tirto.id - Proses penetapan pemenang pilpres Amerika Serikat pada 6 Januari 2021 terhenti oleh aksi kekerasan. Selama beberapa jam, semua mata di penjuru dunia terpaku pada Gedung Capitol di ibu kota Washington DC yang digeruduk pendukung Trump. Mereka kecewa karena kandidatnya kalah dalam pilpres.
Peristiwa tersebut berujung pada vandalisme. Kaca-kaca jendela pecah, pintu dan perabotan rusak, isi kantor porak-poranda, sampah-sampah botol minuman, puntung rokok, bendera dan atribut pro-Trump berserakan. Sejumlah barang dicuri dari kantor anggota Kongres. Lima orang dikabarkan tewas. Aksi itu juga dipenuhi poster, spanduk, dan bendera yang menonjolkan simbol-simbol fasis dan gerakan supremasi kulit putih.
Tapi, bukan sekali ini saja Capitol Hill geger.
Capitol, lokasi Museum Sejarah Nasional dan Kongres, sudah berdiri sejak dua abad silam sebagai ikon demokrasi Amerika. Sejarawan senior di Senat AS, Donald Ritchie, mengungkapkan bahwa Gedung Capitol adalah “simbol protes” selama Perang Vietnam berlangsung.
Capitol, lanjut Ritchie, juga menjadi saksi atas protes petani yang melepas domba di pelataran gedung. Demo Revolusi Iran tahun 1970-an, dan aksi protes veteran Perang Dunia I yang menuntut dana pensiun dini pada 1932 juga terjadi di Capitol Hill. Namun, Ritchie tak pernah menyangka kerusuhan pecah di Capitol untuk menghentikan proses konstitusional.
Dalam wawancara dengan The Economist, sejarawan perang Margaret MacMillan juga mengaku terkejut. Insiden di Capitol, bagi MacMillan, tampak seperti pemberontakanatau lebih tepatnya aksi kekerasan massal, alih-alih kudeta atau perebutan kekuasan secara sistematis.
Trump memang terlihat ingin mempertahankan kekuasaan dari Biden, pemenang pilpres 2020. Namun, MacMillan menilai langkah Trump tak lebih dari upaya untuk memperlambat laju transisi menuju pemerintahan baru. Ia menambahkan, rombongan pendukung Trump berkeliaran tanpa tujuan pasti. Mereka sekadar masuk ke dalam gedung lalu berswafoto untuk dipamerkan di media sosial.
Sementara itu, profesor sejarah di Yale University, Timothy Snyder, secara tegas menyebut aksi tersebut sebagai kudeta dalam paparannya di The New York Times menyatakan bahwa sejak Oktober silam gelagat Trump sudah menunjukkan rencana kudeta.
Snyder menambahkan, selama ini Trump menampilkan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Synder membandingkan cara Trump memandang media arus utama sebagai fake news, dengan cara Nazi untuk melabeli media arus utama sebagai Lügenpresse (“pers pembohong”). Apabila Nazi menyalurkan propaganda lewat siaran radio, Trump mengumbar kebohongan melalui Twitter, sampai akhirnya ia menyampaikan “kebohongan besar” tentang kekalahannya dalam pemilu.
Snyder sempat menyinggung fenomena post-truth, ketika fakta objektif tak lagi mempengaruhi opini publik. Bagi Snyder, Trump adalah “presiden post-truth”. Berbekal kebenaran versinya, Trump berhasil meyakinkan pendukungnya dan sejumlah tokoh Republikan bahwa pilpres sudah dicurangi.
Meskipun upaya kudeta Trump gagal, Synder memperingatkan bahwa ke depannya Amerika harus lebih memegang teguh fakta-fakta objektif demi kebaikan bersama.
Di balik beragam interpretasi atas aksi rusuh di Capitol, tak bisa dipungkiri Trump punya peran dalam aksi rusuh minggu lalu. Melalui kicauan-kicauan emosional di Twitter, Trump menyebarluaskan kebenaran menurut versinya sendiri, sampai akhirnya menyulut sekelompok massa untuk menghalang-halangi proses demokratis.
Usaha Wall Street Melengserkan Roosevelt
Berbagai dokumen sejarah telah menunjukkan peran sentral AS mendorong banyak kudeta di negara dunia ketiga. Tapi pernahkah AS mengalami upaya kudeta di dalam negeri?
Meskipun kejadiannya tidak sama persis, aksi di Capitol Hill mengingatkan pada dugaan persekongkolan elite bisnis Wall Street pada 1933-34 untuk melengserkan presiden terpilih Franklin D. Roosevelt.
Setelah satu dekade lebih kekuasa Republikan, akhirnya Roosevelt dari Partai Demokrat menang pilpres pada 1932. Kala itu, Amerika tengah terperosok dalam depresi ekonomi akibat jatuhnya pasar saham pada 1929. Dilansir dari History, angka pengangguran mencapai 15 juta orang atau sekitar 20 persen dari total populasi jiwa, ribuan bank terpaksa tutup, dan petani gagal panen karena bencana kekeringan.
Roosevelt hadir dengan optimisme New Deal. Kebijakannya menggebrak dengan program pemulihan ekonomi dan perluasan lapangan kerja, peningkatan produksi tani dan industri, serta reformasi sistem keuangan untuk mengatur pasar saham dan melindungi tabungan rakyat. Pendekatan Roosevelt untuk menangani krisis tampak kontras dengan ekonomi laissez-faire pendahulunya (administrasi Presiden Herbert Hoover) yang membiarkanpasar berjalan apa adanya.
Di sisi lain, para kapitalis yang bertahta di Wall Street merasa terancam oleh Roosevelt. Mereka menilai kebijakan Roosevelt beraroma “komunis” dan “sosialis”. Khawatir bakal dirugikan oleh administrasi Roosevelt, kaum kaya Amerika mengajak paramiliter pro-fasis untuk melengserkan sang presiden. Mereka ingin Roosevelt digantikan oleh diktator fasis yang bisa menguntungkan para pebisnis Wall Street.
Kronologi percobaan kudeta yang disponsori para penguasa Wall Street diulas secara lengkap oleh jurnalis investigasi Sally Denton dalam buku The Plots Against the President: FDR, A Nation in Crisis, and the Rise of the American Right (2012). Dalam sebuah bab, Denton menjabarkan bagaimana ideologi fasis yang terinspirasi oleh Hitler dan Mussolini mulai tumbuh subur di tanah Amerika Serikat pada 1930-an. Meskipun kala itu komunisme juga sedang baik daun di negeri Paman Sam, anasir fasisme tumbuh subur di kalangan veteran Perang Dunia I yang kerap disebut “Bonus Army”.
Pada musim panas 1933, Smedley D. Butler, pensiunan jenderal berprestasi yang dekat dengan Bonus Army, didatangi oleh perwakilan dari organisasi veteran American Legion. Intinya, Butler diminta mengumpulkan veteran sebanyak-banyaknya dan memimpin mereka untuk menentang Roosevelt karena kebijakannya dianggap merugikan veteran. Di sisi lain, Butler adalah pengagum Roosevelt. Ia menganggap perlakukan sang presiden terhadap veteran lebih baik ketimbang pemerintahan sebelumnya.
Penasaran dengan motif American Legion, Butler mencoba menggali aktivitas mereka lebih dalam dan mendapati kelompok paramiliter ini disponsori sejumlah nama berpengaruh di Wall Street, di antaranya pemilik firma broker di New York, Kolonel Grayson Meller-Provost Murphy, dan pewaris bisnis mesin jahit Singer, Robert S. Clark.
Dalam satu kesempatan, Clark bertemu Butler dan memintanya berpidato di hadapan veteran Chicago dengan satu pesan: “Kami ingin para tentara dibayar dengan emas. Kami tidak ingin tentara menerima uang karet atau kertas. Kami mau emas. Itulah alasan pidato ini,” kata Clark sebagaimana dikutip dari buku Denton (2012: 392). Butler menolak memberikan pidato tersebut.
Hingga 1934, Butler terus didesak untuk terlibat dalam aktivitas mereka. Sampai akhirnya ia membaca berita di koran tentang terbentuknya organisasi payung American Liberty League. Liga Amerika ini bertujuan melawan “radikalisme" serta "menghormati hak milik dan perorangan, serta mencegah kehancuran Amerika oleh kebijakan New Deal” (2012: 405). Pendukungnya terdiri atas 156 perusahaan dan individu, termasuk pewaris usaha mesin jahit Clark, John W. Davis (politisi Demokrat anti-New Deal), Irénée dan Lammot du Pont (dari korporat raksasa kimia DuPont).
Butler pun menyadari persekongkolan yang disponsori Wall Street bukan sekadar khayalan. Sebelum membongkarnya kepada pihak berwenang, Butler menggandeng jurnalis Philadelphia Record, Paul French, untuk menyelidiki konspirasi tersebut.
French menyamar sebagai wartawan yang bersimpati terhadap gerakan anti-Roosevelt. Ia berhasil mewawancarai Gerard MacGuire, penjaja surat obligasi di Wall Street yang selama ini ditugaskan mendekati dan menyuap Butler. Dikutip dari buku Denton (2012: 409-410), MacGuire menyampaikan kepada French bahwa mereka “butuh pemimpin fasis di negeri ini untuk menyelamatkan Bangsa dari komunis” yang mau merusak Amerika.
Pada November 1934, Butler memberikan kesaksiannya di depan dewan komite yang terdiri atas anggota kongres John McCormack dan Samuel Dickstein. French hadir untuk mengkonfirmasi kebenaran cerita Butler. MacGuire juga hadir, namun terus mengelak bahwa dirinya mendorong Butler untuk terlibat dalam aksi kudeta militer fasis. Terlepas dari itu, investigasi oleh dewan komite menunjukkan bukti-bukti kuat (rekening bank, korespondensi MacGuire tentang gerakan fasis di Eropa, dan aktivitas American Liberty League) untuk mendukung testimoni Butler (2012: 431).
Pada akhirnya, tidak ada yang diadili setelah Butler membongkar rencana kudeta tersebut. Kudeta yang ditakutkan pun tidak terjadi, sementara pemberitaan media cenderung meremehkan kesaksian Butler.
Konspirasi melengserkan Roosevelt menjadi bukti bahwa hampir satu abad silam, kapitalis Amerika pernah-benar ingin merebut kekuasaan di dalam negeri dengan cara kekerasan demi kelangsungan bisnisnya.
Jika dibandingkan dengan aksi rombongan pro-Trump, upaya Wall Street untuk menjatuhkan Roosevelt pada 1933 memang mempunyai motif dan perencanaan yang berbeda. Orang-orang kaya Wall Street mengerahkan veteran dan mendekati para jenderal, sementara Trump bergantung pada massa lewat Twitter. Namun demikian, mereka sama-sama menolak dan mencoba mengagalkan pemerintahan yang sudah diputuskan secara sah melalui proses pemilu yang demokratis.
Sampai hari ini, belum pasti sejauh mana pendukung garis keras Trump bakal nekat angkat senjata untuk menggagalkan pelantikan Biden-Harris pada 20 Januari. Dilansir dari ABC News, FBI menerima laporan bahwa protes-protes bersenjata akan digelar di 50 negara bagian dan Washington DC seminggu menjelang pelantikan. Terjadi atau tidak, ancaman kekerasan bersenjata tersebut menjadi bukti betapa destruktifnya ekstremisme sayap kanan yang dibesarkan Trump.
Editor: Windu Jusuf