tirto.id - “Woyyy… duduk woyyyy!”
Teriakan penuh kekesalan dilontarkan sejumlah fotografer dan penonton acara peragaan busana Anne Avantie di Jakarta Fashion Week 2019 beberapa hari lalu. Mereka geram melihat para tamu penting yang menempati area tribun utama berdiri, dan beberapa di antaranya berjalan mendekat ke lintasan runway. Teriakan itu bagai angin lalu.
Para wanita yang menempati kursi VIP tetap saja sibuk foto selfie dan bercengkrama, seolah runway adalah tempat untuk bertemu teman arisan. Mereka seolah lupa bahwa jam digital sudah menunjukkan lewat pukul 11 malam, dan orang-orang dalam ruangan itu kecapaian karena harus menunggu acara yang molor selama 1,5 jam. Apalagi, durasi peragaan busana jauh melebihi rentang waktu yang ditentukan panitia. Tapi para sosialita di bangku depan cuek, dan tetap mengerubungi Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang malam itu jadi model utama peragaan busana Anne Avantie.
Saat Susi muncul dari balik panggung, suasana di dalam ruang berubah bagai suasana acara nonton bareng sepakbola. Ia melenggak lenggok mengenakan bustier hitam beraksen renda dengan luaran serupa ponco yang dibuat dari tenun Lombok berwarna kuning. Busana mini tanpa celana tersebut dipadu dengan boots hitam setinggi paha. Rambut Susi ditutup turban yang terbuat dari tenun. Sedangkan matanya ditutup kacamata hitam. Susi tersenyum sepanjang lintasan peragaan busana.
Ia begitu menikmati jadi bintang acara fashion show.
Cerita Dari Anne Avantie
Anne selalu membawa cerita. Cerita hari itu diawali oleh perkataan beberapa anggota tim JFW, akronim Jakarta Fashion Week, yang menyebut sang desainer mengundang 900 tamu. Padahal kapasitas ruang peragaan hanya untuk 560 orang. Ia pun memilih koreografer pribadi di luar sosok yang disediakan panitia. Pagelaran busana menampilkan sejumlah penyanyi dan menghadirkan tiga pembawa acara yakni Helmy Yahya, Indy Barends, dan Indra Bekti. Beberapa hal ini tidak ditemukan di peragaan busana lain yang ada di JFW.
“Kalau kita dikasih panggung, ‘habisin’ aja. Saya memang merekayasa semua. Saya mengundang tamu-tamu sejak lama. Mengajak teman-teman selebritas sebagai model. Memberi baju kepada tamu-tamu yang populer untuk dipakai saat acara. Saya memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan kegiatan sosial pemberian dana 200-an juta dari sponsor untuk membantu proyek bu Susi dalam membantu teman-teman di Donggala. Ini memang pencitraan agar saya dilihat orang. Sampai menutup mata, saya akan terus mencari popularitas,” kata Anne menggebu.
Bagi desainer yang berbasis di Semarang ini, JFW bagai sebuah investasi pertama. Panggung tepat untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut.
Tahun ini ialah kali ke 11 diselenggarakannya JFW. Terselenggaranya acara tahun ini mematahkan rumor yang sempat beredar di ranah mode bahwa JFW akan berhenti di tahun ke 10 karena kondisi perusahaan Femina Group. Tahun lalu, perusahaan penerbit media cetak gaya hidup ini secara bertahap menutup sejumlah majalah dan unit usaha lainnya. Pada tahun yang sama pula tersiar kabar tentang gugatan karyawan soal sistem pemberian upah yang terganggu. Dalam setahun terakhir, Femina Group ditinggalkan ratusan orang. Di tengah kondisi yang rapuh itu, acara ini tetap diperjuangkan.
Jakarta Fashion Week pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Waktu itu Svida Alisjahbana, Presiden Direktur Femina Group sekaligus penggagas acara ini, menganggap Jakarta sebagai pusat industri fesyen Indonesia, sehingga perlu ada pekan mode yang menghadirkan desainer dalam dan luar negeri. Awalnya, pekan mode ini berjalan tiga hari dan menampilkan desainer anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) dan Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI).
Selain peragaan busana, ajang JFW turut jadi momen puncak kompetisi Lomba Perancang Aksesori dan Lomba Perancang Mode (LPM). Para panitia juga bekerjasama dengan lembaga lain seperti kedutaan besar untuk melancarkan misi menghadirkan desainer mancanegara dalam peragaan busana.
