karena perlu mengenakan kursi roda untuk beraktivitas.
Namun, ia menemukan kesenangan untuk menggunakan dan bermain dengan make up di titik itu. Sejak itu pun, ia sadar bahwa ia tak perlu malu dan selayaknya setiap orang, berhak untuk mengekspresikan dirinya, termasuk melalui make up.
"Menjadi terapiku sih karena aku merasa make up yang menjadi sumber pemulihan saat aku berada di saat terpuruk," kisah Laninka.
"Aku ketemu make up dan make up menjadi terapi yang menyembuhkan secara psikis," tambahnya.
Dari pengalamannya tersebut, Laninka pun merasa perlu untuk memecahkan stigma seputar kelompok disabilitas, serta membuat para perempuan dengan disabilitas merasa cantik dengan caranya masing-masing.
"Dari situ, aku berpikir bahwa sepertinya banyak perempuan disabilitas yang merasa apa yang kurasakan, seperti malu sama diri sendiri, bahkan saat di kursi roda, aku sempat berpikir bahwa aku sudah tidak pantas lagi untuk cantik atau aku nggak pantas lagi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik," jelas Laninka.
"Tapi ya itu semua salah," tegasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri