Menuju konten utama

Kurikulum Pendidikan Seksual Cegah Pelecehan Seksual pada Anak

Agar terhindar dari kekerasan seksual, anak-anak harus diajarkan bahwa tubuh mereka bernilai, suara mereka bermakna, dan hak mereka tidak bisa ditawar.

Kurikulum Pendidikan Seksual Cegah Pelecehan Seksual pada Anak
Header Perspektif Amanda Erica Ferdianti. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Fenomena menghebohkan komunitas fantasi sedarah di media sosial belakangan ini menjadi alarm bagi kita semua.

Layar ponsel dipenuhi percakapan vulgar dan foto-foto anak dengan narasi seksual terhadap kerabat dekat, seolah-olah menjadikan anak di bawah umur sebagai objek seksual adalah hal yang normal. Konten semacam ini bukan hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga secara terang-terangan melukai hak anak sebagai manusia yang utuh.

Kejadian tersebut mempertegas urgensi perlindungan anak sejak usia sangat dini, khususnya anak-anak jenjang TK dan SD yang secara psikologis, sosial, dan kognitif belum mampu membela diri sendiri. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan, sepanjang 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak, dan 1.915 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Ironisnya, mayoritas kekerasan justru terjadi di lingkungan terdekat anak—rumah, sekolah, dan komunitas sosial tempat mereka seharusnya merasa paling aman.

Secara hukum, Indonesia memiliki perangkat yang memadai untuk melindungi anak dari kekerasan seksual. UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, termasuk Pasal 76D yang menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana berat.

Meski regulasinya kuat, perlindungan belum berjalan efektif di tingkat implementasi. Padahal, Pasal 25A Undang-Undang Perlindungan Anak mengamanatkan adanya pendidikan sesuai usia. Tanpa kurikulum yang jelas dan dukungan sosial, anak-anak tetap tidak memiliki bekal dasar untuk mengenali ancaman atau melindungi diri.

Titik Lemah

Ketimpangan antara kekuatan hukum dan lemahnya pencegahan semakin mengkhawatirkan jika melihat karakteristik korban yang sebagian besar berasal dari kelompok usia dini. Pada tahap inilah pendidikan bukan hanya penting, melainkan mendesak.

Lily, sahabat terdekat saya, mengalami trauma berkepanjangan akibat bagian privatnya disentuh oleh pamannya sendiri saat ia berusia 8 tahun. Cerita tersebut menunjukkan urgensi yang mengkhawatirkan jika melihat usia Lily sebagai korban. World Health Organization (WHO) menyarankan pendidikan seksual dimulai sejak anak berusia kira-kira 5 tahun ketika pendidikan formal dimulai.

Pendidikan seks di usia dini bukan berarti membahas soal seksualitas dewasa, melainkan pembekalan dasar tentang tubuh sendiri, emosi, dan konsep sederhana seperti keluarga, persetujuan, dan tanggung jawab terhadap diri sendiri. Hal ini penting karena penelitian UNICEF (2024) menemukan hampir satu dari delapan anak di dunia mengalami pemerkosaan atau kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun.

Angka ini menunjukkan betapa rentannya usia kanak-kanak terhadap eksploitasi. Anak TK-SD umumnya belum memahami bahaya, mudah percaya, serta kesulitan mengungkap trauma, sehingga mereka menjadi kelompok yang sangat rentan. Oleh sebab itu, pendidikan seksual sedini mungkin diperlukan sebagai bentuk perlindungan preventif.

Sayangnya, banyak kekhawatiran bahwa edukasi seksual dianggap melanggar norma atau berkonotasi “cabul”. Padahal, definisi pendidikan seksual yang tepat justru bersifat protektif. WHO menjelaskan bahwa Comprehensive Sexual Education (CSE) diperlukan untuk memberikan informasi akurat dan sesuai usia tentang seksualitas demi kesehatan dan keselamatan pada anak.

CSE merupakan pendekatan pendidikan berbasis ilmiah dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk memberi anak pemahaman menyeluruh mengenai tubuh mereka, hubungan sosial yang sehat, hak atas integritas tubuh, serta keterampilan untuk melindungi diri dari kekerasan.

Bahan ajar CSE meliputi pengenalan tubuh sendiri, emosi, keluarga dan hubungan sehat, rasa hormat, persetujuan (consent), hingga cara mengenali dan melaporkan kekerasan atau pelecehan.

Studi selama tiga dekade oleh Goldfarb dan Lieberman (2021) menunjukkan, CSE terbukti efektif menunda perilaku seksual berisiko dan mencegah eksploitasi seksual terhadap anak dan remaja.

Sebagai contoh, Belanda memulai CSE sejak anak berusia 4 tahun dan berhasil menurunkan angka kekerasan seksual serta memperbaiki indikator Kesehatan reproduksi remaja. Di Inggris, kurikulum Relationship and Sex Education (RSE) diterapkan sejak 2020 dan meningkatkan keterbukaan anak dalam melaporkan kasus kepada guru dan orang tua.

Artinya, skema ini bukannya mempromosikan seks bebas, tetapi justru merupakan bentuk upaya untuk mengurangi risiko kekerasan dan eksploitasi seksual di kemudian hari. Oleh karena itu, penerapan CSE layak untuk dimasukkan dalam kurikulum nasional sejak jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Berani Berkata Tidak

Body Artikel Bakti Djarum Foundation 7

Finalis Amanda Erica Ferdianti saat melakukan presentasi di Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. (FOTO/dok.Bakti Djarum Foundation)

Dalam CSE, anak usia dini akan diajarkan, terutama mengenai nama-nama tubuh secara tepat, perbedaan sentuhan baik dan buruk, serta hak untuk berkata "tidak" terhadap perlakuan yang tidak nyaman. Materi disampaikan melalui pendekatan digital berbasis aplikasi dan konten interaktif konvensional seperti buku cerita bergambar dan boneka edukatif.

Dalam konteks ini, Chaudhry dan Vostanis (2019) menemukan bahwa edukasi berbasis teknologi seperti kuis digital dan animasi sangat efektif dalam membentuk pemahaman psikososial anak. Sementara itu, Greenhoot dan Beyer (2014) menunjukkan bahwa penggunaan gambar berwarna dalam membaca interaktif secara signifikan meningkatkan pemahaman dan retensi narasi pada anak prasekolah usia 3,5 hingga 4,5 tahun.

Guru, khususnya wali kelas dan guru bimbingan konseling, diberikan pelatihan intensif dalam menyampaikan materi CSE dengan menggunakan media digital dan konvensional. Media tersebut mencakup animasi edukatif, permainan kuis, buku cerita bergambar, boneka, serta simulasi komunikasi sehat yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.

Pelatihan ini dapat diselenggarakan oleh Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023. TPPK berperan sebagai fasilitator utama dalam membekali guru dengan keterampilan teknis dan pendekatan empatik dalam menyampaikan pendidikan seksual sesuai usia perkembangan anak.

Para guru juga dibekali keterampilan komunikasi yang menekankan empati, validasi emosi, dan pengakuan terhadap perspektif individu yang diajak bicara. Pendekatan ini dikenal sebagai high person-centered messages, sebagaimana dijelaskan oleh Solomon dan Thiess (2013). Empati dan validasi emosi menjadi kunci utama saat membahas topik sensitif dengan anak karena terbukti mampu membangun rasa aman psikologis dan meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Efektivitas pendekatan konvensional dan digital dalam pendidikan perlindungan anak telah terbukti secara global. Untuk anak usia di bawah 7 tahun, metode konvensional digunakan oleh KidzLive melalui program I Can Protect Myself dari Lucy Faithfull Foundation di Singapura. Program ini menggunakan lagu, boneka, cerita bergambar, dan permainan peran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan usia dini.

Sementara itu, bagi anak usia di atas 7 tahun, pendekatan digital seperti aplikasi Stop the Groomer dari Inggris dirancang untuk melatih anak mengenali taktik manipulatif pelaku kekerasan seksual (grooming). Aplikasi ini menyajikan kuis dan simulasi interaktif yang mudah dipahami anak, serta mendorong keterlibatan orang tua dalam diskusi lanjutan. Kombinasi konten interaktif dan keterlibatan keluarga terbukti efektif dalam membangun keberanian anak untuk melindungi diri.

Gebrakan Berkelanjutan

Untuk menjamin keberlanjutan dan akuntabilitas program, TPPK di sekolah bertugas menyelenggarakan pelatihan guru secara berkala serta membentuk sistem pelaporan formal. Setiap sekolah wajib menyusun laporan rutin mengenai pelaksanaan CSE dan jumlah pengaduan atau kasus yang terdeteksi, yang dikompilasi oleh TPPK untuk dilaporkan ke pemerintah daerah dan KPAI.

Data ini digunakan untuk mengevaluasi efektivitas program. Seluruh sistem pelaporan terhubung ke hotline SAPA 129 milik Kementerian PPPA dan unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polri agar jalur penanganan berjalan cepat dan terintegrasi.

Uji coba kurikulum perlu dilakukan secara terbatas sebelum diterapkan secara nasional. Jawa Barat dinilai ideal sebagai lokasi percontohan karena tingginya kasus kekerasan seksual anak dan banyaknya siswa sekolah dasar. Pada tahun 2022-2023, BPS mencatat 114 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi Jawa Barat.

Di sisi lain, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat lebih dari dua juta siswa sekolah dasar di provinsi ini pada tahun ajaran 2024/2025. Data ini menunjukkan bahwa Jawa Barat bukan hanya membutuhkan intervensi segera, tetapi juga memiliki potensi dampak yang luas. Provinsi ini merepresentasikan keragaman sosial dan geografis yang relevan sebagai model penerapan program secara nasional.

Jawa Barat juga pernah menjadi lokasi uji coba metode ini dalam skala kecil yang saya fasilitasi secara langsung. Saat mengajar anak-anak usia 6–9 tahun di Desa Ciparay, Kabupaten Bandung, saya menggunakan cerita bergambar dan permainan peran untuk mengenalkan bagian tubuh pribadi serta melatih keberanian menolak sentuhan yang tidak nyaman.

Dari 10 anak yang mengikuti, 9 di antaranya dapat menjelaskan ulang materi dengan bahasa mereka sendiri. Temuan ini menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan seksual berbasis empati dan visual tidak hanya layak diterapkan, tetapi juga efektif, bahkan di lingkungan dengan keterbatasan fasilitas.

Integrasi CSE dalam pendidikan melalui teknologi, pelatihan guru, keterlibatan orang tua, dan evaluasi berkala oleh lembaga pengawasan merupakan wujud pemenuhan hak anak atas informasi, perlindungan, dan kesejahteraan psikososial. Pendekatan ini juga membekali mereka dengan pengetahuan serta keberanian untuk melindungi diri.

Menjaga anak bukan sekadar melarang, melainkan membekali mereka agar mampu melindungi diri. Kita tak bisa terus bersembunyi di balik dalih norma, sementara anak-anak kehilangan hak dasarnya untuk merasa aman. Tak satu pun anak seharusnya belajar berkata “tidak” melalui luka.

Mari kita ajarkan bahwa tubuh mereka bernilai, suara mereka bermakna, dan hak mereka tidak bisa ditawar.

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Baca juga artikel terkait BESWAN DJARUM atau tulisan lainnya dari Amanda Erica Ferdianti

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Amanda Erica Ferdianti
Editor: Zulkifli Songyanan