tirto.id - “Sampah elektronik itu mengandung racun. Jadi kalau dibuang sembarangan, racunnya akan menyebar kemana-mana dan itu bahaya banget” ujar Rafa Jafar dikutip dari BBC Indonesia.
Rafa adalah remaja yang berumur 12 tahun yang menciptakan tempat sampah khusus untuk barang elektronik bekas yang dia namakan drop box e-waste.
"Pertama sampah elektronik harus dipilah dulu sampai ke bagian paling kecilnya, ke besi-besinya. Kalau sudah, nanti mereka akan didaur ulang, jadi sesuatu lagi. Ada yang waktu itu dari proyek konstruksi, buat barang-barang bahan bangunan. Lalu alat musik, instrumen dan ada juga yang menjadi alat elektronik lagi," ujarnya lagi.
Inisiatif dari Rafa Jafar untuk membangun kesadaran akan pentingnya memilah sampah elektronik agar tidak digabung dengan jenis sampah lainnya memang patut diacungi jempol dan diapresiasi tinggi. Namun, permasalahan sampah elektronik tidak belum selesai. Pertanyaan selanjutnya, kemana komponen elektronik lainnya yang memang benar-benar tidak bisa digunakan itu bermuara dan kemudian didaur ulang?
Secara umum, sampah elektronik merupakan barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai seperti layar tabung monitor, telepon genggam lawas, printer, kulkas, radio, kamera, laptop, hard disk, CD rom, PCB dan masih banyak lagi. Barang-barang ini biasanya dibuang begitu sudah tidak bisa dipakai sama sekali. Sayangnya, bagian-bagian dari alat elektronik ini tidak bisa terurai secara alamiah dan harus ada penanganan secara khusus untuk pemusnahannya.
Pengolahan limbah elektronik memerlukan penanganan yang tepat. Penanganan yang asal-asalan bisa menimbulkan dampak yang serius terhadap kesehatan dan lingkungan. Kandungan logam-logam berat yang ada di limbah elektronik seperti timah, amerisium, krom, besi, timbal, perak, merkuri, kadmium, sulfur dan tembaga masuk dalam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun), berdampak luas ketika telah terkontaminasi dengan air, tanah dan udara.
Pengelolaan Limbah Elektronik di Indonesia
Di Indonesia, celakanya tidak ada tempat pengolahan terhadap limbah elektronik. Data yang dirilis United Nations University bertajuk The Global E-Waste Monitor 2014 menyebutkan, setiap orang Indonesia rata-rata membuang limbah elektronik sekitar tiga kilogram. Secara total jumlahnya mencapai 745 kiloton yang merupakan terbesar di Asia Tenggara.
Namun, pembuang limbah elektronik perorangan tertinggi di Asia Tenggara ditempati oleh Singapura yang mencapai 19,6 kilogram untuk satu orang. Secara total limbah elektronik di negara itu hanya mencapai 110 kiloton.
Data itu menyebut ada sekitar 42 juta ton kulkas, televisi, mesin cuci, dan peralatan elektronik bekas lain di seluruh dunia. Gunungan limbah elektronik ini jika dikalkulasi mengandung sekitar 16.500 kiloton besi, 1.900 kiloton tembaga, dan 300 ton emas.
Dengan sampah elektronik yang sedemikian besar, Indonesia ternyata baru sebatas memiliki fasilitas pengelolaan untuk pemisahan (dismantling) komponen elektronik yang beberapa mengandung mineral berharga, seperti tembaga dan emas.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada empat wilayah tempat pemisahan komponen elektronik. Di Batam, ada satu industri yang menangani pemisahan bagian-bagian kecil komponen eletronik. Jawa Tengah memiliki tiga industri, dua mengumpulkan baterai bekas dan yang satu mengumpulkan layar monitor. Jawa Barat memiliki tiga industri yang hanya mengumpulkan limbah elektronik untuk diekspor. Terakhir di Tangerang yang memiliki satu industri pengumpul limbah elektronik.
Menanggapi permasalahan lama yang kian membutuhkan solusi secepatnya, pemerintah menawarkan program Extended Producer Responsibility (EPR) seperti yang sudah diterapkan di negara-negara maju. EPR ini nantinya merupakan tanggung jawab produsen yang diperluas pada mata rantai produksi secara fisik dan pembiayaannya hingga pada tahap setelah penggunaannya.
Namun, wacana EPR yang bersifat wajib ini masih belum diterima oleh Gabungan Pengusaha Elektronik Indonesia. Mereka beralasan beban biaya produksi barang elektronik akan bertambah. Ditambah ketatnya persaingan pemasaran produk-produk elektronik dan beragamnya skala industri produsen eketronik menjadi alasan.
Bagi industri elektronik transnasional seperti Dell Computer, Hewlett Packard, dan Nokia, pelaksanaan EPR disambut baik karena akan meningkatkan imej masyarakat sebagai industri hijau. Sedangkan di beberapa negara Asia Tenggara, perusahaan-perusahaan tersebut sedang mengembangkan program Take Back yaitu pengambilan kembali produk elektronik yang telah menjadi limbah.
Pengelolaan limbah elektronik yang tidak memperhatikan tata kelola lingkungan akan mengakibatkan pencemaran logam berat dan senyawa beracun yang tidak terkendali yang bersifat lintas batas.
Masalah di Negara Besar
Di Amerika, aturan mengenai limbah elektronik sudah diinisiasi sejak 2001. Sebuah kebijakan untuk mengalihkan limbah elektronik dari tempat pembuangan akhir sampah telah mendorong lahirnya undang-undang di banyak negara bagian yang memiliki volume lebih tinggi. Limbah elektronik itu kemudian dikumpulkan dan diolah terpisah dari aliran limbah padat. Saat ini, tercatat sudah 25 negara bagian mengeluarkan aturan dan tempat pengolahan limbah elektronik.
Menurut United Nations University, secara keseluruhan ada 41.800.000 ton limbah elektronik yang merujuk pada perangkat dengan kabel listrik atau baterai dibuang di seluruh dunia pada tahun 2014 dan diperkirakan hanya 6,5 juta ton diambil untuk daur ulang.
Perusahaan-perusahaan nasional di Amerika menawarkan daur ulang sampah elektronik tanpa biaya. Ini terbuka untuk umum, secara nasional bahkan internasional. Program-program tersebut sering menawarkan jasa untuk mengambil kembali dan mendaur ulang barang elektronik termasuk ponsel, laptop dan komputer desktop, kamera digital, dan lainnya.
Meskipun sangat membantu dari segi lingkungan dan para warga, ada beberapa kelemahan terkait program ini. Banyak perusahaan yang menawarkan jasa daur ulang. Sayangnya, pusat daur ulang milik mereka masih sedikit jumlahnya. Atau dalam kasus lain, jumlah atau jenis barang elektronik yang hendak didaur ulang terbatas.
Perusahaan elektronik Dell pernah sampai memberikan uang kepada konsumen di Beijing dan Shanghai senilai $ 0,15 untuk 1 kilogram komputer lama. Lagi-lagi proyek ini gagal karena harga yang ditawarkan Dell lebih rendah dibanding harga yang diberikan oleh para pengepul untuk membeli komputer lama.
Di Cina, daur ulang informal umumnya menggunakan proses primitif dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungannya. Metode daur ulang informal sebagian besar dilakukan manual, tenaga kerja tidak terampil dan secara bersama-sama. Di negara tersebut, daur ulang sudah menghidupi banyak orang.
Pemerintah Cina tidak tinggal diam. Berbagai aturan telah dikeluarkan untuk menekan pekerjaan yang mempertaruhkan kesehatan dan dampak lingkungan serius ini. Di daerah Tianjin, Taicing, Ningbo, Taizhou dan Zhangzhou, taman daur ulang lokal telah dibangun di tempat yang sebelumnya menjadi tempat para buruh mendaur ulang secara manual dan lebih menjamin dalam urusan manajemen polusi.
Di Guiyu, solusi yang berbeda diterapkan. Pemerintah mengganti mekanisme dan peralatan daur ulang konvensional dari yang awalnya pemanggangan menggunakan batubara, kini dengan pemanas listrik sebagai cara mengambil berbagai komponen elektronik dari papan sirkuit.
Kota Guiyu sebagai lokomotif perekonomian provinsi Guangdong di Cina sendiri telah lama dikenal sebagai salah satu tempat pembuangan limbah elektronik terbesar di dunia. Puncaknya, sekitar 5.000 bengkel reparasi pernah menyetor 15.000 ton limbah setiap hari yang isinya mencakup hard drive, ponsel, layar komputer dan komputer yang dikirim dari seluruh dunia.
Dampak langsungnya, dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Shantou, udara kota Guiyu dan air di sana sangat terkontaminasi oleh partikel logam beracun, sehingga anak-anak yang tinggal di sana memiliki tingkat abnormal tinggi terkait kadar timbal dalam darah mereka.
Limbah elektronik, yang banyak mengandung zat-zat kimia berbahaya tentu saja bukan perkara yang bisa terus diremehkan. Ancaman akan pencemaran lingkungan dan kesehatan akibat sampah elektronik bila tidak segera mendapat penanganan yang serius akan berdampak langsung pada lingkaran terdekat.
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti