Menuju konten utama

Aktivisme Masuk ke Dunia Fashion, Promosikan Model LGBT dan Difabel

Sebagai negara penyelenggara Fashion Week pertama, Amerika Serikat mencetuskan arah baru dunia mode:inklusivitas dan keragaman.

Aktivisme Masuk ke Dunia Fashion, Promosikan Model LGBT dan Difabel
Koleksi Marc Jacobs dipamerkan di New York Fashion Week (14/2/18). AP Photo/Andres Kudacki

tirto.id - Para pelaku industri mode di Amerika Serikat tengah berapi-api mewujudkan wacana inklusifitas dan keragaman. Selama bertahun-tahun, ranah mode AS lekat dengan citra pro-kulit putih. Sebab, desainer dan model yang terpandang dalam industri ini biasanya adalah orang kulit putih.

Sebelum tahun 2010-an, jarang sekali ada desainer dan model kulit berwarna di AS. Kalaupun ada, kaum kulit berwarna kerap mendapat perlakukan diskriminatif. Contoh paling sederhana bisa diambil dari kejadian yang berlangsung di balik panggung catwalk. Ada saja penata rias yang menolak merias wajah model non-bule.

Upaya menghapus ketimpangan ini awalnya berlangsung pada 2013, ketika mantan model kulit hitam Bethann Hardison membentuk Diversity Coalition untuk menggugah para pelaku industri fesyen (termasuk agensi pencari bakat) agar mempromosikan model non-kulit putih. Hardison fokus pada isu representasi model , karena model adalah figur utama yang menyiratkan citra desainer di hadapan publik.

Hardison pernah menyusun panduan kerja para desainer dan agen modeling terkait perekrutan model. Menurut panduan yang disusun bersama Council of Fashion Designers of America (CFDA) itu, keterlibatan model non-kulit putih bisa memicu para pengusaha mode untuk berpikir lebih kreatif. Wanita yang pernah menjabat sebagai editor Vogue Italia ini pun mengimbau agar desainer tidak cuma menampilkan model non-kulit putih pada materi promosi koleksi musim semi.

Hardison lantas berkolaborasi dengan untuk menyusun aturan demi tercapainya komposisi model kulit putih-non kulit putih yang lebih proporsional.

Lembaga non-profit CFDA memang mesti menangani isu sosial semacam ini bila ingin desainer anggota asosiasi tetap memiliki citra baik. Lembaga tersebut dibentuk tahun 1964 oleh Eleanor Lambert, penggagas acara pekan mode—ajang prestisius yang dinantikan oleh pelaku mode di seluruh dunia—dengan tujuan menyejahterakan karier para desainer busana AS lewat penyediaan dana usaha, program inkubator bisnis, beasiswa, dan penghargaan.

Lima tahun terakhir, isu sosial yang sampai ke telinga tim CFDA makin beragam dan menuntut sikap yang lebih serius. Tepat Januari 2019 ini, CFDA merilis laporan resmi tentang inklusivitas dan keragaman yang bertajuk Inclusion & Diversity in the American Fashion Industry. Laporan tersebut merekomendasikan agar para praktisi dunia fesyen menyediakan ruang bagi sosok dengan berbagai latar belakang usia, gender, ras, dan orientasi seksual.

Studi McKinsey & Company pada 2015 & 2018 menunjukkan organisasi yang jajaran manajemen papan atasnya diisi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang ras dan etnis punya performa 33-35% lebih baik ketimbang lembaga atau kelompok yang pimpinannya berasal dari latar belakang ras yang sama.

Riset yang sama menunjukkan keragaman dalam organisasi dapat membuat perusahaan lebih inovatif. Temuan McKinsey & Company juga sejalan dengan hasil penelitian Columbia Business School yang menunjukkan interaksi antarbudaya bisa membantu kelancaran bisnis mode. Penyebabnya, keunikan budaya yang beragam bisa membawa dampak positif pada proses kreatif orang yang terlibat di bisnis tersebut.

CFDA berpatokan pada studi bertajuk "Designing an Immigration Systems That Works" yang menunjukkan 85% dari 160 responden yang berasal dari kalangan pebisnis profesional industri mode percaya bahwa keragaman latar belakang ras punya pengaruh penting dalam perkembangan bisnis.

“Saat ini kita masih ada dalam tahap penerapan inklusivitas yang terlihat secara kasat mata. Kita lihat munculnya sosok-sosok berbagai ras di panggung mode, majalah, dan materi promosi produk,” kata Erica Lovett, salah seorang manajer perusahaan media Condé Nast.

Infografik Kiblat Mode Amerika Serikat

Infografik Kiblat Mode Amerika Serikat

Di mana kita berada?

Isu-isu sosial di atas mulai terdengar di ranah mode dalam skala selama New York Fashion Week 2017. Forbes melaporkan bahwa sejumlah desainer menyiratkan dukungan pada Planned Parenthood, lembaga non profit AS yang peduli pada kesehatan reproduksi dan sempat terancam dibubarkan Presiden Trump. Dukungan terhadap program-program Planned Parenthood disimbolkan lewat bros bertuliskan nama lembaga. Label busana Marchesa menyematkan bros tersebut pada para model di sesi penutup peragaan busana.

Desainer pendiri label lokal AS Tome, Ryan Lobo dan Ramon Martin, menciptakan produk bertuliskan “tubuhku pilihanku” setelah mengikuti aksi protes Women’s March di Washington DC., sehari setelah pelantikan Trump pada Januari 2017. Mereka mendukung Planned Parenthood dengan mengenakan kaus bertuliskan “Stand With Planned Parenthood”. Pada kesempatan lain, Lobo mengatakan: “Menyampaikan pandangan itu penting dan harus dilakukan kapan pun ada kesempatan.".

Perancang busana Claudia Li, yang melibatkan transgender sebagai model busana koleksinya, punya sikap serupa. Perekrutan model transgender dilakukan Li sebagai pesan bahwa koleksinya bisa dipakai semua orang dari berbagai latar belakang.

Suara aktivisme yang lebih lantang datang dari dapperQ. Media gaya hidup queer yang mengorganisir satu sesi peragaan busana dalam New York Fashion Week. “Peragaan ini adalah cara kami untuk tetap dilihat di tengah berbagai kejadian yang mendiskriminasikan kami,” kata Natalia Dolce Vita, pendiri dapperQ. Acara tersebut menampilkan model yang berasal dari kalangan aktivis dan seniman, salah satunya Ericka Hart yang berjalan dengan memperlihatkan luka bekas operasi kanker payudara. “Ini akan memberi kesadaran ke kalangan yang berbeda,” katanya.

Upaya menjadikan ranah mode sarana aktivisme juga muncul di Inggris lewat London Fashion Week 2018. Desainer busana Steven Tai menampilkan model bertubuh besar dan botak akibat gangguan Alopecia. Salah seorang model Tai juga memiliki tanda lahir besar di bagian wajah. “Keberadaan mereka memberi konteks dan makna lebih dalam untuk koleksi busana,” kata Tai kepada BBC.

Desainer Teatum Jones mengatakan bahwa para desainer mode di Inggris, terutama label premium, perlu lebih sering menampilkan keragaman model sehingga publik menganggap perbedaan adalah hal yang lumrah. Pada pekan mode London tahun ini, label busana premium yang mempraktikkan keragaman model hanya Burberry.

“Ini situasi yang sangat buruk. Mereka belum sadar bahwa keadaan sudah berganti. Para desainer tidak bisa lagi mementingkan orang kulit putih yang duduk paling depan di ajang peragaan busana. Ada hal-hal lain yang harus dilakukan agar nyambung dengan pelanggan,” kata Tamara Cincik, pendiri Fashion Roundtable, organisasi yang mendukung representasi minoritas di industri fesyen.

London, satu dari empat kota mode di samping New York, Paris, dan Milan, rupanya belum memiliki panduan praktik inklusivitas. Keragaman yang disajikan dalam panggung mode masih sporadis. Begitu pula di Milan. Masuknya isu-isu sosial ke ranah mode baru terlihat lewat karya desainer Miuccia Prada selama Milan Fashion Week 2018.

Penulis Fashion Network Godfrey Deeny menilai karya Prada sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah Italia yang menutup kawasan perbatasan. Kebijakan yang dikeluarkan untuk menghalau masuknya imigran ini masih hangat dibicarakan di Milan.

Di Indonesia, inklusivitas baru nampak pada Jakarta Fashion Week 2019. Acara yang diselenggarakan Oktober 2018 lalu menampilkan model difabel dalam satu peragaan busana yang disponsori British Council.

“Menampilkan inklusivitas secara kasat mata saja tidak cukup. Industri ini harus memprioritaskan upaya untuk mendukung keragaman dari sisi pelaku bisnis yang melibatkan pemodal, direktur kreatif, desainer, pemimpin redaksi majalah mode, dan pemimpin bisnis. Jika itu tak dilakukan, kemajuan kita hanya terlihat di permukaan saja,” tutur Erica Lovett.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf