tirto.id - Pada tahun 1940-an, Sukarno pernah menyebut kebaya sebagai busana nasional. Perkataan Sukarno masih dianut sampai sekarang. Kebaya tetap jadi pilihan utama para istri presiden dan presiden perempuan Indonesia saat menghadiri acara-acara resmi terutama acara kenegaraan.
Masing-masing dari mereka punya modifikasi gaya penampilan tersendiri saat mengenakan kebaya. Fatmawati, misalnya. Ia memilih untuk memadukan kebaya dengan kerudung. Sukmawati Soekarnoputri, anaknya, berkata sang ibu mampu mengenakan kerudung dengan elegan. Kerudung itu disebut Sukmawati sebagai gaya busana sang ibu. Gaya penampilan Fatmawati ini jadi salah satu hal yang hendak Sukmawati tampilkan saat ia berencana membuat film tentang kisah hidup ibunya.
Cucu Soekarno, Puan Maharani, sempat mengutarakan pendapatnya tentang kebaya, pakaian yang juga kerap dikenakan oleh ibunya di acara kenegaraan.
“Kebaya bukan hanya sekadar pakaian, namun juga mempunyai makna filosofi khusus. Bentuknya yang sederhana merupakan wujud kesederhanaan masyarakat Indonesia yang memancarkan nilai-nilai kepatuhan, kehalusan, dan perilaku wanita yang serba lembut. Kebaya merupakan ikon wanita Indonesia yang anggun dan berbudaya, yang selalu mengayomi, serta memberikan ketenteraman hati,” ujar Puan dalam pembukaan acara Pagelaran Pesona Kebaya Nusantara akhir 2016.
Lain cerita dengan Siti Hartinah atau Tien Soeharto. Sebagai bangsawan keturunan klan Mangkunegaran, Jawa Tengah, ia memilih mengenakan busana itu karena punya kedekatan dari sisi sejarah. Koleksi kebaya Tien bahkan ada yang dibuat dari tahun 1930-an. Salah satu jenis kebaya yang kerap ia gunakan ialah Kutubaru: kebaya dengan sambungan pada bagian dada.
Tien juga bertindak sebagai salah satu penggerak para wanita di eranya untuk mengenakan kebaya. Buku The Java That Never Was: Academic Theories and Political Practices (2005) menulis bahwa Tien menggagas tren baju seragam untuk rapat dan acara formal seperti pernikahan. Hal ini senada dengan aturan penggunaan seragam di era Orde Baru.
Menurut Tien, mengenakan pakaian dengan model, warna, dan bahan yang sama menandakan kerukunan dan kebersamaan. Salah satu perwujudan ide Tien ini disalurkan saat pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Hari itu semua wanita mengenakan kebaya atasan berwarna kuning muda, kain, dan selendang merah terang.
Hans Antlöv, editor buku tersebut mengutip perkataan penulis Abdul Gafur dalam buku Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia, yang menyebut penampilan para wanita di momen peresmian TMII terlihat "sangat harmonis." Mereka mengenakan selendang yang disematkan secara diagonal pada badan, menandakan kesan kerajaan dan militer. Selendang itu pun menjadi ciri khas penampilan Tien.
Sejak 1967, Tien selalu tampil dengan selendang polos yang disampirkan dari pundak kanan kemudian diikat di pinggul kiri. Cara memakai selendang itu terlihat serupa dengan bentuk kain tempat disematkannya sejumlah tanda kehormatan yang dipakai Soeharto bila bertemu sosok penting seperti Ratu Kerajaan.
Tien hanya mengenakan selendang pada acara-acara resmi. Sesungguhnya, selendang bukan bagian dari pakaian formal dalam budaya Jawa. Fungsi dasar selendang dalam tradisi Jawa ialah sebagai medium untuk menggendong anak. Tien telah mengubah persepsi tersebut.
"Penampilan Tien khas wanita Jawa. Ia tidak meminta perhatian. Warna-warna busananya tidak colorful dan terkesan sederhana. Ia bagai seorang ibu rumah tangga yang tenang dan sosok pengurus keluarga," kata Syahmedi Dean, direktur editorial situs fesyen Luxina.id.
Tien telah menginginspirasi ibu negara berikutnya dalam berbusana resmi. Terutama dari sisi penggunaan selendang pada kebaya.
Ani Yudhoyono adalah salah satu ibu negara yang kerap memakai kebaya dan selendang meski ia punya cara tersendiri dalam memakai selendang itu. Ia lebih suka menyampirkan selendang pada satu sisi pundaknya.
"Dari cara berbusana, Ani merepresentasikan seorang pemimpin. Ia sering menggunakan busana berwarna terang. Warna tersebut mencerminkan bahwa dirinya ialah sosok yang berani, ekspresif, dan vokal," ujar Dean.
Selain Ani, Iriana Jokowi ialah sosok yang sempat memancarkan kesan penampilan nyaris serupa dengan Tien. Terlebih saat Iriana mengenakan kebaya kutubaru motif bunga berwarna pastel.
"Iriana terlihat sebagai orang yang tidak terlalu mementingkan signature style dalam gaya. Ia lebih mementingkan inner beauty. Ia bisa menyatu di berbagai suasana. Bila harus berpakaian adat Batak, misalnya, ia akan mengikuti itu. Tidak ada benang merah dalam gayanya," lanjut Dean.
Kisah di Balik Kebaya
Buku Outward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan (2005) karya Henk Schulte Nordholt (ed.) menyebutkan kain kebaya diasosiasikan ketentraman, ketenangan, dan keteraturan sosial, yang menghubungkan orang Indonesia, Belanda, dan Jawa.
Pada abad 19, kebaya dikenakan oleh semua kalangan masyarakat Jawa dan Indonesia. Wanita asli Jawa mengenakan kebaya dari sutra, beludru, dan brokat. Saat mengenakan kebaya, rambut panjang wanita Jawa akan disanggul. Busana tersebut dipadankan dengan selop bordir.
Perbedaan variasi kebaya menandakan perbedaan etnis, pekerjaan, dan status sosial. Pengurus rumah tangga Jawa yang bekerja untuk pria Belanda mengenakan kebaya putih dan kain batik. Seiring waktu dan perkembangan industri batik yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, ada perluasan rancangan model kebaya.
Salah satu model kebaya yang dihasilkan oleh pengaruh budaya Tiongkok ialah kebaya Nyonya. Buku Kebaya Tales: Of Matriarchs, Maidens, Mistresses, and Matchmakers (2010)menyebut jenis kebaya ini muncul pada 1920. Model kebaya yang dibuat dengan teknik bordir ini berciri lebih pendek dan didesain membentuk lekuk tubuh pemakainya.
Perkembangan desain kebaya masih terjadi sampai saat ini. Sejumlah desainer Indonesia berkarya lewat kebaya.
Anne Avantie adalah salah satu desainer yang fokus pada desain kebaya selama lebih dari 20 tahun terakhir. Ia terinspirasi dari desain kebaya klasik. Ia mengembangkannya lewat pengaplikasian material dan inovasi dalam penggunaan warna serta desain busana pada bagian leher, lengan, dan panjang kebaya.
Ria Pentasari, penulis buku Chic in Kebaya, menuliskan kebaya dan batik adalah lambang perjuangan dan nasionalisme. Pakaian ini mengandung makna memikat, menarik hati, indah, dan memesona.
Menurut Syahmedi Dean, editor situs fesyen Luxina.id, tidak perlu melakukan eksplorasi jenis busana daerah lain sebagai busana nasional untuk mengganti kebaya.
"Ibarat kata, butuh 75 tahun untuk membuat kebaya dianggap jadi busana nasional. Apabila hendak mengganti jenis busana tersebut dengan yang lain, perlu waktu yang sangat panjang untuk bisa solid kembali," katanya.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono