Menuju konten utama

Larangan Penggunaan Kantong Plastik di Rwanda Ciptakan Pasar Gelap

Ancaman hukuman kurungan dan denda atas penggunaan kantong plastik di Rwanda justru melahirkan penyelundupan. Penjaga di perbatasan bisa disuap dengan seks.

Larangan Penggunaan Kantong Plastik di Rwanda Ciptakan Pasar Gelap
Ilustrasi stop penggunaan kemasan plastik atau kantong plastik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Jika Anda berkunjung ke Rwanda, Afrika Timur, jangan berharap Anda bisa dapat menjumpai atau menenteng kantong plastik dengan bebas di tempat umum. Sejak 2008 pemerintah setempat melarang penggunaan kantong plastik. Aktivitas mengimpor, memproduksi, menggunakan atau menjual kantong plastik adalah ilegal.

Aturan dan larangan ketat demi menyelamatkan lingkungan dari limbah plastik justru muncul dan diterapkan di negara kecil di Afrika Timur yang pernah dilanda peperangan hebat antar-etnis 24 tahun silam.

Makanan yang dibungkus plastik hanya diperbolehkan di hotel-hotel dan dikonsumsi di tempat. Plastik pembungkus daging beku dan ikan harus berjenis biodegradable, dan tidak berlaku untuk membawa barang lain seperti buah dan sayuran. Alasannya, karena kantong biodegradable membutuhkan 24 bulan agar benar-benar hancur.

Perusahaan harus benar-benar meyakinkan pemerintah dengan rencana bisnis yang rinci jika tetap ngotot memakai kantong plastik untuk kemasan produknya. Mereka harus sanggup mengumpulkan dan mendaur ulang plastik dari produk sendiri.

Otoritas Rwanda mengklaim bahwa kantong plastik berkontribusi terhadap bencana banjir karena menghambat pertumbuhan tanaman akibat tanah yang dicemari timbunan plastik.

Hasil dari penerapan larangan tersebut diklaim membuat jalanan ibu kota dan tempat umum lainnya hampir semuanya bersih dari sampah plastik. Bahkan tiap bulan ada kegiatan kerja bakti massal warga Rwanda termasuk diikuti oleh presiden.

Celah Penyelundupan

Beberapa tahun berjalan, pada 2017 kemarin New York Times menurunkan laporan tentang bagaimana kantong plastik di Rwanda masih diminati oleh beberapa warga, khususnya bagi yang terlibat aktivitas dagang di pasar dan kaki lima.

Kendati ilegal, tingginya permintaan kantong plastik melahirkan ladang baru berupa pasar gelap. Para penyelundup menggunakan segala cara, seperti menyelipkan buntalan kantong plastik ke dalam bra dan pakaian dalam lainnya. Perkara menyembunyikan kantong plastik sudah seperti sedang menyelundupkan narkotika atau emas berlian berharga dari tambang ilegal.

"Kantong plastik ini sama buruknya dengan narkoba," kata Egide Mberabagabo, salah seorang pejabat perbatasan yang bertugas menangkap siapapun yang menyelundupkan dan membuang plastik ilegal.

Tugas Mberabagabo pun bertambah. Selain bertugas menangkap penyelundup hasil tambang ilegal, ia juga menyasar penyelundup kantong plastik, yang bisa dihukum enam bulan penjara, dikenai denda atau dipaksa membuat pengakuan di muka publik apabila tertangkap.

Umutoni Magambo (28) warga Rwanda yang tinggal dekat perbatasan Kongo telah menyelundupkan ribuan kantong plastik ke Rwanda. Dilansir dari Al-Jazeera, Magambo mengantar berbagai macam ukuran kantong plastik beserta permintaan barang di dalamnya seperti kebutuhan susu bubuk, tomat dan minyak nabati.

Kurir lain dari Kongo yang tak mau disebutkan namanya menceritakan teknik menyelundupkan plastik. Caranya, plastik dililitkan ke sekujur tubuh yang tertutup pakaian. Jika berhasil menembus perbatasan sampai ke ibu kota Kigali, sang kurir akan diupah 10 sampai 30 dolar—hampir sepadan dengan upah rata-rata per minggu di Rwanda.

Menurut pengakuan penyelundup di pos perbatasan, mereka terpaksa menghancurkan kantong plastik jika tertangkap. Mereka juga kerap ditahan tanpa batas waktu atau didenda ratusan dolar yang mustahil bisa dibayar. Para penyelundup terutama dari Kongo menuturkan bahwa penjaga pos perbatasan bisa disuap dengan seks.

Terbukanya celah penyelundupan kantong plastik kerap dikaitkan dengan kegagalan pemerintah Rwanda mencari solusi terbaik bagi para warganya, khususnya para perempuan yang bergantung pada kantong plastik ketika berbelanja.

Beatrice Rukundo, seorang pedagang di pasar kota Gisenyi, mengeluhkan bahwa para pelanggannya selalu menuntut kantong plastik. “Tidak ada pembeli yang mau membawa pulang daun singkong atau tomat dalam kantong kertas. Jika sayurannya basah, kantongnya hancur,” tuturnya.

Selain Rwanda, Kenya juga memberlakukan hukuman paling berat sedunia untuk pemakaian kantong plastik. Sejak Agustus 2017, warga Kenya yang menjual dan menggunakan kantong plastik dapat dipenjara empat tahun atau denda 40.000 dolar.

Uganda, ternyata diam-diam memanfaatkan larangan tersebut untuk merayu para produsen kantong plastik agar memindahkan pabrik mereka. Dilansir dari The East African, pihak Uganda Investment Authority (UIA) menawarkan kemudahan bagi produsen plastik asal Kenya untuk berinvestasi di Uganda dan mendapat perlindungan sesuai undang-undang yang berlaku.

Semua negara anggota Komunitas Afrika Timur (EAC) dianjurkan untuk melarang penggunaan kantong plastik. Namun sejauh ini hanya Kenya dan Rwanda yang sudah menjalankan aturan tersebut.

Problem Sampah Plastik

Data dari Ocean Conservacy menyebutkan, 8 juta metrik ton plastik masuk ke lautan setiap tahunnya.

Laporan World Economic Forum (WEF) berjudul “The New Plastics Economy Rethinking the future of plastics” (2016) bahkan mengklaim pada 2050 mendatang jumlah ikan di lautan akan sebanding dengan sampah plastik. Pasalnya, tiap kantong plastik butuh waktu sampai 1.000 tahun untuk membusuk dan terurai.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak negara-negara yang mulai mengikuti jejak Rwanda dalam memboikot kantong plastik. Sama halnya dengan Rwanda, aturan larangan plastik di Cina berlaku sejak 2008. Per 1 Juni, pemerintah Cina melarang produksi kantong plastik ultra tipis di bawah 0,025mm. Supermarket juga dilarang memberikan kantong plastik kepada konsumen.

Sejak 2011 Ethiopia mengeluarkan larangan dengan mencegah pembuatan dan impor kantong plastik sekali pakai. Di Maroko, sejak Oktober 2016 melarang produksi, impor, penjualan dan distribusi kantong plastik di seluruh negeri. Tunisia mulai 1 Maret 2017 melarang semua jaringan supermarket memakai kantong plastik.

Sebuah undang-undang di Perancis pada 2016 lalu mengesahkan pelarangan penggunaan perabotan plastik mulai dari gelas, piring dan lain sebagainya mulai 2020. Barang-barang yang bahannya bisa dikomposkan akan digunakan sebagai gantinya.

Dilansir dari Science Alert, kantong plastik sekali pakai sudah dilarang digunakan di supermarket Perancis sejak Juli 2016. Per 1 Januari 2017, kantong plastik juga dilarang di gerai buah dan sayuran.

Infografik Boikot plastik

Negeri-negeri Eropa memang tak tampak menggencarkan aksi boikot sampah plastik. Beberapa hanya mengenakan pajak atau aturan pembatasan saja. Mungkin ini berkaitan dengan limbah plastik Eropa yang dikirim ke Cina untuk diolah menjadi berbagai macam barang.

Namun, mulai Desember 2017 pemerintah Cina pun melarang impor limbah. Dilansir dari The Guardian, beberapa pejabat Eropa mulai kelabakan dan memikirkan secara serius untuk melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai karena berpotensi jadi tumpukan sampah raksasa.

Di Indonesia pernah menerapkan uji coba plastik berbayar di setiap gerai ritel modern per 21 Februari 2016 lalu. Namun kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan menekan penggunaan kantong plastik, selain payung hukum yang tak jelas.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dirilis pada 2016 menyebut konsumsi kantong plastik diperkirakan mencapai 9,8 miliar kantong per tahunnya, yang seluruhnya bersumber dari 9 ribu gerai retail modern. Dengan asumsi penduduk Indonesia berjumlah 250 juta jiwa, maka rata-rata satu orang memakai 40 kantong plastik per tahun, atau 3-4 kantong plastik per bulan.

Para peneliti telah mengembangkan pengurai plastik biologis. Ulat seperti Mealworn atau larva Galleria mellonella diklaim mampu mengurai sampah plastik lewat proses pencernaan. Pengembangan terus dilakukan agar mekanisme penguraian dapat diterapkan dalam skala besar.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf