Menuju konten utama

Impeachment Jilid II dan Republikan yang Gagal "Move On" dari Trump

Trump kembali selamat dari pemakzulan. Partai Republikan masih milik Trump.

Impeachment Jilid II dan Republikan yang Gagal
Pengunjuk rasa anti-Trump menarik standee Presiden AS Donald Trump sementara pendukungnya diperkirakan melakukan aksi protes menentang pemilihan Presiden terpilih Joe Biden, di depan Capitol Negara Bagian Pennsylvania, di Harrisburg, Pennsylvania, Amerika Serikat, Minggu (17/1/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Rachel Wisniewski/AWW/djo

tirto.id - Donald J. Trump bukan lagi presiden, namun warisan politiknya masih membuat gatal para wakil rakyat di Kongres. Februari ini berlangsung sudah sidang pemakzulan Trump yang kedua, suatu momen historis bagi sejarah kepresidenan di Amerika Serikat. Pasalnya, Trump jadi presiden pertama yang pernah berusaha dimakzulkan sebanyak dua kali dalam satu periode pemerintahannya. Ia juga menjadi mantan presiden pertama yang diadili dalam sidang pemakzulan.

Pemakzulan pertama Trump berlangsung pada Desember 2019. Kongres AS menilai Trump sudah menyalahgunakan kekuasaan dan menghalang-halangi kinerja Kongres dengan meminta bantuan pemerintah Ukraina untuk menginvestigasi lawan politiknya dari Partai Demokrat, Joe Biden beserta putranya, Hunter Biden. Akan tetapi, Senat yang kala itu dikuasai Partai Republikan memutuskan Trump tidak bersalah. Dampaknya, ia tak sampai dicopot dari kursi kepresidenan.

Putusan tersebut senada dengan hasil sidang untuk dua presiden lain yang pernah dimakzulkan, Bill Clinton (1998) dan Andrew Johnson (1868). Artinya, mereka semua masih bisa merampungkan tugas-tugas kepresidenan sampai akhir masa bakti. Perbedaan antara Trump dengan Clinton dan Johnson adalah sesudah dimakzulkan ia masih percaya diri untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Konyolnya, sehabis kalah pilpres, Trump sempat bikin gaduh karena masih bernafsu membatalkan hasil pemilu. Sikap itulah yang kelak menggiring Trump pada pemakzulan kedua.

Menuju Pemakzulan Kedua

Sampai finalisasi perhitungan suara elektoral di Capitol Hill tanggal 6 Januari, Trump masih ngotot sudah menang pilpres. Di lapangan Ellipse dekat Gedung Putih, Trump berpidato di depan lautan pendukungnya, “Kita akan hentikan pencurian [hasil pemilu]. Hari ini, akan kubeberkan sejumlah bukti bahwa kita sudah menang pemilu ini, bahwa kita sudah menang telak. Ini bukanlah pemilu yang ketat.” Tak lama kemudian, Trump berseru akan pergi bersama pendukungnya ke Gedung Capitol untuk menyemangati para anggota Kongres.

Trump meminta massa agar menunjukkan “kekuatan” dalam merebut kembali negaranya, mengajak mereka untuk menuntut kepada Kongres agar menghitung suara-suara yang sah saja. “Dan kita berjuang, berjuang sekuat tenaga. Kalau kalian tidak berjuang keras, kalian tidak akan punya negara lagi,” seru Trump di pengujung pidatonya.

Seiring ajakan menuju Gedung Capitol digaungkan Trump, ribuan pendukungnya sudah mencapai kompleks bangunan. Dalam kurun dua jam sejak pidato Trump dimulai, massa mulai bentrok dengan polisi, menerobos masuk gedung dan bikin onar. Atribut pro-Trump dan simbol-simbol supremasi kulit putih seperti bendera Konfederasi turut mewarnai kericuhan.Kaca-kaca jendela pecah, sampah berserakan, vandalisme dijumpai di ruangan kantor sejumlah anggota senat. Lima orang dilaporkan meninggal dunia. Para anggota Kongres harus dievakuasi. Proses perhitungan suara elektoral sempat tertunda sekian jam, sehingga Kongres baru bisa mengesahkan Joe Biden sebagai pemenang pilpres pada dini hari berikutnya.

Aksi rusuh massa tersebut dikritik keras sebagai percobaan kudeta Trump, seperti diungkapkan kolumnis Washington Post Eugene Robinson sampai profesor sejarah di Yale University, Timothy Snyder. Peneliti Fiona Hill dari Brookings Institution menyebutnya “self-coup” oleh Trump untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pemakzulan oleh Kongres AS

Seminggu setelah insiden di Gedung Capitol, Kongres AS memakzulkan Trump karena perannya dalam “menghasut pemberontakan”. Mereka sempat mengajukan permintaan kepada Wapres Mike Pence agar mengerahkan Amandemen ke-25 untuk melengserkan Trump, namun ditolak. Tak lama kemudian, periode pemerintahan Trump resmi berakhir, tepatnya pada 20 Januari.

Meskipun Trump tak lagi berkuasa di Gedung Putih, proses pemakzulan terus berlangsung. Sembilan tokoh Kongres lantas diangkat sebagai perwakilan tim penuntut dalam sidang di tingkat Senat. Menjelang akhir Januari, Senat memberikan sinyal hijau untuk melakukan persidangan. Trump kemudian mengumumkan tim pengacara yang akan mewakilinya di pengadilan.

Tibalah hari pertama persidangan pada 9 Februari. Acara dibuka dengan sesi debat antara tim penuntut dari Kongres dan pengacara Trump tentang konstitusional tidaknya aksi persidangan oleh Senat terhadap seorang mantan presiden. Hasilnya, 56 senator—terdiri atas 50 tokoh Demokrat dan 6 Republikan—setuju bahwa pengadilan untuk mantan presiden sesuai dengan konstitusi, sementara 44 senator Republikan lainnya tidak sepakat. Keputusan sidang membutuhkan minimal dua per tiga suara, yakni sebanyak 67 senator. Dengan kata lain, diperlukan tambahan 17 tokoh Republikan yang mau menyokong suara Demokrat untuk menghukum Trump.

Pada hari kedua sidang, tim penuntut dari Kongres mengutarakan pendapatnya bahwa Trump sudah berbulan-bulan memprovokasi pendukungnya untuk melakukan pemberontakan. Mereka menunjukkan klaim-klaim kecurangan yang menjadi inti dari orasi Trump pada 6 Januari. Mereka juga memutar video aksi ricuh oleh pendukung Trump di Capitol, di antaranya terdengar mengeluarkan ancaman untuk menyakiti bahkan membunuh Wapres Mike Pence dan Ketua Kongres Nancy Pelosi. Kepala tim penuntut sekaligus anggota Kongres dari Maryland, Jamie Raskin, menyebut Trump sebagai “pemicu pemberontakan yang berbahaya”.

Tim penuntut mementahkan pembelaan dari pengacara Trump bahwa ucapan-ucapan sang mantan presiden dilindungi oleh Amandemen Pertama. Alasannya, fokus dalam sidang pemakzulan adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh Trump yang kala itu masih menjabat sebagai presiden. Sementara Amandemen Pertama mungkin masih bisa dijadikan argumen untuk membela warga biasa pada kasus persidangan umum. Di sisi lain, tim penuntut menilai bahwa orasi Trump pada 6 Januari merupakan puncak dari kampanye selama berbulan-bulan untuk membatalkan hasil pemilu dan mempertahankan kekuasaannya.

Faktanya, narasi kecurangan sudah digembar-gemborkan Trump jauh-jauh hari sebelum pilpres 3 November. Akarnya dapat ditarik sejak April, saat infeksi COVID-19 memuncak dan muncul wacana surat suara yang dikirim melalui pos demi mengurangi risiko penyebaran virus. Tanpa menyampaikan bukti, Trump bersikeras bahwa sistem pemilu via pos berbahaya karena membuka peluang kecurangan yang besar.

Setelah hari pencoblosan, Trump menggugat sejumlah negara bagian atas dugaan kecurangan pemilu, tapi semua berakhir sia-sia. Pada waktu bersamaan, ia terus melontarkan berbagai klaim keliru tentang kecurangan pilpres. Hampir semua kicauan Trump diberi bendera peringatan oleh Twitter, yang bergegas menonaktifkan akunnya pada puncak kerusuhan di Capitol.

The New York Times merilis kompilasi video selama 38 menit yang berisi klaim-klaim Trump bahwa dirinya menang pilpres dalam penampilannya di publik selama beberapa bulan terakhir. Khususnya antara tanggal 4-6 Januari, Trump diketahui mengulang-ulang kalimat “kita sudah menang pilpres” dan menyebut bahwa pemilu sudah “dicurangi” dan “dicuri”. Pada insiden di Gedung Capitol, The Times mengungkap bahwa para pericuh mengulang klaim-klaim Trump selama ini.

Pada hari ketiga sidang pemakzulan, tim penuntut dari Kongres menutup perkaranya dengan penekanan bahwa kerusuhan 6 Januari tidak akan terjadi tanpa dipicu oleh Trump. Mereka meminta Senat untuk menghukum Trump dengan melarangnya ikut pemilu di masa depan. Namun demikian, pada hari berikutnya, pengacara Trump membela sang mantan presiden bahwa sejumlah kelompok massa diketahui sudah merencanakan aksi kekerasan sebelum Trump berpidato pada 6 Januari, sehingga kericuhan memang tidak terhindarkan. “Klaim bahwa sang presiden mengharapkan, menginginkan ataupun mendorong aksi kekerasan atau melanggar hukum, merupakan kebohongan yang tak masuk akal dan mengerikan,” ujar pengacara Michael van der Veen.

Pada akhirnya, Partai Demokrat masih kekurangan suara untuk menghukum Trump. Alih-alih mencapai batas minimum 67 suara, hanya 57 perwakilan menyatakan Trump harus dihukum—terdiri atas 48 Demokrat, 2 Independen, serta 7 Republikan. Sedangkan 43 suara lainnya dari Republikan sepakat untuk membebaskan sang mantan presiden dari tuduhan memicu pemberontakan di Capitol. Putusan ini pun membuka celah buat Trump untuk nyapres lagi tahun 2024.

Infografik Drama Pemakzulan Trump

Infografik Drama Pemakzulan Trump Jilid II. tirto.id/Fuad

Makna Pemakzulan

Pemakzulan mantan presiden Trump memang menimbulkan pro-kontra. Langkah ini dinilai tidak akan berdampak signifikan karena Trump sudah bukan presiden. Terlepas dari itu, sesuai pemaparan Kongres AS dalam dokumen (PDF) pra-pengadilan, Trump menjadi presiden pertama dalam sejarah yang berusaha menghalangi upaya perhitungan suara sah oleh Kongres, sekaligus bersikeras menolak menerima hasil pilpres. Dengan melarang Trump nyapres lagi, Kongres berharap dapat mencegah munculnya presiden di masa mendatang yang mau memprovokasi aksi kekerasan demi memenuhi hasrat kekuasaannya.

Meskipun Senat gagal menghukum Trump dengan larangan ikut pemilu lagi, langkah pemakzulan ini tetap menorehkan makna penting dalam riwayat kepresidenan Amerika. Profesor hukum Clark D. Cunningham dari Georgia State University yang mempelajari naskah-naskah Konstitusi AS, menulis di The Conversation bahwa pemakzulan adalah “praktik lumrah” menurut para pendiri bangsa.

Melansir tulisan Prof. Cunningham, pemakzulan punya tiga tujuan. Pertama, sebagai suatu cara yang adil dan dapat diandalkan untuk menangani dugaan kasus pelanggaran. Kedua, untuk mengingatkan baik kepada negara dan presiden, bahwa seorang presiden tidak kebal hukum. Ketiga, pemakzulan penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Trump memang selamat dari vonis hukuman, akan tetapi kasus pemakzulannya membuka mata publik Amerika dan dunia bahwa sikapnya yang remeh pada proses pemilu selama ini merupakan ancaman nyata terhadap pilar-pilar demokrasi.

Dosen ilmu pemerintahan di American University, Washington DC, Chris Edelson, menyampaikan kepada Newsweek bahwa dibebaskannya Trump dari jerat hukum menjadi “pelajaran berbahaya” bagi Trump pribadi, sekaligus bagi pihak-pihak lain yang mau melakukan tindakan serupa. Tanpa adanya konsekuensi jelas atas aksi-aksi ricuh untuk menolak hasil pemilu, Edelson khawatir kejadian serupa terulang. Edelson juga meyakini Partai Republikan saat ini masih jadi “partainya Trump” dan berada dalam kondisi memprihatinkan, terutama dengan terpilihnya sejumlah wakil rakyat yang mendukung gerakan teori konspirasi QAnon.

Sidang pemakzulan ini juga akan menentukan nasib Partai Republikan: akankah mereka terus membiarkan dan mengamini warisan kepemimpinan Trump, ataukah berusaha untuk memisahkan partai dari bayang-bayang Trump? Sesuai dengan skor 57 versus 43 suara dalam putusan sidang kemarin, terbukti mayoritas politisi Republikan masih mantap untuk setia pada sang mantan presiden. Mengutip ucapan Prof. Danielle Vinson dari Furman University di South Carolina, “Partai Republikan masih belum siap untuk move on dari Trump.”

Baca juga artikel terkait SIDANG IMPEACHMENT atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf