Menuju konten utama

Rusuh Massa Trump di Capitol: Puncak Politik Kebencian & Polarisasi

Pendukung Trump menduduki Gedung Kongres Capitol Hill menolak penetapan kemenangan Joe Biden. Empat orang tewas akibat peristiwa ini.

Rusuh Massa Trump di Capitol: Puncak Politik Kebencian & Polarisasi
Pengunjuk rasa yang kejam, yang setia kepada Presiden Donald Trump, menyerbu Capitol, Rabu, 6 Januari 2021, di Washington. AP / John Minchillo

tirto.id - Tanggal 6 Januari 2021 menjadi salah satu momen krusial dalam rangkaian pemilihan presiden Amerika Serikat. Pada tanggal tersebut, Kongres—yang dipimpin Presiden Senat, yakni Wakil Presiden Mike Pence—akan melakukan perhitungan suara elektoral secara resmi.

Pasangan capres dan cawapres harus memperoleh 270 suara dari total 538 suara elektoral untuk dapat memenangkan kursi Presiden dan Wakil Presiden AS serta disahkan oleh Kongres. Joe Biden-Kamala Harris, dalam berbagai rekapitulasi hitung cepat, dipastikan memperoleh 270 suara elektoral yang dibutuhkan tersebut.

Namun, pendukung Trump—yang didominasi kelompok sayap kanan--tak membiarkan proses perhitungan tersebut berjalan mulus. Penolakan itu justru berbuntut menjadi salah satu kerusuhan terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.

Sehari sebelum perhitungan, ribuan pendukung Trump berdemonstrasi di depan Gedung Kongres Capitol Hill, Washington D.C menolak penetapan resmi Biden-Harris sebagai pemenang pilpres AS sejak Selasa (5/1/2021), waktu setempat.

Mereka berunjuk rasa tanpa mengenakan masker kendati Amerika Serikat masih menempati urutan pertama negara dengan kasus konfirmasi positif COVID-19 di dunia yakni, 21,8 juta orang. Mereka berkumpul di Washington D.C sebagai apa yang mereka sebut “dukungan terakhir untuk Trump”.

Melansir USA Today, pada Rabu (6/1/2021), Trump hadir di tengah-tengah pendukungnya di Ellipse Park, tak jauh dari Gedung Putih, sekitar pukul 11.50 siang sebagaimana yang dijanjikannya dalam cuit pada 19 Desember: “Unjuk rasa besar di D.C pada 6 Januari! Pastikan kalian di sana dan bersikaplah keras!”

Dalam pidatonya, ia terus-menerus menuding—tanpa bukti, tentu saja—bahwa pilpres AS penuh kecurangan dan merebut kemenangan darinya. Ia berseru di depan pendukungnya, “kami akan bersama kalian. Kami akan berjalan bersama kalian menuju [gedung] Capitol dan kita akan mendukung wakil rakyat kita yang pemberani.”

Selanjutnya, ribuan pendukung Trump mulai berjalan menuju Gedung Kongres Capitol Hill.

Sekitar pukul 1 siang, ribuan pendukung Trump yang mengenakan pakaian bertuliskan “Make America Great Again” (MAGA) dan membawa bendera Konfederasi mulai merangsek maju menembus barikade polisi yang dipasang di sepanjang kompleks Capitol Hill.

Sekitar pukul 2 siang, massa sudah menguasai bagian kiri gedung dan mulai memanjat dinding, seperti yang diperlihatkan foto-foto viral di media sosial. Massa menduduki Ruang Sidang Senat, melakukan pengrusakan dan pembakaran barang-barang di dalam Capitol.

Polisi kemudian mengevakuasi seluruh anggota Senat dan Kongres, termasuk Presiden Senat Mike Pence, dari Ruang Sidang Dewan Perwakilan AS yang saat itu tengah melangsungkan perhitungan suara elektoral.

Massa baru dapat dipukul mundur sekitar pukul 5 sore waktu setempat dan perhitungan suara elektoral kembali dilanjutkan pada pukul 8 malam.

Empat Tewas, Puluhan Ditangkap

Akibat kerusuhan tersebut, hingga Kamis (7/1/2021) siang tercatat setidaknya empat orang tewas dan 52 lainnya ditangkap.

Hal tersebut disampaikan Kepala Departemen Kepolisian Metropolitan Washington DC Robert J. Contee, seperti dilaporkan Reuters.

Salah satu korban tewas merupakan seorang wanita yang tertembak oleh anggota kepolisian di dalam area Gedung Capitol. Contee sendiri menolak menjelaskan lebih lanjut perihal identitas wanita tersebut.

Tiga korban tewas lain dalam kerusuhan Rabu tersebut disebabkan keadaan darurat medis. Sementara, lanjut dia, 14 anggota kepolisian terluka, dua di antaranya masih dalam perawatan rumah sakit.

Sementara itu, 47 orang dari 52 yang ditangkap terkait dengan pelanggaran aturan jam malam Walikota Washington D.C Muriel Bowser yang berlaku sejak Rabu (6/1/2021) pukul 6 sore hingga Kamis (7/1/2021), pukul 6 pagi, menyusul eskalasi kerusuhan di Capitol yang tak kunjung mereda. Sebanyak 26 di antaranya ditangkap di area gedung Capitol.

Sementara beberapa lainnya ditangkap lantaran kepemilikan senjata api tanpa izin.

Lebih lanjut, Contee melaporkan, adanya temuan dua bom pipa di markas besar Komite Nasional Republik dan Demokrat serta bom molotov di salah satu kendaraan yang terparkir di halaman Capitol.

Beda Sikap Polisi Hadapi Massa Trump dan Demonstran BLM

Jumlah pengunjuk rasa yang ditangkap oleh satuan kepolisian diperkirakan akan terus meningkat.

Kendati demikian jumlah orang yang ditangkap pada kerusuhan di Capitol masih sangat jauh jika dibandingkan saat unjuk rasa 1 Juni memprotes pembunuhan terhadap George Floyd oleh polisi.

Menurut laporan The Guardian, saat itu lebih dari 10 ribu pengunjuk rasa ditangkap dalam unjuk rasa yang mengusung kampanye utama “Black Lives Matter” (BLM).

Polisi nampak sangat agresif menghadapi massa di Lafayette Square kendati para pengunjuk rasa tidak menunjukkan aksi kekerasan. Dalam peristiwa itu, polisi melayangkan pukulan, menembakkan gas air mata, granat, serta peluru karet kepada pengunjuk rasa.

Maka, menjadi pertanyaan ketika Kepolisian Capitol justra nampak tak berdaya dalam melakukan pengamanan gedung yang lebih ketat bahkan membiarkan banyak perusuh bebas keluar Capitol tanpa ditangkap.

Belakangan FBI justru meminta kepada masyarakat untuk membantu penyelidikan dengan mengunggah video ataupun gambar perusuh yang berpose di dalam gedung Capitol tanpa mengenakan masker “yang diduga sebagai provokator”.

Hingga saat ini, gambar dan video para pendukung Trump yang menyerbu dan menduduki Capitol tersebar di media sosial. Banyak di antaranya terlihat tidak menggunakan masker.

Buah Politik Kebencian

Betapapun ngototnya Trump mengklaim kemenangan dan menuduh adanya kecurangan—lagi-lagi tanpa bukti—dalam pilpres AS hingga memicu kerusuhan di Capitol pada Rabu kemarin, Joe Biden tetap dinyatakan menang oleh Kongres melalui perhitungan suara elektoral yang terus dilanjutkan usai kekacauan yang diciptakan pendukung Trump.

“Untuk kalian yang menyerang Capitol hari ini: Kalian tidak menang. Kekerasan tidak pernah menang. Kebebasanlah pemenangnya. Ini [Capitol] tetap menjadi rumah rakyat,” ujar Presiden Senat—yang juga masih menjabat sebagai Wakil Presiden Trump—Mike Pence, seperti dilansir CNN.

Sebelumnya Trump memang sempat mendesak Pence agar mendukungnya merebut kursi presiden melalui perhitungan suara elektoral.

“Mike Pence tak punya keberanian untuk melakukan yang harus dilakukan untuk melindungi negara dan konstitusi kita. Berikan negara kesempatan untuk mengesahkan serangkaian hasil yang sudah dikoreksi, bukan data curang dan tidak akurat! Amerika menuntut kebenaran!” Seru Trump dalam postingan akun Twitternya yang kini sudah tak dapat diakses, sebagaimana nasib unggahannya yang lain yang dianggap menyebarkan propaganda dan disinformasi yang memicu penyerangan Capitol.

Namun, untuk pertama kalinya Pence menentang Trump dalam 4 tahun terakhir dan menolak melakukan apa yang diminta Trump.

Sementara itu, rival Trump dalam Pilpres AS 2020, Joe Biden mengatakan demokrasi Amerika "berada di bawah serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Kemunculan Trump dalam bursa capres AS 2016 dengan mengusung slogan “Make America Great Again” sejatinya memicu kebangkitan gerakan kelompok ekstrem kanan AS dan supremasi kulit putih yang belakangan makin merasa terpojok dengan gerakan kelompok kiri-progresif AS.

Meski tidak terbuka sebagai pendukung supremasi kulit putih, Trump menunjukkan kecenderungan sikap anti-minoritas dan imigran selama kampanye.

Akibatnya, polarisasi antara mayoritas-minoritas meruncing. Diskriminasi, rasisme dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas makin tak malu-malu ditunjukkan oleh para simpatisan bahkan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Trump.

Kekacauan yang diciptakan pendukung Trump hari ini bukanlah wujud kebebasan berpendapat dan heroisme yang patut dirayakan. Ia tak lebih dari manifestasi politik kebencian dan polarisasi yang sedemikian dirawat sejak 4 tahun lalu.

Alih-alih legowo, Trump meninggalkan gelanggang pertarungan pilpres dengan mengukir sejarah buram untuk politik Amerika.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN AS atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino