Menuju konten utama

Mengintip Kota-kota Gudang Sampah di Indonesia

Banyak faktor yang membuat target mengurangi sampah 70 persen di 2025 bakal sulit tercapai, salah satunya perilaku masyarakat.

Header Periksa Data Pengurangan Sampah

tirto.id - Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Sampah yang dihasilkan juga banyak mencemari lautan yang sebagian dihasilkan dari wilayah daratan terutama kota-kota besar.

Diperkirakan ada sekitar 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke lautan setiap tahun di dunia. Jambeck, et.al (2015) pernah mempublikasikan penelitiannya yang berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean.

Dalam riset yang dilakukan terhadap 192 negara, terlihat bahwa Indonesia menyumbang sebanyak 3,22 juta metrik ton (millions of metric tons/MMT) limbah plastik. Penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Lamb, et.al (2018) yang berjudul Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs. Riset ini menunjukkan bahwa sampah plastik paling banyak ditemukan di Indonesia, yakni 25,6 bagian per 100m2 terumbu karang di lautan.

Penelitian ini dilakukan terhadap 159 kawasan terumbu karang di Asia Pasifik pada periode 2011-2014. Tingginya sampah plastik ini berkaitan dengan jumlah penduduk dan pengelolaan sampah, sekitar 80 persen sampah plastik berasal dari darat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat menjadi 9.710,61 meter kubik di 2016.

Wilayah lain di luar Pulau Jawa yang produksinya tinggi adalah Kota Mamuju, yaitu 7.383 meter kubik dan Kota Makassar, sebesar 5.931,4 meter kubik pada 2016. Dari pemantauan Statistik Lingkungan Hidup pada 2010 hingga 2016, ditemukan bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya mengalami kenaikan produksi sampah. Tentunya dengan Pulau Jawa sebagai penyumbang terbesar karena kepadatan penduduknya yang lebih tinggi dibandingkan pulau lainnya.

Untuk itu, dalam upaya menanggulangi permasalahan sampah khususnya di lautan, Indonesia berencana mengurangi sampah di lautan sebesar 70 persen pada 2025. Rencana ini sempat disampaikan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Jose Tavares, pada East Asia Summit (EAS) Conference on Combating Marine Plastic Debris yang diselenggarakan di Bali pada 6-7 September 2017.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/20/sulitnya-pengurangan-sampah--periksadata--quita-01.jpg" width="860" alt="infografik periksa data pengurangan sampah" /

Di Jakarta, dengan jumlah penduduk sekitar 10,25 juta jiwa pada 2016, produksi sampahnya diperkirakan sebesar 7.099,08 meter kubik, meningkat dari 7046,39 meter kubik pada tahun sebelumnya. Sementara Surabaya, sebagai kota dengan produksi sampah tertinggi di Indonesia, meskipun dihuni oleh 2,87 juta jiwa pada 2017, jumlah produksi sampah di 2016 sebesar 9.710,61 meter kubik.

Di luar kepadatan penduduk, tingginya produksi sampah ini juga disebabkan banyaknya industri yang berkembang di kota tersebut. Selain itu, tingginya produksi sampah, ternyata tidak diimbangi dengan volume sampah yang terangkut. Pada 2016, dari 30 Ibu kota provinsi, rata-rata capaian keterangkutannya hanya 71,20 persen dari total produksi sampah.

Kota Denpasar, Bali merupakan kota dengan tingkat keterangkutan sampah terbesar di Indonesia, yaitu 97,47 persen dari 3.719 meter kubik sampah yang diproduksi. Posisi Bali sebagai destinasi wisata internasional memang menjadi faktor capaian positif ini. Sedangkan, tingkat keterangkutan sampah di Kota Mamuju merupakan yang terendah di Indonesia, yaitu hanya 2,82 persen dari total produksi sampah sebesar 7.383 meter kubik.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/20/sulitnya-pengurangan-sampah--periksadata--quita-02.jpg" width="860" alt="infografik periksa data pengurangan sampah" /

Permasalahan sampah tak hanya terkait dengan produksi maupun keterangkutannya, tapi masalah pemilahan terhadap jenis organik dan nonorganik. Manajemen pemilahan sampah akan menentukan pengelolaan sampah yang baik.

Secara umum, volume sampah organik yang terangkut per harinya lebih besar dibandingkan anorganik dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Di Jakarta, misalnya, pada 2016, tercatat 3.233,77 meter kubik sampah organik yang terangkut, sedangkan untuk anorganik hanya sebesar 2.748,90 meter kubik dan B3 sebesar 33,63 meter kubik.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/20/sulitnya-pengurangan-sampah--periksadata--quita-03.jpg" width="860" alt="infografik periksa data pengurangan sampah" /

Persoalan limbah B3 juga tak kalah pentingnya. Pada 2016, Kota Samarinda merupakan wilayah dengan volume keterangkutan B3 terbesar di Indonesia. Pada 2016, sampah B3 yang terangkut di kota itu mencapai 1.163,36 meter kubik, lebih besar dibandingkan organik (1.161,36 meter kubik) dan anorganik (840,89 meter kubik).

Dengan segala capaian plus dan minus di beberapa kota di Indonesia, apakah Indonesia mampu mencapai target mengurangi sampah di lautan hingga 70 persen di 2025?

Jawabannya memang sangat kompleks karena banyak faktor. Permasalahan yang cukup signifikan soal penanggulangan sampah adalah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah sejak di rumah tangga.

Masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran untuk memilah sampah. Berdasarkan riset BPS, pada 2013 dan 2014, perilaku mengelola dan memilah sampah rumah tangga di Indonesia mengalami penurunan dari 23,69 persen menjadi 18,84 persen. Kemudian perilaku tidak memilah sampah sebelum dibuang naik dari 76,31 persen pada 2013 menjadi 81,16 persen di 2014.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/20/sulitnya-pengurangan-sampah--periksadata--quita-04.jpg" width="860" alt="infografik periksa data pengurangan sampah" /

Maluku Utara merupakan provinsi yang paling tidak sadar dalam memilah sampah. Pada 2014, 91,82 persen rumah tangga menyatakan tidak memilah sampahnya sebelum dibuang. DKI Jakarta yang merupakan kota terpadat pun, kesadaran masyarakatnya untuk memilah sampah masih rendah, yang dapat ditunjukkan dengan 88,65 persen rumah tangga tidak melakukan pemilahan sampah.

Sedangkan, provinsi dengan rumah tangga yang sudah cukup sadar melakukan pemilahan sampah adalah Sulawesi Selatan. Sebanyak 31,88 persen rumah tangga yang sudah melakukan pemilahan sampah dan 68,11 persen belum memilah sampah.

Lemahnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah ini akan berdampak pada sulitnya untuk melakukan daur ulang sampah atau B3 di Indonesia. Apalagi tantangan yang dihadapi dengan semakin bertambahnya penduduk di kota-kota besar dan aktivitas industri, produksi sampah juga makin meningkat dari tahun ke tahun.

Faktor-faktor itu juga akan mempengaruhi volume pengangkutan sampah. Tingkat tidak terangkutnya sampah yang rata-rata sekitar 70 hingga 80 persen membuat realisasi pengurangan 70 persen sampah di lautan pada 2025 bakal sulit dicapai. Pemecahan masalah ini bisa dimulai dari rumah tangga, termasuk individu-individu di dalamnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irma Garnesia
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Suhendra
-->