tirto.id - Herdi, pegawai di salah satu minimarket di Jakarta Selatan, harus menyiapkan minimal 900 buah kantong plastik setiap hari. Jumlah kantong plastik yang disediakan kadang-kadang bisa lebih banyak karena kebutuhan yang terus bertambah.
“Tidak sedikit juga pembeli yang memakai lebih dari satu kantong plastik. Tergantung jumlah barang yang dibeli,” katanya kepada Tirto.
Para pembeli umumnya tak sadar kantong plastik yang mereka dapatkan saat berbelanja adalah sumber baru masalah sampah. Konsumsi kantong plastik di Indonesia tergolong besar. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dirilis pada 2016, konsumsi kantong plastik diperkirakan mencapai 9,8 miliar kantong per tahun—yang bersumber dari 90 ribu gerai retail modern. Bila asumsi penduduk Indonesia 250 juta jiwa, maka rata-rata satu orang memakai 40 kantong plastik per tahun atau 3-4 kantong plastik per bulan.
Konsumsi yang besar ini jadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah. Sampah plastik membutuhkan waktu ratusan tahun agar bisa terurai di tanah. Pemerintah sudah mencoba mengendalikan konsumsi kantong plastik khususnya di gerai retail modern dengan sistem kantong plastik berbayar, tapi akhirnya dihentikan.
Kini, salah satu cara baru yang akan ditempuh pemerintah adalah dengan mengenakan cukai terhadap kantong plastik. Rencana membuat plastik sebagai barang kena cukai (BKC) sudah dikaji pemerintah sejak tahun lalu. Tujuannya untuk melakukan pengendalian konsumsi kantong plastik. Indonesia punya target pengurangan konsumsi plastik 75 persen di lautan hingga 2025.
“Sekarang masih dalam pembahasan di level kementerian. Dalam waktu dekat, kami akan dengar pendapat dengan DPR,” kata Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro kepada Tirto.
Rencana pemerintah mengenakan cukai pada kantong plastik mengacu pada ketentuan syarat pengenaan cukai. Sebuah barang yang bisa berdampak negatif bagi lingkungan hidup dapat diberlakukan pungutan cukai.
Berdasarkan UU No. 39/2007 tentang Cukai, barang dapat dikenakan cukai apabila memiliki sifat atau karakteristik tertentu, yakni pertama, konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredaraannya perlu diawasi. Ketiga, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Keempat, pemakaiannya bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
“Pengendalian plastik [dengan cukai] juga berlaku di kawasan Eropa, Amerika Utara, Asia, dan Oceania. Sudah ada beberapa negara yang sudah memberlakukan cukai plastik,” tambah Deni.
Target pemberlakuan cukai terhadap kantong plastik pada Juli 2018. Rencana ini sudah tertuang dalam APBN 2018, dan ditargetkan menyumbang penerimaan sebesar Rp500 miliar. Kantong plastik adalah jenis plastik yang kali pertama akan kena cukai.
Rencana cukai pada kantong plastik mendapat respons dari dunia usaha, karena mereka yang akan kena imbas langsung kebijakan ini. Bagi pengusaha, pemberlakuan cukai plastik adalah kabar buruk, terutama yang bergerak di sektor plastik. Penerapan cukai akan menambah biaya baru dalam laporan keuangan perusahaan.
“Banyak hal yang harus dipersiapkan agar dapat menerapkan cukai plastik, mulai dari standar prosedur, SDM dan lain sebagainya,” kata Fajar Budiyono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) kepada Tirto.
Ia menilai rencana penerapan cukai plastik pada 2018 tidak tepat. Alasannya, tren kinerja industri plastik tengah stagnan. Dampak adanya cukai akan membuat pertumbuhan permintaan plastik tahun ini bakal lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu sebesar 5 persen. Di sisi lain, penurunan konsumsi ini memang sesuai target dari penerapan kebijakan cukai kantong plastik.
Bagi kaca mata pebisnis, persoalan cukai kantong plastik memang tak sesederhana itu. Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) menilai cukai kantong plastik berpotensi menaikkan harga jual produk makanan dan minuman. Namun, Gapmmi belum bisa menjabarkan hitung-hitungan dampak pada kenaikan harga makanan dan minuman setelah berlakunya cukai.
“Kami pasti keberatan, meski itu kantong plastik. Bagaimanapun, kantong plastik itu sebagai pembungkus makanan atau minuman. Pasti ada pengaruhnya,” ujar Sribugo Suratmo, Wakil Ketua Gapmmi kepada Tirto.
Ditjen Bea Cukai masih melakukan tahap pembahasan soal besaran tarif cukai kantong plastik. Namun, tarif itu akan dikenakan kepada produsen kantong plastik. Dalam pelaksanaannya, pemerintah juga belum menentukan apakah perlu pelekatan pita cukai atau tidak, seperti pada produk rokok.
Cukai Plastik Bakal Tak Efektif
Tujuan penerapan cukai kantong plastik untuk mengurangi konsumsi kantong plastik di dalam negeri. Namun, ada kekhawatiran kebijakan ini hanya akan menaikkan harga barang tapi tak efektif membuat orang mengurangi pemanfaatan kantong plastik.
Pemerintah sempat melakukan uji plastik berbayar yang mulai berlaku pada 21 Februari 2016. Sebanyak 22 kota di Indonesia, serentak memberlakukan sistem kantong plastik berbayar sebesar Rp200 untuk setiap lembar kantong plastik.
Pungutan tersebut diatur melalui surat edaran Kementerian Lingkungan Hidup kepada Kepala Daerah No. S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang harga dan mekanisme penerapan kantong plastik berbayar.
Sayangnya, program kantong plastik berbayar itu hanya bertahan kurang lebih 7 bulan. Per Oktober 2016, program itu resmi dihentikan. Kantong plastik kembali diberikan gratis oleh toko ritel modern kepada para konsumen. Alasan toko ritel modern menghentikan program tersebut lantaran pungutan kantong plastik tidak memiliki dasar aturan hukum yang kuat, sehingga peritel modern terancam menghadapi tuntutan hukum.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat melakukan uji efektivitas terhadap kebijakan kantong plastik berbayar. Pada survei yang dilakukan Maret-6 April 2016 di 25 lokasi di DKI dengan melibatkan 15 ritel modern dan 222 konsumen, hasilnya sekitar 40 persen konsumen di DKI Jakarta tidak lagi menggunakan plastik saat berbelanja, tapi yang memakai kantong plastik lebih banyak.
"Walaupun sudah ada pengurangan sementara jumlah konsumsi kantong plastik, tetapi 50-60 persen konsumen masih tetap menggunakan kantong plastik," kata Peneliti YLKI Natalya Kurniawati.
Akademisi Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai kebijakan cukai memang berpotensi mengendalikan dan mengurangi konsumsi kantong plastik. Namun, cara itu butuh upaya lain agar penanggulangan sampah bisa efektif.
“Namun, cukai saja tidaklah cukup. Perlu ada upaya lainnya, terutama dalam memberikan kesadaran bagi masyarakat, agar dapat mengendalikan konsumsi plastik. Ini juga menjadi hal yang harus dipikirkan pemerintah,” katanya kepada Tirto.
Selain kesadaran, pemerintah juga perlu memikirkan pengelolaan limbah plastik. Pelaku usaha dari Inaplas menilai pengelolaan limbah plastik di Indonesia masih belum sempurna, sehingga sampah plastik menjadi menumpuk. Penyempurnaan pengelolaan limbah lebih menyentuh langsung persoalan lingkungan ketimbang pengenaan cukai plastik. Taiwan bisa menjadi rujukan Indonesia dalam mengelola limbah.
Pengenaan cukai terhadap kantong plastik bisa jadi membuat konsumsi kantong plastik dapat dikendalikan jumlahnya. Namun, esensi cukai juga punya misi lain yaitu menambal pemasukan kas negara. Jangan sampai kebijakan cukai kantong plastik hanya fokus untuk menambal penerimaan negara saja.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra