Menuju konten utama

Gunungan Sampah Plastik Indonesia Menanti Solusi Tegas

Kebijakan diet kantong plastik yang pernah bergulir dianggap terlambat dan belum konsisten. Padahal Indonesia termasuk salah satu negara penghasil sampah plastik dalam jumlah besar di dunia.

Gunungan Sampah Plastik Indonesia Menanti Solusi Tegas
Ilustrasi Sampah Plastik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Aktor Inggris Jeremy Irons punya keputusan yang terasa aneh bagi orang kebanyakan. Demi mengurangi sampah, ia berhenti membeli baju dan sepatu baru. Salah satu aktor dalam "Kingdom of Heaven" dan "Die Hard" ini juga punya kebiasaan membuka bungkus plastik dari barang-barang yang dibelinya dari toko.

"Saya bilang sama petugas toko, kamu saja yang mengurusi sampahnya. Saya tidak butuh apel saya dibungkus plastik, atau persik saya dibungkus plastik. Aneh, zaman sekarang buah-buahan sering dibungkus pakai plastik satu-satu," katanya dikutip dari Antara.

Cerita Jeremy Irons dengan kesadarannya yang tak mau "menyumbang" bertambahnya sampah plastik di dunia ini tentu patut diapresiasi. Sebuah kesadaran bahwa sampah plastik benar-benar jadi masalah global, tak hanya merusak lingkungan di darat tapi juga lautan.

Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, dalam Jurnal Science, di 2015 membeberkan hasil penelitiannya mengenai jumlah sampah plastik yang masuk ke laut. Dari estimasi 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik produksi 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8-12,7 juta MT masuk ke lautan lepas. Dari jumlah tersebut, Indonesia menjadi peringkat kedua negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia yaitu sebesar 3,2 juta MT. Tiongkok menempati urutan pertama sebesar 8,8 juta MT dan disusul oleh Filipina diperingkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta MT.

Keadaan geografis Indonesia yang memiliki garis pantai panjang turut memberikan kontribusi terhadap banyaknya sumbangan sampah ke lautan. Namun tentu yang paling menentukan adalah produksi sampah plastik itu sendiri. Masyarakat di wilayah pesisir banyak memakai produk-produk kemasan plastik terutama kemasan plastik ukuran kecil.

“Banyak masyarakat yang hidup di wilayah sekitar pantai di Indonesia. Daya beli mereka membuat konsumsi kemasan sachet di wilayah pesisir menjadi banyak,” kata Jenna Jambeck dalam diskusi Break Free from Plastic, di Kantor Walhi, Jakarta, Senin (12/6).

Kondisi ini diperparah dengan belum adanya alternatif kemasan lain selain plastik untuk menjangkau pusat perbelanjaan. Sementara itu, kebanyakan masyarakat pesisir tinggal jauh dari akses perbelanjaan dan membutuhkan media mengemas produk secara praktis. Sehingga plastik pun menjadi pilihannya. Padahal keberadaan sampah plastik di lautan selain makin sulit terurai, sampah plastik menjadi ancaman bagi kehidupan hewan laut dan ekosistem terumbu karang.

Sayangnya cara-cara untuk mengatasi sampah plastik di Indonesia belum konsisten, seperti program uji coba diet kantong plastik yang tak dilanjutkan.

Infografik Sampah Plastik

Diet Kantong Plastik

Koordinator Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP ), Rahyang Nusantara menyatakan, sebagai negara penyumbang sampah plastik yang cukup besar, Indonesia dianggap telat memberlakukan regulasi pembatasan kantong plastik. Apalagi, regulasi tersebut dianggap kurang kuat karena hanya berbasis surat edaran, untuk program uji coba diet kantong plastik.

Uji coba terbatas dan pemberlakuan serempak program plastik berbayar tahap pertama pernah berlangsung mulai 21 Februari hingga 31 Mei 2016 berbekal Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

Kebijakan ini awalnya terinspirasi dari sampah plastik hasil dari 100 toko/gerai anggota APRINDO selama 1 tahun menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik. Jumlah tersebut sama dengan luasan 65,7 hektar kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepakbola. Uji coba program ini pernah berlaku di 22 kota Indonesia. Namun, surat edaran ini hanya berlaku hingga 31 Mei 2016 dan diputuskan untuk diperpanjang dengan surat edaran kedua Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK No. SE/8/PSLB3/PS/PLB.0/5/2016.

Sayangnya terdapat jeda waktu selama sebulan antara surat edaran pertama dengan surat edaran kedua. Dalam jeda itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menghentikan kebijakan plastik berbayar. Kantong plastik berbayar berhenti sementara selama sebulan dan dilanjutkan lagi pada 1 Juli 2016. Setelahnya, saat masa berlaku surat edaran kedua sudah habis, Aprindo kembali memberhentikan program kantong plastik berbayar mulai 1 Oktober 2016 sampai dengan diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Plastik Berbayar.

“Sudah setahun proses uji coba (plastik berbayar) digulirkan dan masyarakat butuh kepastian regulasi. Padahal dengan Rp200 saja kita bisa kurangi konsumsi (plastik) hingga 55 persen,” kata Rahyang.

Kepastian payung hukum memang menjadi persoalan dari program diet kantong plastik. Padahal program ini terbukti efektif, berdasarkan survei YLKI pada Maret 2016 di 25 gerai dari 15 nama ritel terkemuka di wilayah DKI Jakarta. Survei ini mencatat sudah ada penurunan jumlah konsumsi kantong plastik pada konsumen, dengan rata-rata penggunaan kantong plastik per konsumen per transaksi adalah kurang dari 3 kantong. Meskipun hasil survei tersebut mendapati masih kurangnya edukasi diet kantong plastik kepada masyarakat. Sehingga, banyak masyarakat belum mengetahui tujuan utama kebijakan ini.

Pemerintah dan ritel malah menuai kritikan terhadap transparansi dana kantong plastik yang ditarik dari konsumen oleh peritel. Misalnya soal penggunaan kantong plastik pada ritel ditetapkan minimal Rp200 per lembar kantong plastik. Jumlah tersebut sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), mekanisme penjualan biasa, dan dana hasil penjualan dikelola oleh ritel sebagai CSR.

Mekanisme ini yang kemudian dipertanyakan oleh sebagian konsumen. Ada yang beranggapan, seharusnya CSR merupakan kewajiban ritel yang tidak boleh dibebankan pada konsumen. Selain itu, bila ingin menghentikan konsumsi sampah plastik, seharusnya ritel sama sekali tidak menyediakan kantong belanja plastik. Dilema ini akhirnya membuat program diet kantong plastik menggantung tanpa kelanjutan, ditambah tak ada payung hukum yang pasti.

Menggantungnya program diet kantong plastik kontra produktif dengan target pemerintah untuk mengurangi 1,9 juta MT sampah plastik pada 2019. Penanganan sampah plastik tak cukup bermodal pencanangan tapi butuh langkah nyata untuk memastikan gunung sampah plastik bisa terpecahkan.

Baca juga artikel terkait DIET KANTONG PLASTIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra