tirto.id - "Kenapa anda tidak membuat busana wanita?"
Seorang karyawati bertanya pada sang majikan, Coco Chanel. Saat itu, Chanel membuka toko topi di Rue Cambon 31, Paris. Alih-alih menjawab, Chanel malah menangis. Ia bilang: membuat baju wanita itu rumit dan membingungkan. Karena itu, Chanel memilih membuat topi. Kepandaiannya menjahit didapatnya ketika tinggal di asrama yang dikelola oleh para biarawati. Chanel tinggal di sana setelah ibunya meninggal. Usia Chanel baru 11 tahun. Beranjak dewasa, ia sempat bekerja sebagai penjahit di sebuah toko.
Chanel tidak pernah bisa menemukan desain topi yang disukai. Ia memutuskan untuk mendesain topi kala bersantai. Ia kemudian memakai topi itu saat menghadiri berbagai acara. Desain topi buatannya mengundang pujian dari wanita-wanita yang melihat Chanel. Pada tahun 1910, seorang teman pria Chanel bersedia meminjamkan modal usaha. Chanel pun memulai bisnis penjualan topi. Pembelinya adalah orang-orang kaya di Paris. Salah satu klien Chanel ialah aktris Gabrielle Dorziat. Dalam sebuah pemotretan di majalah mode, sang aktris masyhur itu memakai topi Chanel. Dari sana topi Chanel semakin diminati.
Bisnis Chanel meraih keuntungan dalam waktu cepat. Meski menurutnya membuat busana wanita amat membingungkan, pada akhirnya Chanel berani menjajakinya. Time menulis bahwa Chanel menciptakan inovasi dengan menciptakan busana wanita yang terinspirasi dari baju pria. Ia mendesain rok berpotongan longgar dan sederhana. Chanel membuat gaun dengan bahan yang mudah didapatkan. Ternyata, desain bajunya juga laris. Bisnisnya makin maju.
Salah satu desain ikonik Chanel ialah bahan tweed yang tertuang dalam steland blazer dan rok. Busana itu diciptakan pada tahun 1920an. Inspirasi membuat tweed muncul saat ia berkunjung ke Skotlandia. Sampai saat ini tweed dan blazer menjadi dua hal yang dipertahankan dalam setiap koleksi label Chanel.
Ketika bisnis gaunnya makin baju, bisnis awal Chanel berupa topi malah jalan di tempat untuk kemudian ditinggalkan zaman. Karl Lagerfeld, direktur kreatif Chanel sejak tahun 1983 berkata, “Pada suatu masa, Chanel ialah topi tua. Hanya istri para dokter di Paris yang masih memakainya. Tidak ada yang menginginkan produk tersebut. Tidak ada harapan dalam topi-topi tersebut.”
Di koleksi musim semi 2018, Karl memang masih mendesain topi. Namun topi itu hanya sebagai pelengkap. Pula, modelnya sudah jauh berbeda dengan beberapa desain topi pertama yang dibuat Chanel di awal kariernya. Kaum milenial yang melihat koleksi Chanel pada tubuh model Kaia Gerber, bisa jadi tidak akan tahu bahwa perjalanan Chanel berawal dari sebuah topi.
Ternyata kisah serupa juga ada pada label Louis Vuitton. Sejarah panjang label mewah ini berawal dari kotak penyimpanan. Vuitton yang berasal dari desa kecil di timur Perancis bernama Anchay, mengawali karier sebagai pembuat kotak penyimpanan pada 1837. Ia menjadi murid dari sebuah tempat pembuatan kotak yang tersohor di Paris. Pada 1853, Eugenie de Montijo, istri Napoleon Bonaparte, meminta Vuitton untuk mendesain khusus kotak penyimpanan untuk gaun-gaun miliknya. Dari sana, klien elite dan royal mulai berdatangan.
Pada 1854, ia memulai bisnis pembuatan kotaknya sendiri. Di depan tokonya, ia menuliskan: Kotak buatanku bisa menyimpan barang-barang paling rapuh dengan sangat aman, terutama untuk produk fesyen. Vuitton membuat kotak penyimpanan berbentuk persegi dengan berbagai ukuran. Materialnya terbuat dari kulit dan kanvas. Ada kalanya desain tersebut disesuaikan dengan kebutuhan sang pemakai. Vuitton pernah mendesain trunk untuk Coco Chanel. Ia membuat trunk seukuran panjang baju dengan sekat-sekat panjang agar baju tetap rapi.
Vuitton pun pernah merancang library trunk untuk Ernest Hemingway. Kotak penyimpanan tersebut memuat rak untuk buku serta laci untuk mesin ketik. Untuk Pierre Savorgnan Brazza, seorang pengelana, Vuitton mendesain trunk bed, sebuah kotak penyimpanan yang berisi kursi untuk bersantai. Kotak ini dibuat dari material besi dan tembaga yang tahan debu dan kelembaban.
Setelah menjadi merek tas mewah, label Louis Vuitton terjun di lini busana dan aksesori pada 1997. Itu adalah masa ketika Marc Jacob menjabat jadi direktur kreatif. Imajinasinya menggabungkan antara kejayaan masa lampau melalui kotak penyimpanan, dengan kemewahan yang sudah melekat dengan merek ini.
“Saya membayangkan benda-benda yang mewah tetapi tetap bisa ditaruh ke dalam tas dan dibawa berlibur karena Louis Vuitton punya sejarah dari sisi travel,” tutur Marc pada Vogue.
Sejak tahun 2007 Louis Vuitton bekerja sama dengan berbagai selebriti seperti Angelina Jolie, Bono, Scarlett Johannson, dan Jennifer Lopez dalam kampanye produk. Marc juga menjalin kerja sama dengan seniman. Kolaborasi tersebut membuat Louis Vuitton menjadi salah satu label premium yang paling berharga selama tujuh tahun berturut-turut, menurut studi dari Millward Brown Optimor.
Pada tahun 2017, Louis Vuitton menyebut labelnya meraih keuntungan 13% dari sektor Fashion & Leather Goods. Perusahaan ini sekarang sudah tak lagi memproduksi peti penyimpanan berukuran besar seperti dulu. Tapi, sejarah itu dijadikan inspirasi Nicolas Ghesquiere, direktur kreatif Louis Vuitton, untuk membuat tas tangan.
Hermes, produk fesyen mewah lain, juga punya asal-usul yang amat berbeda dibanding produknya hari ini. Artikel From Hermès to Eternity mengisahkan Hermès awalnya adalah bisnis keluarga. Thierry Hermès memulai usaha perlengkapan bagi kuda sebagai moda transportasi. Ia mengutamakan keterampilan tangan untuk membuat setiap perlengkapan yang berasal dari kulit dan besi. Klien Hermès ialah anggota kerajaan dan bangsawan Prancis.
Ekspansi bisnis pertama yang mereka lakukan ialah membuat pelana kuda. Hermès melayani pesanan pelana untuk momen penobatan anggota kerajaan. Vanity Fair menulis bahwa tak jarang momen penobatan tersebut ditunda lantaran pelana belum selesai dikerjakan. Hermès tidak mau kompromi soal kualitas, meski itu harus memakan waktu lama.
Perubahan kebutuhan terhadap kuda sebagai moda transportasi membuat label Hermès melakukan ekspansi produk kedua. Tas adalah salah satunya. Di awal produksi, Hermès tetap mengutamakan keterampilan perajin. Satu tas Birkin dibuat dalam waktu 25 jam. Dalam satu minggu, rumah mode tersebut hanya membuat lima tas yang akan disebar di berbagai negara. Keterampilan tangan tersebut menjadi satu-satunya warisan yang dipelihara sampai saat ini.
Marketwatch melaporkan bahwa di tahun 2017, keuntungan Hermes mencapai 722 juta dolar. Produk yang menyumbang keuntungan terbesar adalah tas. Dua jenis tas Hermes yang tersohor ialah Kelly, tas yang dibuat untuk Grace Kelly; dan Birkin, tas yang dibuat untuk aktris Jane Birkin.
Baik Chanel, LV, maupun Hermes sama-sama berangkat dari produk yang amat berlainan dengan bisnis mereka sekarang. Satu benang merah yang membuat mereka serupa adalah: inovasi dan keberanian untuk membuat produk berbeda. Hasilnya, inovasi yang mungkin nyaris tak pernah terpikirkan sebelumnya, justru malah membuat mereka tumbuh besar hingga hari ini.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono