tirto.id - Lima bulan sebelum kecelakaan tragis Lion Air JT 610 Jakarta-Pangkal Pinang di Perairan Karawang pada Senin (29/10), yang memakan korban 189 jiwa, dunia penerbangan Indonesia sempat bergembira. Uni Eropa mencabut larangan terbang terhadap 55 maskapai penerbangan Indonesia.
“Ini hadiah Lebaran yang sudah kita nanti-nanti selama 11 tahun sejak sejumlah maskapai kita dilarang terbang ke Uni Eropa pada Juli 2007 lalu. Syukur Alhamdulillah,” kata Presiden Jokowi dikutip dari akun Instagram-nya.
Pencabutan larangan terbang dari Uni Eropa itu seharusnya menjadi momentum bagi industri penerbangan semakin berbenah. Sebelum Uni Eropa, otoritas penerbangan AS pada 2016 juga sudah lebih dulu membolehkan maskapai Indonesia untuk terbang ke AS.
Namun, torehan positif itu seakan tak ada artinya, karena jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 menjadi salah satu kecelakaan angkutan udara terburuk di Indonesia, setidaknya dari sisi jumlah korban. Catatan Aviation-Safety, pesawat Garuda Indonesia yang jatuh di Medan pada 1997, merenggut 234 korban jiwa.
Menghapus Citra Negatif
Seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, butuh 11 tahun untuk maskapai Indonesia bisa kembali sejajar dengan elite penerbangan dunia. Pada 2007, dunia aviasi nasional bisa dibilang sedang suram-suramnya.
Pada April 2007, otoritas penerbangan AS yakni Federal Aviation Administration (FAA) menurunkan peringkat Indonesia menjadi kategori 2 dari sebelumnya kategori 1, sehingga maskapai Indonesia tidak diperbolehkan terbang ke wilayah AS.
FAA menurunkan peringkat Indonesia menjadi kategori 2 karena otoritas penerbangan Indonesia belum memenuhi standar keselamatan penerbangan minimum dari International Civil Aviation Organization (ICAO) atau organisasi penerbangan sipil internasional.
Pemeringkatan FAA terhadap suatu negara hanya ada dua kategori, yakni kategori 1 yang menandakan otoritas penerbangan setempat telah menerapkan standar ICAO, sedangkan kategori 2 belum menerapkan standar ICAO.
Selang empat bulan, otoritas penerbangan Uni Eropa juga ikut-ikutan "melarang" maskapai Indonesia untuk terbang ke wilayah Uni Eropa. Keputusan tersebut diambil menyusul adanya kecelakaan angkutan udara secara beruntun di Indonesia.
Selain itu, menurut Ketua Perwakilan Uni Eropa Pierre Phillipe dikutip dari Antara, larangan terbang itu juga disebabkan Indonesia dinilai masih kurang memenuhi standar keselamatan penerbangan dari ICAO.
Larangan terbang dari kedua otoritas penerbangan tersebut jelas membuat citra dunia penerbangan Indonesia menjadi buruk. Masalah keselamatan penerbangan Indonesia kala itu memang memprihatinkan.
Sepanjang 2005-2007, jumlah kecelakaan angkutan udara mencapai 22 kecelakaan. Dari 22 kecelakaan itu, sebanyak sembilan kecelakaan di antaranya merenggut korban jiwa, dengan total jumlah korban jiwa sebanyak 326 orang.
Dari 22 kecelakaan tersebut, dua kecelakaan di antaranya memakan korban jiwa yang sangat besar, yakni kecelakaan Mandala Airlines pada 5 September 2005 yang memakan korban jiwa hingga 149 orang, dan kecelakaan Adam Air pada 1 Januari 2007 dengan korban jiwa mencapai 102 orang.
Pembenahan mulai dilakukan, standar dan rekomendasi yang ditetapkan ICAO terus dipenuhi. ICAO punya audit yang diberi nama Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) atau audit pengawasan keselamatan penerbangan secara langsung (on site) dan audit dokumen (off site). Audit dokumen mencakup masalah perundang-undangan, organisasi, lisensi personel, kelaikudaraan, investigasi kecelakaan, aerodrome, navigasi udara, dan operasi.
Dari hasil audit itu, skor kepatuhan keselamatan penerbangan di Indonesia memang mengalami tren membaik. Pada akhir 2017, ICAO mengumumkan skor tingkat kepatuhan Indonesia mencapai 81,15 persen atau di atas rata-rata skor global sebesar 60 persen. Pada 2007, hasil audit ICAO menyebutkan tingkat kepatuhan Indonesia hanya level 54 persen. Pada 2014, malah turun menjadi 45 persen, dan 2016 naik sedikit menjadi 51 persen.
“Dengan hasil [USOAP] ini Indonesia masuk dalam peringkat ke-55 dari sebelumnya berada pada peringkat 151 di antara negara-negara Asia Pasifik,” kata Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan pada November 2017.
Dalam konteks terkini, apakah kecelakaan Lion Air JT 610 akan membuat level keselamatan penerbangan oleh ICAO akan turun?
Secara langsung dampaknya memang tidak. Peringkat atau standar keselamatan penerbangan bukan diukur dari statistik kecelakaan, melainkan dari kepatuhan pelaku penerbangan yang bersangkutan terhadap standar dan rekomendasi dari ICAO. Standar dan rekomendasi yang dimaksud itu tertuang di dalam dokumen bernama Annex. Saat ini terdapat 19 Annex, di mana di dalam dokumen tersebut terdapat ribuan standar dan rekomendasi untuk diterapkan di dunia penerbangan. Ribuan standar itu diaudit melalui skema USOAP oleh ICAO.
“Jika karena kecelakaan, lalu dampaknya kena sanksi down grade dari otoritas penerbangan internasional seperti ICAO, FAA dan Uni Eropa, saya pikir enggak,” kata Gerry Soejatman, Konsultan Penerbangan CommunicAvia kepada Tirto.
Kasus India misalnya, kena down grade oleh FAA dari sebelumnya Kategori I menjadi Kategori II pada 2014. Pada tahun itu, jumlah kecelakaan angkutan udara hanya ada lima kecelakaan dengan korban jiwa sebanyak lima orang.
Pada 2013, jumlah kecelakaan udara di India tidak ada satupun. Pada 2012, angka kecelakaan hanya tiga kecelakaan dengan tanpa korban jiwa. Tahun sebelumnya lagi, angka kecelakaan hanya empat kecelakaan dengan tanpa korban jiwa.
Kondisi yang sama juga terjadi terhadap Thailand. FAA menurunkan rating Thailand menjadi Kategori II pada Desember 2015. Padahal, sepanjang 2011-2015, jumlah kecelakaan hanya tercatat sebanyak empat kejadian tanpa korban sama sekali.
Bandingkan dengan statistik kecelakaan Indonesia sebelum FAA menaikkan rating Indonesia menjadi Kategori I pada Agustus 2016. Dari data Aviation Skynet, terdapat 23 kecelakaan udara sepanjang 2013-2016 dengan korban jiwa mencapai 365 orang. Naik turunnya peringkat keselamatan penerbangan di atas kertas memang tak linier dengan statistik kecelakaan. Namun, Gerry berpendapat apabila ditemukan persoalan terhadap kepatuhan ICAO pasca audit maka "tidak menutup kemungkinan down grade bisa terjadi,” jelasnya.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati menilai skor audit keselamatan penerbangan ICAO yang membaik tidak serta merta sejalan dengan jumlah kecelakaan yang menurun.
“India dan Thailand adalah contohnya. Statistik kecelakaan mereka bagus, namun kena down grade FAA. Untuk itu, saya pikir hubungan antara tingkat kepatuhan dengan pesawat jatuh itu tidak inline,” kata Arista kepada Tirto.
Saat level kepatuhan keselamatan penerbangan Indonesia yang dicatat ICAO membaik tapi tak menjamin berakhirnya insiden kecelakaan pesawat udara berakhir. Kasus kecelakaan Lion Air JT 610, memunculkan pertanyaan mendasar, apakah "rapor bagus" dari ICAO sudah benar-benar sesuai di lapangan?
Editor: Suhendra