Di Jakarta, JFW tergolong pionir acara mode. Layaknya pionir, ia jadi patron bagi para pelaku industri dan penikmat fesyen. Seiring waktu, durasi acara semakin panjang. Desainer peserta yang awalnya 43 orang kini berkembang jadi ratusan orang. Seiring waktu, semakin banyak desainer baru ikut serta.
Tahun ini ada sekitar 68 peragaan busana dalam kurun waktu satu minggu. Satu sesi peragaan busana bisa diikuti empat desainer. Jumlah pengunjung yang datang dalam sepekan berkisar 30.000 - 40.000 orang. Kerjasama dengan berbagai pihak kian berkembang dan sebagian besar peragaan busana didahului dengan nama produk sponsor.
“Sekarang sebetulnya hitungannya acara setahun karena berupa rangkaian program. Ada cultural visit ke negara tetangga yang diikuti desainer binaan JFW pilihan; model search, LPM, mentoring desainer yang ada di fashion link (toko busana yang memuat karya desainer muda). Jalin kerjasama dengan UK dan Australian Embassy. Kami bangun relasi juga dengan fashion week di Jepang, India, dan Pakistan,” kata Lenni Tedja, Ketua JFW.
Pelaku bisnis dari luar negeri pun menaruh harapan terhadap acara ini. Salah satunya adalah Zenta Yoshie, pria Jepang yang sedang memulai bisnis hijab. Ide bisnisnya dia dapat setelah membaca buku Fenomena Fashion Muslim di Indonesia karya peneliti Universitas Keio, Yo Nonaka, dan menyaksikan banyaknya wanita berhijab di negeri ini. Ia pun mulai mendesain hijab dengan sistem computer graphic image. Produk bernama Yoakeh tersebut dipamerkan dan dijual untuk pertama kali di JFW 2019.
Sayang, mendatangkan pembeli tak semudah yang dibayangkan. Lenni berkata sesungguhnya perlu dukungan pemerintah untuk bisa konsisten mendatangkan buyer. Tahun ini dukungan tersebut kurang maksimal sehingga komunikasi dengan pembeli dilakukan via dunia maya dengan cara yang lebih organik.
Lenni berkata bahwa kini ia dan para desainer harus melihat potensi pembeli lokal. Situasinya berbeda dari tahun-tahun sebelumnya ketika JFW bisa dikunjungi beberapa pembeli asal Kuwait dan Jepang. Agar bisa terkoneksi dengan calon pembeli baru, Lenni mengusahakan peliputan media luar negeri lewat kerjasama dengan berbagai kedutaan atau pusat kebudayaan berbagai negara.
Di luar harapan-harapan terhadap lakunya bisnis, harapan lain muncul dari Echi Pramitasari, seorang difabel. Beberapa hari lalu ia jadi model peragaan busana desainer Inggris Teatum Jones. Echi terpilih jadi model setelah mengikuti proses audisi pemilihan model difabel yang diselenggarakan oleh British Council. Seusai melakukan peragaan busana, perempuan 26 tahun itu berharap agar dirinya bisa terus jadi model.
“Untuk menyuarakan ke teman-teman penyandang disabilitas kalau kita sama dengan orang-orang lain,” katanya.
Tahun ini wacana tentang disabiltas pertama kali digaungkan dalam JFW. Dalam temu wicara tentang inklusifitas dalam mode, Sean dan Sheila pemilik label busana SeanSheila, bicara bahwa mereka bekerjasama dengan sebuah SLB di Purbalingga, Jawa Tengah, untuk menyediakan tenaga bagi usaha mereka. Seluruh penjahit yang membantu pengerjaan produk SeanSheila adalah kaum difabel.
“Kami latih selama dua sampai tiga tahun agar bisa terampil menjahit. Bahasa sempat jadi kendala tetapi kami bisa mengatasinya dengan menciptakan istilah-istilah baru,” katanya. Pasangan ini ingin sebisa mungkin berupaya untuk meminimalisir dampak buruk dari industri mode. Merekrut kaum difabel jadi salah satunya.
Wacana ini bagai bisikan di tengah gegap gempita orang yang sibuk bergaya untuk menghadiri peragaan busana. Sesungguhnya wacana-wacana demikian yang membuat JFW layak dipertahankan.
Editor: Nuran Wibisono