tirto.id - Baca bagian II: Asal-usul Sentimen Anti-Korea di Jepang
Marginalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk etnis Korea di Jepang bisa ditelusuri riwayatnya sejak mereka bermigrasi ke Jepang seabad silam. Seiring Kekaisaran Jepang menganeksasi Semenanjung Korea pada 1910, orang-orang Korea mulai menyeberang ke Negeri Sakura untuk mencari mata pencaharian lebih baik atau mengenyam pendidikan berkualitas.
Memasuki dekade 1920-an, krisis tenaga kerja mulai menghantam Jepang. Momen itulah yang mendorong lebih banyak orang Korea berbondong-bondong pergi ke sana, tutur Min Byung Chae Lie dalam studi berjudul “The Evolving Zainichi Identity and Multicultural Society in Japan” (2020).
Jumlah orang Korea di Jepang membludak hingga 300 ribu jiwa pada 1930, dari semula hanya 2.000-an jiwa pada dua dekade sebelumnya.
Pendatang asal Korea biasanya bekerja berdampingan dengan warga Jepang keturunan Burakumin (kelas sosial terendah di Jepang pada era feodal yang melakukan pekerjaan kotor), dan orang-orang dari grup etnis Ryukyu asal Pulau Okinawa.
Orang-orang Korea dianggap tidak bisa baca-tulis, sehingga dikirim untuk melakukan pekerjaan kasar atau manual, seperti buruh konstruksi dan tambang. Mereka menerima upah lebih rendah daripada orang-orang Jepang, dan tinggal di kawasan pinggiran yang lebih kumuh.
Pemerintah dan lanskap media Jepang kelak ikut berperan memopulerkan citra penduduk Korea di Jepang sebagai “perusuh” atau gerombolan yang suka bikin ribut--gambaran yang mulanya disematkan pada tokoh-tokoh pro-kemerdekaan di daratan Korea.
Persepsi ngawur itu bahkan berkembang jadi hoaks yang berujung pada pembantaian massal terhadap 6.000 penduduk Korea di sekitar Tokyo dan Kanagawa setelah gempa bumi besar mengguncang area tersebut pada 1 September 1923.
Terlepas tragedi kelam di atas, otoritas Jepang masih memerlukan tenaga kerja dari Korea. Mereka mulai melakukan migrasi paksa ketika Perang Sino-Jepang Kedua meletus pada 1937. Antara 700-800 ribu orang Korea ditarik untuk bekerja di pabrik-pabrik dan situs-situs pertambangan. Sementara 200 ribu orang Korea direkrut jadi pasukan tentara Kekaisaran Jepang. Sampai tahun 1945, terdapat sedikitnya dua juta orang Korea di Jepang.
Setelah Jepang kalah perang, tanah jajahan Korea pun dilepas. Sebagian besar penduduk Korea di Jepang memilih ikut dalam program repatriasi (pemulangan kembali ke negeri asal) yang difasilitasi oleh organisasi pro-pemerintah Korea Utara (Asosiasi Umum Penduduk Korea di Jepang, biasa disingkat Chosen Soren atau Chongryon).
Sekitar 600 ribu penduduk lainnya memutuskan menetap di Jepang, yang keturunannya menjadi komunitas sebagaimana kita kenal hari ini: Korea Zainichi.
Alasan mereka bertahan biasanya karena sudah terlanjur membangun keluarga dan kehidupan di Jepang. Ada pula yang khawatir dengan ketidakpastian situasi ekonomi dan sosio-politik di Korea. Setelah Perang Dunia II, Korea dipecah jadi dua sebagai ladang rebutan pengaruh ideologis Blok Barat dan Timur dalam kecamuk Perang Dingin.
Setelah kekuatan imperial Jepang resmi dikuliti melalui Perjanjian San Francisco pada 1952, orang-orang Korea bukan lagi subjek kolonial Jepang. Mereka tidak lagi menyandang kewarganegaraan Jepang. Hak-hak sipil serta politik, termasuk hak pilih suara, dicabut dari mereka.
Semenjak itu, penduduk Korea di Jepang resmi tidak punya kewarganegaraan. Situasinya lebih kompleks buat anak-cucu mereka, yang lahir dan tumbuh dewasa di Jepang, serta sehari-hari terbiasa bicara bahasa Jepang. Bagi mereka, Jepang adalah rumah atau kampung halamannya.
Ragam Diskriminasi
Tanpa status kependudukan yang jelas, diskriminasi terhadap Korea Zainichi kian menjadi-jadi. Mereka dilarang bekerja di sektor publik, seperti pelayanan transportasi kereta api dan kantor pos. Sektor tersebut, sebagaimana disampaikan oleh John Lie dalam studi berjudul “Zainichi: The Korean Diaspora in Japan” (2009), dibatasi hanya untuk orang-orang Jepang setidaknya sampai tahun 1972.
Lapangan kerja untuk orang Korea Zainichi terbatas pada kegiatan mandiri atau wirausaha. Skalanya kecil-kecilan saja, seperti daur ulang sampah atau bisnis warung makan bakar yakiniku.
Ironisnya, diskriminasi pekerjaan ini berhasil mencetak segelintir pengusaha keturunan Korea yang mengharumkan nama Jepang, seperti Masayoshi Son pemilik Softbank dan Shin Kyuk-ho pendiri pabrik permen karet Lotte.
Mereka sulit dapat bantuan kredit dari bank-bank Jepang. Alih-alih dibantu otoritas Jepang, bantuan biasanya datang dari asosiasi pro-pemerintah Korut, Chosen Soren, yang sumber dananya berasal dari Partai Buruh Korea.
Korea Zainichi juga dikecualikan dari daftar penerima dana bantuan kesejahteraan pemerintah Jepang, seperti tunjangan anak atau pensiun. Akibatnya, kehidupan mereka pun lekat dengan kemiskinan dan kemelaratan.
Citra Korea Zainichi semakin dibingkai buruk oleh institusi penegak hukum dan media massa melalui kasus sensasional pada 1958—dikenal sebagai insiden di SMA Komatsugawa. Kala itu, seorang pelajar remaja Zainichi berusia 18 tahun, Li Jin-wu (Ri Chin’u), dituduh memerkosa dan membunuh murid perempuan yang satu sekolah dengannya.
Pengadilan memutuskan untuk mengeksekusi mati Li yang berasal dari keluarga miskin. Di satu sisi, sejumlah pihak sudah meminta kepada pengadilan agar memberikan keringanan hukuman karena latar belakang Li sebagai minoritas Korea Zainichi yang hidupnya rentan perundungan dan diskriminasi. Ada pula yang memahami aksi kriminal Li sebagai ekspresi perlawanan atas diskriminasi rasial yang dialaminya selama ini.
Sebegitu beratnya tekanan yang dialami kalangan Zainichi, pada 1968 seorang Zainichi generasi kedua bernama Kwon Hyi-ro sampai nekat menembak dua orang anggota gangster Yakuza lalu menyekap belasan orang di Prefektur Shizuoka.
Kwon mengaku aksinya dipicu oleh rasa muak karena seumur hidupnya selalu ditindas dan didiskriminasi oleh sistem dan institusi Jepang. Terlepas dari ingar-bingar yang ia ciptakan, Kwon berhasil memaksa aparat polisi untuk meminta maaf atas perilaku diskriminatifnya selama ini terhadap kalangan Korea Zainichi. Momen tersebut disiarkan melalui televisi nasional yang disaksikan khalayak luas.
Masih dilansir dari studi John Lie, kejadian tahun 1958 dan 1968 di atas mengawali bangkitnya kesadaran kolektif tentang diskriminasi rasial di Jepang pada dekade 1970-an. Salah satunya adalah “insiden Hitachi”. Pada 1970, seorang Korea Zainichi bernama Park Chong Seok menuntut konglomerat raksasa Hitachi karena merasa didiskriminasikan dalam proses rekrutmen.
Kisah bermula dari keberhasilan Park diterima sebagai staf Hitachi. Ketika mendaftar, Park memakai nama versi Jepang. Akan tetapi, di tahap akhir penerimaan, pihak Hitachi menyadari Park keturunan Korea karena tidak bisa menunjukkan dokumen kependudukan Jepang. Mereka pun batal mempekerjakannya.
Dalam upayanya memperjuangkan keadilan, Park mendapat dukungan massa, terutama grup-grup aktivis mahasiswa dari gerakan kiri. Empat tahun kemudian ia berhasil memenangkan kasusnya di pengadilan.
Memasuki periode 1980-an, diskriminasi yang dialami kalangan Korea Zainichi nyaris mustahil diabaikan. Kala itu, lahir gerakan yang bercita-cita politis: menghapus aturan pemerintah tentang cap sidik jari bagi penduduk asing di Jepang.
Regulasi tentang cap sidik jari tertuang dalam undang-undang tentang penduduk asing yang diresmikan parlemen Jepang pada tahun 1950-an. Tujuannya untuk mengoleksi data penduduk keturunan asing, terutama Korea Zainichi, dalam rangka mencegah kasus kejahatan atau penipuan.
Aturan cap sidik jari dikritik karena asosiasinya dengan penyelidikan kriminal dan melanggengkan asumsi bahwa semua penduduk keturunan asing berpotensi jadi pelanggar hukum. Menurut penduduk Korea Zainichi di Tokyo, Han Jong Sok, aturan tersebut jelas-jelas diskriminatif dan melanggar HAM. Han kelak jadi tokoh pertama yang berani menentangnya.
Perjuangan Han selama bertahun-tahun menuai dukungan publik dan berbuah manis. Tahun 1999, undang-undang tentang cap sidik jari direvisi. Setahun kemudian, ia bukan lagi persyaratan yang wajib dipenuhi oleh penduduk keturunan asing di Jepang.
Penting untuk dicatat juga bahwa pada 1991, pemerintah Jepang memberikan status khusus bagi penduduk Korea Zainichi yang tidak dinaturalisasi menjadi warga Jepang.
Dilansir dari studi oleh Yuuka Wickstrum dalam "Bulletin of Institute for Education and Student Services Okayama University" (2016), UU Pengaturan Imigrasi yang baru kala itu memberikan kategori baru untuk orang-orang Korea Zainichi, yakni “penduduk permanen khusus”. Dengan status tersebut, mereka berhak dimasukkan dalam program penerima tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan nasional.
Berani Melawan
Di balik gencarnya aktivisme sipil untuk memanusiakan penduduk Korea Zainichi pada pengujung abad ke-20, praktik diskriminatif masih saja ditemui sampai sekarang terutama dalam wujud ujaran kebencian. UU Ujaran Kebencian yang disahkan pemerintah pusat pada 2016 juga dipandang kurang efektif karena tidak mengatur hukuman untuk pelaku.
Terlepas dari itu, segelintir figur Korea Zainichi gigih menunjukkan keberaniannya untuk menuntut keadilan, seperti penulis perempuan Lee Sin Hae.
Pada 2014, Lee mengajukan gugatan pada Zaitokukai, organisasi ultranasionalis yang bercita-cita menghapus status “penduduk permanen khusus” yang dipegang oleh kalangan Korea Zainichi.
Lee menuntut Zaitokukai dan pemimpinnya, Makoto Sakurai, agar membayar uang kompensasi senilai 5,5 juta yen karena sudah mencemarkan nama baik dengan menyebutnya “perempuan tua Korea yang jahat” dalam demonstrasi di kota Kobe dan “orang Korea tidak taat hukum” di jagat maya Twitter.
Proses hukum yang berliku membuat Lee stress, sampai dirinya mengalami ketulian dini dan insomnia akut. Akhirnya, perjuangan Lee berbuah manis meskipun tidak maksimal. Pada 2017, Pengadilan Tinggi Osaka memerintahkan Zaitokukai untuk membayar 770 ribu yen pada Lee.
Nilainya memang tak seberapa dari nominal yang diminta Lee, akan tetapi putusan pengadilan Osaka sudah membuktikan bahwa pemerintah Jepang mulai serius dalam menyikapi pelaku ujaran kebencian.
Perjuangan melawan ujaran kebencian juga diupayakan oleh seorang pegawai perempuan berusia paruh baya di Fuji Corp., perusahaan konstruksi rumah berbasis di Osaka.
Dilansir dari reportase Bloomberg, pada tahun 2015 karyawan tersebut memutuskan untuk menuntut Fuji Corp. karena merasa terganggu dengan isi newsletter, semacam pamflet berisi berita politik, yang disusun oleh pihak kantor untuk bacaan di kalangan internal perusahaan.
Di dalamnya, terdapat konten-konten berisi “kata-kata dan ucapan diskriminatif tidak adil”—yang masuk dalam kategori dalam UU Ujaran Kebencian.
Konten yang ditampilkan termasuk foto layar video YouTube dengan salah satu komentar berupa kalimat “matilah Zainichi”. Konten lain menyinggung budak seks Korea era kolonial sebagai “pelacur”.
Pada 2019, ketika kasus tengah diproses di pengadilan, Fuji Corp. masih menerbitkan konten provokatif dalam pamfletnya, yakni salinan sampul majalah untuk promosi buku berjudul “Orang Korea adalah pembohong”.
Di bagian lain ditemukan kalimat menyakitkan seperti “tidak ada lagi yang akan terganggu apabila orang Korea hilang dari muka bumi”. Ada pula yang isinya mengejek orang-orang etnis Korea dan Cina sebagai "pembohong" dan "binatang liar".
Pihak Fuji Corp. membela diri bahwa konten-konten dalam pamfletnya merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi Jepang. Isinya tidak dimaksudkan untuk menyerang orang-orang tertentu, bahkan juga bukan bacaan wajib bagi karyawan.
Tahun lalu, pengadilan tinggi Osaka memerintahkan Fuji Corp. untuk membayar kompensasi senilai 1,32 juta yen kepada stafnya, yang awalnya menuntut ganti rugi sebesar 33 juta yen.
Sudah seharusnya segala ujaran kebencian wajib dihukum tegas. Langkah tersebut diperlukan demi keselamatan dan keberlangsungan negara Jepang sendiri.
Apabila Jepang ingin roda ekonomi tetap berputar demi menyokong kesejahteraan populasinya yang kian menua, mereka perlu 6,74 juta pekerja asing sampai tahun 2040—empat kali lebih banyak daripada yang dimiliki hari ini. Artinya, pemerintah wajib menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan manusiawi bagi kaum pendatang dan imigran.
Pada 2019, otoritas Jepang melonggarkan aturan imigrasi yang selama ini terkenal kaku. Mereka memasang target untuk menyerap lebih banyak pekerja asing dengan visa yang lebih fleksibel. Imigran berketerampilan rendah misalnya, dipermudah untuk menetap di Jepang sampai lima tahun, sementara yang berkeahlian khusus berpotensi mengajak keluarganya untuk tinggal bersama di Jepang selamanya.
Alangkah baiknya apabila gelombang baru penduduk asing ini dilindungi dengan aturan yang menghukum keras diskriminasi rasial dan ujaran kebencian, agar tidak ada lagi insiden-insiden menyakitkan sebagaimana sudah dialami oleh kalangan Korea Zainichi selama sekian generasi.
Editor: Irfan Teguh Pribadi