Menuju konten utama

Kenapa Kematian George Floyd Picu Demo Black Lives Matter Mendunia?

Kematian George Floyd tidak hanya memicu demontrasi antirasisme besar-besaran di AS. Demo yang melibatkan ribuan orang dengan slogan "Black Lives Matter" juga terjadi di banyak negara.

Kenapa Kematian George Floyd Picu Demo Black Lives Matter Mendunia?
Para pengunjuk rasa saat berdemo memprotes kasus kematian George Floyd di Philadelphia, Pennsylvania, 1 Juni 2020. REUTERS / Bastiaan Slabbers TPX GAMBAR OF THE DAY

tirto.id - Kematian George Floyd telah memicu kemarahan massa dan demo antirasisme meledak di banyak wilayah Amerika Serikat, yang kemudian menjalar ke kota-kota besar di sejumlah negara lain.

Floyd meninggal tidak lama setelah ditahan polisi Minneapolis, Minnesota, AS. Polisi menangkapnya dengan tuduhan membeli rokok di toko kelontong memakai uang palsu, pada 25 Mei 2020.

Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan polisi bernama Derek Chauvin sempat menindih leher Floyd mengunakan lutut salah satu kakinya, selama hampir 9 menit.

Saat itu, Floyd dalam posisi tertelungkup di aspal. Beberapa kali ia sempat berteriak, "aku tak bisa bernapas," sebelum tidak bergerak lagi dan meninggal.

Sehari usai kematian Floyd, demonstrasi besar meletup di Minneapolis. Aksi memprotes kebrutalan polisi Minnesota terhadap Floyd kemudian berkembang menjadi kerusuhan besar.

Demo serupa yang melibatkan ribuan orang meluas ke Atlanta, Detroit, New York, Washington DC dan kota-kota lain di AS. Aljazeera mencatat, aksi protes ribuan orang berlangsung di 140 kota di AS, sebagian disertai bentrok antara warga dan polisi.

Aksi memprotes rasialisme dan kematian Floyd selanjutnya melebar ke Kanada, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, serta Belgia. Ribuan orang menggelar aksi yang sama di Brasil, Tunisia, Afrika Selatan, Australia, hingga Jepang, Korea Selatan, Hong Kong dan sejumlah negara lain.

Di banyak unjuk rasa itu, slogan "Black Lives Matter" kerap hadir dan disertai aksi massa berlutut dengan satu kaki, sebagai simbol memprotes kasus kematian Floyd. Di media sosial, kampanye gerakan protes ini membikin tagar #BlackLivesMatter bertambah populer.

Dukungan untuk gerakan ini muncul pula dari banyak tokoh dunia, pesohor, atlet hingga kepala pemerintahan. PM Kanada, Justin Trudau bahkan ikut berlutut dengan satu kaki saat menghadiri demo memprotes kematian Floyd di Ottawa, pada 5 Juni lalu.

Klub Premier League pun telah bersepakat akan mengganti nama punggung jersi pemain dengan tulisan "Black Lives Matter" saat pertandingan Liga Inggris digelar kembali, 17 Juni mendatang.

Sampai tiga pekan usai kematian Floyd, demonstrasi masih berlangsung di AS maupun sejumlah negara lain. Floyd kini seolah menjadi simbol gerakan global melawan rasisme.

Misalnya, ribuan orang yang marah atas kematian Floyd masih menggelar aksi di Paris pada Sabtu, 13 Juni 2020. Mereka berkumpul di alun-alun Place de la Republique, seperti dilansir The Guardian.

Aksi itu semula berjalan damai, tetapi setelah 3 jam, kerusuhan pecah. Polisi membubarkan massa dengan tembakan gas air mata. Dalihnya, ada demonstran melempar batu ke arah polisi.

Di Atlanta, AS, kemarahan demonstran semakin tersulut karena kasus kematian Rayshard Brooks, warga kuli hitam 27 tahun yang ditembak polisi pada 12 Juni lalu. Sabtu kemarin, massa pendemo memblokir jalan di Atlanta dan membakar restoran Wendi, lokasi penembakan Brooks.

Sementara di Inggris, kelompok sayap kanan bentrok dengan demonstran antirasisme dan polisi, 13 Juni kemarin. Massa sayap kanan turun ke jalanan London dengan dalih melindungi monumen lapangan parlemen, lokasi patung Churchil, yang isunya diincar demonstran Black Lives Matter.

Salah satu titik pertemuan 2 kelompok itu di Lapangan Trafalgar. Reporter Aljazeera melaporkan, di lokasi itu, polisi berusaha melindungi demonstran antirasisme.

Aksi massa sayap kanan tersebut dikecam PM Boris Johnson yang menulis twit: "Tidak ada tempat bagi preman rasis di jalanan kita."

Siapakah George Floyd?

Floyd dimakamkan pada 9 Juni lalu di Houston, Texas, tempat ia tumbuh dewasa. Pemakamannya dihadiri sekitar 6 ribu pelayat, kebanyakan mengenakan kaus bertuliskan "Aku Tak Bisa Bernapas."

Keluarga besarnya mengingat Floyd sebagai pribadi menyenangkan. Saat muda ia menonjol. Floyd pernah mengantarkan tim American Football SMA Yates High School Lions berprestasi di kejuaraan level negara bagian Texas.

Sebelum kuliahnya drop out, Floyd sempat memperkuat tim basket South Florida State College di Avon Park. Floyd pernah pula berupaya meniti karier sebagai musisi rap pada era 90-an.

Dia memang tercatat dua kali masuk penjara pada dekade awal 2000-an. Pertama, karena kasus pembelian narkoba senilai 10 dolar AS yang berujung bui 10 bulan. Lalu, Floyd kembali masuk bui empat tahun karena kasus perampokan bersenjata.

Namun, menurut orang-orang di sekitarnya, Floyd telah berupaya hidup normal lagi serta belajar dari kesalahan, setelah bebas pada 2013. Dia pun lebih relijius dan aktif di gereja. Setelah pindah ke Minnesota beberapa tahun lalu, ia menjadi tenaga keamanan sebuah restoran dan klub dansa.

Laporan The New York Times menyebutkan, belakangan Floyd harus beristirahat agar sembuh dari penyakit Covid-19. Dia diketahui terinfeksi virus corona pada April lalu. Setelah kondisinya sudah membaik, Floyd menghabiskan banyak waktu dengan pacarnya selama beberapa pekan, sebelum insiden 25 Mei terjadi.

Kronologi Kasus Kematian George Floyd

Sebelum meninggal, George Floyd membeli rokok di sebuah toko kelontong di Minneapolis, pada suatu sore, 25 Mei lalu. Setelah itu, ia duduk-duduk di mobilnya yang terparkir di seberang toko bernama Cup Foods tersebut.

Tak berselang lama, dua pegawai toko menghampiri Floyd. Mereka meminta Floyd mengembalikan rokok seharga USD20, dengan alasan ia membelinya memakai uang palsu. Namun, Floyd menolak permintaan itu.

Dua pegawai itu lalu balik kanan. Salah seorang pegawai Cup Foods ternyata kemudian menelepon 911, dan menyebut Floyd "dalam kondisi sangat mabuk."

Menurut laporan NPR, manajemen Cup Foods dan pemiliknya yang merupakan warga AS keturunan Arab, Mahmoud Abumayyaleh sebenarnya tidak terbiasa memanggil polisi jika terjadi kasus sepele, seperti uang palsu. Komunitas kulit hitam di lingkungan sekitar Toko Cup Foods mengakui hal itu.

Mahmoud mengaku, selama ini meminta pegawainya memanggil polisi, hanya ketika terjadi insiden kekerasan. Jika kasus uang palsu terjadi, Cup Foods menerapkan SOP: pegawai melaporkan itu ke pemilik. Lalu, pemilik toko akan menemui pembeli dan bernegosiasi untuk menyelesaikan masalah.

"Selama bertahun-tahun kami dihormati karena mampu mengendalikan situasi di toko, sepanjang tak ada kekerasan," kata Mahmoud kepada reporter NPR.

Sayangnya, seorang pekerja berusia 17 tahun yang baru bekerja selama enam bulan di Cup Foods berinisiatif menelepon 911. Tindakan pegawai yang belakangan dipecat itu disesalkan Mahmoud.

Namun, dia menegaskan, "Kekerasan terhadap warga kulit hitam, penyalahgunaan kewenangan dan kebrutalan polisi, harus diakhiri."

Panggilan ke 911 tersebut memang menjadi semacam "vonis mati" bagi Floyd. Hanya berselang beberapa menit, sejumlah polisi datang membekuk Floyd dan dua jam kemudian, ia tewas.

The New York Times melansir laporan video yang memperlihatkan semula 2 polisi datang, lengkap dengan senjata api. Floyd saat itu bersikap tenang. Namun, mereka dengan beringas memborgol dan menggiring Floyd masuk ke mobil polisi.

Floyd menolak dengan alasan menderita klaustrofobia alias ketakutan terhadap ruang sempit yang sesak. Dia mengaku "susah bernapas" pula.

Dua polisi bernama Tou Thau dan Derek Chauvin kemudian datang membantu koleganya. Chauvin memaksa Floyd masuk mobil polisi.

Karena Floyd menolak, Chauvin membekap Floyd dan mencekik lehernya dengan lutut ketika pria malang itu tertelungkup di aspal. Praktik seperti ini sebetulnya dilarang oleh kepolisian AS.

Ketika peristiwa selama 8 menit 46 detik itu berlangsung, empat polisi mengerubuti Floyd. Chauvin mencekik lehernya dengan lutut, sementara dua polisi lainnya, Thomas Lane dan Alexander Kueng menindih kaki sang korban. Sedangkan Tou Thao berdiri mengawasi ulah tiga rekannya.

Floyd sempat berteriak "tidak bisa bernafas" sebanyak 16 kali saat lehernya ditindih. Karena Floyd mengeluarkan darah dari mulut, polisi melakukan panggilan call 2: kode "meminta bantuan medis bukan dalam keadaan darurat."

Tidak lama kemudian, polisi menaikkan status panggilan menjadi call 3: "meminta bantuan medis dalam kondisi darurat." Anehnya, saat panggilan dilakukan, lutut Chauvin tetap di atas leher Floyd.

Bantuan medis akhirnya tiba, tetapi Floyd keburu tewas. Semula, kesimpulan pemeriksa medis menyatakan Floyd tidak mati karena "traumatic asphyxia atau strangulation" yang dipicu tindihan lutut Chauvin. Namun, laporan otopsi terbaru yang independen menyatakan bahwa Floyd tewas karena sesak napas akibat Chauvin menindih lehernya.

Empat petugas kepolisian yang terlibat dalam kasus pembunuhan Floyd itu akhirnya dipecat dan ditangkap beberapa hari setelah insiden terjadi. Namun, sanksi keras baru dijatuhkan usai video tindakan brutal polisi kepada Floyd viral sekaligus memicu demonstrasi besar-besaran di AS.

Di persidangan, Chauvin didakwa berlapis, yakni telah melakukan pembunuhan tingkat dua tidak disengaja, pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan tidak terencana tingkat dua. Ancaman tiga dakwaan itu, maksimal 40 tahun penjara, 25 dan 10 tahun bui. Sementara Lane, Thao dan Kueng didakwa membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan.

Meski begitu, belakangan Thomas Lane dilepaskan dari tahanan setelah membayar uang jaminan sekitar Rp10,67 miliar. Tiga lainnya masih ditahan. Jika mau keluar dengan uang jaminan, khusus Chauvin, harus menyerahkan Rp17,78 miliar.

Proses hukum terhadap empat polisi tersebut tak meredakan gelombang aksi protes di AS. Sebab, kasus Floyd hanya puncak dari gunung es praktik diskriminasi rasial di negara Donald Trump. Data kasus tindakan brutal polisi AS terhadap warga kulit hitam selama ini sudah berjibun.

AS dapat dibilang menjadi negeri berbahaya dan diskriminatif bagi orang-orang kulit hitam. Data Statista menyebut warga Amerika kulit hitam hampir tiga kali lebih mungkin mati karena tindakan polisi AS, dibandingkan orang kulit putih.

AlJazeera pun melaporkan, selama 2013-2019, polisi di AS telah membunuh 7.666 orang. Warga kulit hitam AS adalah 13 persen dari total populasi AS, namun peluang mereka dibunuh polisi "dua setengah kali lipat" dari warga kulit putih.

Sedangkan, data Killed By Police, situs swadaya pengumpul informasi tentang kebrutalan penegak hukum, 465 warga AS tewas karena tindakan polisi pada 2020, hingga awal Juni saja. Tahun lalu, sebanyak 1.004 orang terbunuh oleh polisi AS, dan 24 persen di antaranya warga kulit hitam.

Hasil investigasi Reuters memperlihatkan kenyataan lebih buruk. Banyak polisi AS yang terlibat pembunuhan warga sipil dapat bebas dari jeratan hukum.

Selama 2017-2019, polisi memenangkan 56 persen kasus penyalahgunaan kekuatan berlebihan di persidangan Mahkamah Agung AS, dengan dalih imunitas penegak hukum. Angka itu lebih tinggi daripada catatan kemenangan polisi pada 3 tahun sebelumnya, yakni 43 persen.

Gerakan Black Lives Matter dan Protes Antirasisme

Kebrutalan polisi AS terhadap warga kulit hitam beriringan dengan diskriminasi rasial yang sudah sistemik. Dampaknya: kesenjangan berbau rasial, termasuk dalam hal ekonomi. Kesenjangan pun semakin tampak ketika pandemi.

Riset terbaru dari the Economic Policy Institute (EPI), lembaga swadaya yang berfokus mengkaji kebijakan ekonomi di AS, mencatat bahwa selama pandemi corona terjadi, rata-rata pengangguran di komunitas kulit hitam mencapai 16,8 persen dan kulit putih 14,2 persen.

Masih mengutip studi yang sama, di antara enam pekerja kulit hitam di AS, lebih dari satu orang kehilangan pekerjaan, pada kurun Februari hingga April 2020. Pada bulan April 2020, saat pandemi membikin ekonomi AS limbung, lebih dari separuh populasi kulit hitam dewasa di AS tidak bekerja.

Di sisi lain, banyak keluarga kulit hitam diprediksi tidak siap menghadapi badai resesi. Belum lagi, selama ini ada kesenjangan gaji kulit putih dan kulit hitam. Data 2018 lalu menunjukkan, rata-rata tingkat kemiskinan warga kulit hitam AS 20,7 persen. Sedangkan kulit putih hanya 8,1 persen.

Pandemi corona yang telah menyebabkan 115 ribu jiwa lebih meninggal di AS memperjelas realitas kesenjangan rasial. Data dari Central for Disease Control (CDC) menunjukkan rata-rata kematian warga kulit hitam karena Covid-19 adalah 22 persen, sementara kulit putih 12 persen.

Hal ini terjadi karena lebih banyak warga kulit hitam memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, asma, diabetes dan lainnya, yang meningkatkan fatalitas infeksi virus corona.

Di tengah kesenjangan yang semakin mendalam dan diskriminasi rasial yang terus tumbuh itulah, kasus kematian George Floyd terjadi. Konteks tersebut, sekaligus situasi serba sulit saat pandemi, melatarbelakangi banyaknya warga AS yang marah usai melihat video penangkapan Floyd.

Protes atas kematian Floyd juga membuat gerakan Black Lives Matter, yang lahir beberapa tahun lalu, kembali menemukan momentumnya. Bahkan, kali ini mendapatkan dukungan aksi solidaritas di banyak negara.

Black Lives Matter bermula pada tahun 2013 setelah Alicia Garza mengunggah sebuah kalimat di Facebook. "Orang-orang kulit hitam. Aku mencintaimu. Aku mencintai kita," tulis Alicia. "Nyawa kita berarti."

Unggahan itu luapan kemarahan Alicia. Dia marah karena George Zimmerman bebas dari tuduhan pembunuhan remaja kulit hitam bernama Trayvon Martin. George bukan polisi, tetapi ia bertugas sebagai relawan pengawasan lingkungan warga.

Tulisan Alicia lalu diunggah ulang oleh Patrisse Cullors yang mengakhiri unggahannya dengan tagar #BlackLivesMatter.

Unggahan Alicia dan Patrisse cepat menyebar disertai tagar #BlackLivesMatter. Tagar itu lalu selalu digunakan saat ada kasus rasisme dan ketidakadilan ke warga kulit hitam mencuat di AS.

Alicia, Patrisse dan seorang perempuan kulit hitam lainnya, Opal Tometi, kemudian memprakarsai pembentukan Black Lives Matter (BLM), sebuah pergerakan yang fokus melawan praktik rasisme terhadap warga Afrika-Amerika di AS.

Setahun berikutnya, tagar #BlackLivesMatter kembali menggema pada 17 Juli 2014, ketika banyak orang menuntut keadilan sekaligus menolak rasisme, karena kasus Eric Garner yang meninggal di Staten Island, New York. Garner diduga tewas usai dicekik polisi yang memasukkannya ke penjara.

Gerakan ini semakin membesar usai kematian remaja kulit hitam bernama Michael Brown. Remaja 18 tahun itu tewas setelah ditembak oleh Darren Wilson, polisi di Missouri, pada 9 Agustus 2014.

Wilson diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan yang menyatakan ia melakukan pembelaan diri. Ribuan orang marah dan memprotes ketidakadilan hukum bernuansa rasial itu. Tagar Black Lives Matter saat itu bergaung lebih luas lagi di seantero AS.

Kini, Black Lives Matter mulai tumbuh menjadi gerakan global. Black Lives Matter Foundation, yang diinisiasi oleh Alicia, Patrisse dan Opal, telah memiliki basis di AS, Inggris dan Kanada.

Organisasi ini menyatakan, misi utama mereka ialah membangun kekuatan lokal untuk melawan segala tindak kekerasan terhadap warga kulit hitam, baik yang dilakukan oleh negara maupun aksi vigilante sipil, terutama kulit putih.

Meski begitu, Black Lives Matter Foundation juga menegaskan bahwa tujuan utama mereka adalah demi kemanusiaan, sekaligus memperjuangkan nasib mereka yang terpinggirkan, melalui "gerakan pembebasan kulit hitam."

Baca juga artikel terkait GEORGE FLOYD atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Politik
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Addi M Idhom