Menuju konten utama
Korea Zainichi

Asal-usul Sentimen Anti-Korea di Jepang (Bagian II)

Sentimen anti-Korea di Jepang bisa ditelusur mundur sampai era kolonial, persisnya sejak Jepang menganeksasi Semenanjung Korea pada 1910.

Asal-usul Sentimen Anti-Korea di Jepang (Bagian II)
Minggu, 19 Mei 2013, pengunjuk rasa dari grup-grup ultranasionalis turun ke jalanan Tokyo untuk mengkritik "hak istimewa" bagi warga Korea di Jepang. Demonstrasi anti-Korea meningkat sepanjang tahun 2013 dan menyebar ke kota-kota lain yang banyak dimukimi oleh komunitas Korea. (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

tirto.id - Baca bagian I: Diskriminasi Rasial Terhadap Orang-Orang Keturunan Korea di Jepang

Bagaimana rasanya jadi penduduk minoritas di masyarakat yang 98 persennya beretnis Jepang? Jika kita bertanya pada kalangan Korea Zainichi—sebutan bagi anak-cucu keturunan orang-orang asal Semenanjung Korea yang menetap di Jepang sejak era kolonial—jawabannya jelas terdengar tidak mengenakkan.

Mari tengok penuturan dari figur Zainichi paling terkenal, CEO perusahaan investasi teknologi Softbank, Masayoshi Son. Dalam wawancara dengan Nikkei Asia pada 2015, Zainichi generasi ketiga ini bercerita bahwa dirinya dulu sempat memakai nama keluarga Yasumoto.

Versi Jepang dari nama Korea Son tersebut juga diadopsi oleh banyak sanak-saudaranya. Alasan Son menyematkan nama tersebut sangat sederhana. Berbekal nama Yasumoto, dirinya jadi “lebih mudah” membaur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

“Jika kalian dilahirkan dari keluarga keturunan Korea, kalian akan jadi sasaran diskriminasi yang tidak berdasar,” ujarnya.

“Ketika duduk di bangku SD dan SMP, saya sungguh tersiksa gara-gara identitas saya sampai-sampai berpikir untuk mengakhiri hidup. Bagi saya, diskriminasinya memang seberat itu,” papar Son lagi.

Pengalaman pahit Son sebagai anak dan remaja itu kira-kira terjadi sekitar 50 tahun silam. Lalu, apakah situasinya lebih baik pada hari ini? Tidak juga. Demikian temuan dari survei pada 2019-20 oleh lembaga jasa pendidikan Korean Scholarship Foundation terhadap seribu pelajar dan mahasiswa keturunan Korea di Jepang.

Hasilnya, dilansir dari harian Mainichi tahun lalu, terungkap bahwa 30 persen responden mengaku pernah dilecehkan secara verbal. Kata-kata menghina yang ditujukan pada mereka seperti seruan “pulang sana ke Korea Selatan”, “pergilah dari Jepang” atau “Chon (istilah merendahkan untuk orang Korea)”.

Ekspresi kebencian terhadap Korea Zainichi pun marak di dunia maya. Tiga perempat responden mengaku pernah menemukan kasus-kasus diskriminasi ras di forum daring. Jumlah responden yang sama juga pernah mendengar atau melihat ujaran-ujaran kebencian dalam aksi protes atau pidato-pidato.

“Dalam kicauan-kicauan [yang saya tulis di Twitter] saya pastikan bahwa saya tidak terlihat seperti Zainichi, karena apabila ketahuan Zainichi, saya bakal diserang,” tutur seorang mahasiswa perempuan pada Mainichi.

Twitter merupakan platform media sosial paling populer di Jepang setelah LINE. Jumlah pengguna terbanyak kedua di dunia, sekitar 59 juta akun, berasal dari sana.

Komunitas Korea Zainichi, yang hari ini berjumlah 440 ribu jiwa dari total 2,8 juta penduduk keturunan asing di Jepang, juga selalu merasa harus waspada karena kerap dituding sebagai biang keladi di balik aksi kekerasan atau kejahatan.

Contoh paling baru bisa dipetik dari peristiwa pembunuhan mantan perdana menteri Shinzo Abe pada awal Juli silam. Selang beberapa jam setelah kasus diberitakan, bermunculan hoaks di media sosial yang menyebut tersangka penyerang Abe adalah suruhan dari pemerintah Cina, Rusia, orang asing yang sudah dinaturalisasi jadi warga Jepang, atau tentu saja penduduk Korea Zainichi. Kala itu, melalui akun Twitter-nya, Konsulat Jenderal Korea Selatan di Prefektur Fukuoka sampai memperingatkan penduduk keturunan Korea di Jepang agar meningkatkan kewaspadaan.

Hoaks yang sama juga pernah bersirkulasi pada pertengahan tahun 2020, saat terjadi pembantaian terhadap 19 orang di panti disabilitas di Kota Sagamihara, Prefektur Kanagawa.

Kebencian rasial ini bahkan pernah dituangkan jadi aksi brutal. Tahun lalu, seorang pemuda berusia awal 20-an membakar bangunan gedung milik komunitas orang Korea dan sekolah khusus anak Korea di Prefektur Aichi. Ia juga membakar satu bangunan di distrik Utoro—area yang ditempati banyak orang Korea di daerah Kyoto. Tindakannya mengakibatkan kerusakan pada barang-barang di dalam gedung, yang rencananya akan dipamerkan di museum monumen perdamaian.

Di pengadilan, terungkap bahwa berbagai aksi pelaku sudah didorong oleh kebencian terhadap penduduk etnis Korea. Baru saja akhir Agustus kemarin, hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara untuk pelaku.

Sentimen Sejak Era Kolonial

Sentimen anti-Korea bukanlah fenomena rasisme yang baru di Jepang. Sikap tersebut bisa ditelusur mundur sejauh-jauhnya sampai era kolonial pada awal abad ke-20, atau sekitar tahun 1910, ketika Jepang menganeksasi Semenanjung Korea dan rakyat Korea dijadikan subjek koloni kekaisaran Jepang. Seiring itu, orang-orang Korea mulai bermigrasi ke Jepang—berharap bisa mendapat pekerjaan lebih baik atau mengenyam pendidikan berkualitas.

Tak lama kemudian, memasuki dekade 1920-an, Jepang mengalami krisis tenaga kerja. Momen itulah yang menjadi faktor pendorong bagi lebih banyak orang Korea untuk berbondong-bondong bermigrasi ke Negeri Sakura, tulis Min Byung Chae Lie dalam artikel berjudul “The Evolving Zainichi Identity and Multicultural Society in Japan” (2020). Jumlah orang Korea di Jepang yang awalnya hanya 2.000-an jiwa pada 1910 meroket jadi 300 ribu jiwa pada 1930.

Pendatang asal Korea biasanya bekerja berdampingan dengan warga Jepang keturunan Burakumin (kelas sosial terendah di Jepang pada era feodal yang melakukan pekerjaan kotor) dan orang-orang dari grup etnis Ryukyuu asal Okinawa, salah satu pulau terluar Jepang.

Karena dianggap tidak bisa baca-tulis, orang-orang Korea ditugaskan untuk melakukan pekerjaan kasar atau yang mengandalkan fisik, seperti di bidang konstruksi dan pertambangan. Upah mereka pun lebih rendah daripada orang Jepang. Mereka tinggal di kawasan pinggiran yang lebih kumuh. Dalam kondisi yang serba sulit demikian, mereka rentan didiskriminasi dan dipandang rendah oleh masyarakat Jepang.

Di balik itu, cara pandang yang meremehkan dan sebutan berkonotasi negatif sebenarnya sudah disematkan pada orang-orang Korea sebelum mereka mulai berdatangan ke Jepang atau sebelum aneksasi, yakni ketika Korea menjadi protektorat di bawah kontrol militer Jepang (1905-10). Demikian disampaikan Jinhee Lee dalam studi berjudul “Malcontent Koreans (Futei Senjin): Towards a Genealogy of Colonial Representation of Koreans in the Japanese Empire” (2013).

Istilah seperti “perusuh” atau “gerombolan yang kasar” misalnya, ditujukan pada gerakan perlawanan bersenjata oleh gerilyawan di Korea kala itu—Pasukan Kebenaran atau Euibyeong.

Infografik Jepang Anti Korea

Infografik Jepang Anti Korea. tirto.id/Quita

Meskipun gerakan-gerakan awal pro kemerdekaan dilindas, rakyat Korea tidak menyerah. Nyaris satu dekade setelah Jepang menganeksasi Korea, perjuangan berlanjut. Dari aktivis, pelajar, sampai ibu-ibu, petani, dan pemuka agama terjun ke jalanan di kota-kota besar di Korea dalam demonstrasi damai yang dikenal sebagai Gerakan Kemerdekaan 1 Maret 1919. Mirisnya, aksi ini dibalas dengan keberingasan otoritas Jepang: sekitar 7.500 demonstran meninggal dunia dan 46 ribu orang ditahan polisi.

Tak lama setelah itu, istilah futei senjin—artinya orang Korea pemberontak, pembuat onar atau sumber masalah—mulai menyebarluas di daratan Jepang. Masih dilansir dari studi Lee, futei senjin ditemui dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah Jepang, termasuk di koran-koran serta majalah.

Pada tajuk utama di berbagai koran, futei senjin kerap muncul di bawah kategori berita “gerakan nasional”, “keamanan nasional”, “gerakan buruh”. Konten artikel juga bernada negatif, membawa isu konspirasi, ancaman, sentimen anti-Jepang, kalangan radikal, pengkhianat, sampai bom.

Melalui beragam pemberitaan, orang-orang Korea yang sebenarnya berusaha merebut kembali kedaulatan negerinya dan melawan penjajahan brutal Jepang, malah digambarkan tidak bersyukur.

Gambaran tentang orang Korea yang berandalan ini dipelihara selama beberapa waktu oleh pemerintah dan media Jepang sampai akhirnya menyusup ke dalam alam bawah sadar khalayak Jepang. Akibatnya pun fatal, berdampak pada aksi main hakim sendiri yang menelan banyak korban jiwa.

Insiden tersebut berlangsung persis 99 tahun silam, tak lama setelah gempa bumi besar mengguncang area Kantō—meliputi area Tokyo, Yokohama dan prefektur sekitar—pada 1 September 1923.

Pembantaian Kantō 1923

Di tengah situasi serba panik akibat gempa yang menelan lebih dari 140 ribu korban jiwa tersebut, bermunculan hoaks tentang ancaman dari futei senjin. Sesuai arti harfiahnya, orang-orang Korea dituding berencana bikin rusuh: membakar bangunan, meracuni sumber mata air sumur, memperkosa, menjarah, dan pemberontakan.

Departemen kepolisian Tokyo melaporkan bahwa rumor futei senjin ditemui di banyak titik lokasi dan menyebar secepat kilat. Masih mengutip studi oleh Lee, terdapat sekian banyak teori tentang sumber hoaks. Namun dugaan terkuat menyebut bahwa rumor bermula dari obrolan para pengungsi korban gempa yang menempuh rute perjalanan dari kota Yokohama menuju arah ibu kota, Tokyo.

Asosiasi masyarakat sipil yang mengklaim sebagai penjaga keamanan, semacam grup-grup preman lokal yang disebut jikeidan, merasa perlu bertindak. Lee menuturkan, di penjuru area Kantō jumlah perkumpulan tersebut menembus 3.600 unit—seribuan di antaranya tersebar di metropolitan Tokyo. Anggota-anggotanya dilaporkan membawa senapan atau pedang tradisional, lantas mendirikan pos pengecekan di beberapa sejumlah lokasi untuk mencegat siapapun yang wujudnya menyerupai orang Korea.

Cara mengecek apakah seseorang keturunan Korea atau bukan adalah dengan meminta mereka mengeja kata-kata Jepang yang agak sulit, menyanyikan lagu pemujaan terhadap Kaisar Jepang (Kimigayo), sampai mengecek tubuh (tulang pipi, rambut, tinggi badan). Jika terkonfirmasi sebagai orang Korea, para anggota jikeidan bisa membunuh mereka di tempat, atau menggiringnya ke kantor polisi, markas tentara, kamp interniran.

Meskipun kelak otoritas kepolisian Jepang memerintahkan agar aksi main hakim sendiri dihentikan, pihak merekalah yang sedari awal sudah menyerukan agar pemerintah daerah menyikapi tindak-tanduk orang Korea dengan tegas—secara tidak langsung dimaknai sebagai sinyal hijau bagi para preman jikeidan di berbagai kota untuk bertindak main hakim sendiri.

Sonia Ryang dalam studi yang terbit di Asia-Pacific Journal (2016) menulis betapa momen pascagempa 1923 merupakan episode paling kelam bagi penduduk keturunan Korea di Jepang. Pembantaian kala itu disamakan dengan “perburuan ala pogrom” (pemusnahan kaum Yahudi) dan era segregasi rasial Jim Crow di negara bagian selatan di Amerika Serikat.

“Sebagaimana jasad-jasad orang kulit Hitam digantungkan pada pohon-pohon di kawasan selatan [Amerika], tubuh orang Korea dipertontonkan tanpa bola mata, tanpa hidung, tanpa payudara, dengan paha dan lengan penuh luka sobek serta sedikit permukaan kulit yang utuh,” tulis Ryang.

Diperkirakan sampai 6.000 orang keturunan Korea tewas dalam pembantaian tersebut—termasuk di dalamnya sejumlah orang etnis Cina dan Jepang yang disangka orang Korea.

Setiap tahun, komunitas masyarakat Korea di Tokyo menyelenggarakan upacara peringatan untuk mendoakan arwah-arwah korban pembantaian. Para Gubernur Tokyo rutin mengirimkan surat berisi pengakuan dan keprihatinan atas tragedi tersebut. Sayangnya, tradisi tersebut berhenti sejak 2017, setahun setelah politisi konservatif populis Yuriko Koike menjabat.

Koike disinyalir berada di bawah tekanan dari grup-grup sayap kanan yang gemar menyangkal atau mendistorsi fakta sejarah terkait kebrutalan otoritas Jepang era kolonial, terutama terkait praktik perbudakan seks jugun ianfu dan kerja paksa di pabrik-pabrik dan situs-situs tambang selama Perang Dunia II.

Setelah nyaris satu dekade berlalu sejak pembataian Kantō, sentimen anti-Korea masih diekspresikan melalui aksi demo oleh kalangan ultranasionalis.

Pada 2016, pemerintah pusat mengesahkan Undang-undang Ujaran Kebencian untuk menekan praktik-praktik diskriminatif terhadap penduduk etnis non-Jepang. Aturan hukum tersebut dinilai penting sebagai gebrakan awal untuk membangun kesadaran publik tentang ujaran kebencian. Di sisi lain, ia masih dikritik karena tidak mengandung unsur hukuman.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Nuran Wibisono