tirto.id - Pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2020 barangkali akan menjadi catatan buruk dalam sejarah politik Negeri Paman Sam.
Pada Jumat (16/10/2020), sebagaimana dilaporkan CNN, empat belas orang ditangkap atas dugaan terlibat dalam rencana pengeboman dan penculikan Gubernur Michigan Gretchen Whimer. Sebagai kepala negara bagian, Whimer terus-terang menunjukkan dukungannya kepada pesaing Donald Trump, Joe Biden. Seperti Biden, Whimer memang berasal dari Partai Demokrat. Ia bahkan sempat dipertimbangkan menjadi calon wakil presiden Biden.
Salah satu rencana teror itu adalah meledakkan jembatan dan mengikat Whimer di sebuah kapal. Rencana lain yakni membunuh Whimer di depan pintu rumahnya. Jika tidak digagalkan, rencana itu diperkirakan berlangsung sebelum hari pemilihan, 3 November 2020.
Di berbagai daerah, kekerasan pendukung Trump dan Biden melonjak. Aksi vandalis, pencurian, hingga pengrusakan atribut kampanye, misalnya, terjadi di California Utara. Di Turlock, salah satu rumah pendukung Trump bahkan dilempari batu.
“Ada masalah di Amerika ketika hakmu dilanggar seperti itu,” kata Ronda Farnam, pemilik rumah tersebut, seperti dilansir ABC10.
Media itujuga memperkirakan pada malam pemilihan presiden demonstrasi berujung kekerasan bisa terjadi di ibu kota Amerika Serikat, Washington DC, di mana Gedung Putih berada. ABC10 melaporkan beberapa orang di Washington DC sudah bersiap-siap jika kerusuhan terjadi. Sebagian dari mereka menutupi jendela tokonya dengan papan kayu, sedangkan aparat kepolisian bersiaga di jalanan.
Mantan Secret Service yang bertugas menjaga presiden, Don Halek, menyatakan penjagaan pada presiden juga diperketat. Tidak ada yang boleh mendekati Hotel Trump atau Gedung Putih di mana Trump kemungkinan berada. Siapapun yang muncul dengan senjata di sekitaran sana akan mendapat ancaman penjara atau mungkin lebih parah.
Di negara bagian Texas, bus kampanye pendukung Biden diduga menjadi korban intimidasi pendukung Trump. Sekitar 100 motor mengerubungi bus tersebut untuk memperlambat laju kendaraan. Di motor tersebut, saksi menemukan ada bendera dukungan kepada Trump. Biro investigasi federal AS, FBI, sedang menyelidiki insiden tersebut.
Di New York dan New Jersey, orang-orang yang mengenakan baju berwajah Donald Trump dan membawa bendera Trump tiba-tiba turun dari kendaraan dan meneriakkan dukungan pada Presiden AS ke-45 itu. Akibat tindakan ini, lalu lintas menjadi terhambat.
Senator David Carlucci mendesak kepolisian New York untuk mengidentifikasi puluhan orang yang menghalangi kendaraan di jembatan Mario Cuomo itu dengan alasan “tindakan sembrono, agresif, dan berbahaya.”
Sedangkan kelompok milisi sayap kanan Oath Keepers yang didirikan oleh Stewart Rhodes berhasil merekrut sebagian penegak hukum dan militer aktif dalam organisasi mereka. Cynthia Miller-Idriss, peneliti dari Polarization and Extremism Research Innovation Lab di American University, menyebut, “seluruh tanda ini mengarah kepada risiko kekerasan yang tinggi sekarang [pemilihan presiden 2020].”
Dilanggengkan oleh Trump
Sejak 2016, kekhawatiran pemilihan presiden berakhir brutal sebenarnya sudah diprediksi oleh sebagian orang. Biang keroknya tak lain adalah Trump.
Pada pilpres AS 2016, ada sekitar 20 kejadian berujung kekerasan dalam kampanye yang melibatkan pendukung Trump dan demonstran anti-Trump. Kala itu Trump menegaskan selama ini dirinya tidak pernah menginginkan kekerasan, tapi hanya "menginginkan perdamaian."
Dalam kesempatan yang lain, Trump menuding demonstran tersebut adalah suruhan Bernie Sanders, senator dari Vermont. Dia juga mengungkapkan kekesalannya dan berniat meninju para demonstran tersebut. Pendukung Trump ada yang benar-benar melakukannya. Tapi alih-alih menyampaikan pesan anti-kekerasan, Trump justru berniat menalangi biaya hukum yang harus dikeluarkan pendukungnya.
Salah satu sumbangsih Trump yang paling besar adalah usahanya untuk mendelegitimasi pemilihan presiden. Misalnya, dia menyebut pemungutan suara di Ohio akan dicurangi sebelum kejadian dan tanpa bukti. Trump kemudian menyuruh pendukungnya untuk mengawasi pengambilan suara secara mandiri. Hal ini berpeluang menimbulkan intimidasi di tempat pengambilan suara.
Trump juga memberi sinyal bahwa dia tidak akan mengakui hasil pilpres jika dirinya kalah. Selain itu Trump juga mendiamkan orang-orang di lingkarannya yang mendukung kekerasan. Salah satunya politikus Partai Republik Alfred P. Baldasaro yang menyebut Hillary Clinton, pesaing Trump kala itu, “harus dihukum tembak karena pengkhianatan.”
Empat tahun setelah kemenangannya, menjelang pilpres 2020, Trump tak juga berubah. Tuduhannya sama. Pertama, soal adanya penipuan dalam pemungutan suara. Dia mendorong simpatisannya agar pergi dan mengawasi pemungutan suara di Philadelphia. Padahal, pengawas atau saksi sudah punya kriteria yang ditetapkan masing-masing negara bagian. Salah satu yang paling jelas adalah pengawas harus merupakan pemilih dari daerah terkait.
Namun Trump malah mencuitkan protesnya di akun Twitter @realDonaldTrump dan menuding ada alasan “korupsi” melatarbelakangi larangan pendukungnya mengawasi tempat pemungutan suara.
Trump juga menyuruh simpatisannya untuk melakukan pencoblosan sebanyak dua kali. Selama pandemi, pemungutan suara diantisipasi dengan dua hal, pertama melalui metode mail-in yang memungkinkan orang tidak berduyun-duyun berkumpul untuk mencoblos. Kedua dengan datang ke tempat pemungutan suara. Untuk memastikan sistem jarak jauh berjalan lancar, Trump menyuruh pendukungnya untuk mencoblos dengan dua cara tersebut.
Perintah yang menurut sebagian orang masuk dalam kategori kejahatan federal.
Kedua, Trump kembali mendiamkan kelompok-kelompok yang bertendensi melakukan kekerasan. Dia malah mengeluarkan perintah tegas untuk menindak siapapun yang kedapatan melakukan aksi pengrusakan atau pelecehan pada monumen atau patung-patung yang mendapatkan dana dari pemerintah dan dilakukan oleh demonstran.
Hasilnya, respons aparat kepada demonstran kian memanas. Dalam aksi demonstrasi jelang pemungutan suara, polisi dengan mudahnya menyemprotkan gas air mata kepada demonstran, bahkan anak-anak yang ikut di sana.
Sedangkan kelompok sayap kanan yang mendukung supremasi kulit putih dan malah didiamkan Trump salah satunya adalah Oath Keepers. Kemudian ada The Proud Boys yang Trump suruh untuk “mundur dan bersiaga.”
Pernyataan Trump tidak menghentikan kelompok tersebut. Padahal Trump diminta untuk mengutuk aksi-aksi kekerasan mereka. Beberapa orang justru berpandangan, Trump mendorong aksi kekerasan yang akan dilakukan Proud Boys jika nanti Trump kalah. Proud Boys sebelumnya sudah melukai sejumlah demonstran sayap kiri yang tidak suka dengan Trump.
Trump juga menolak menyatakan akan menerima pergantian kekuasaan secara damai, jika nanti ia kalah. Menurutnya, surat suara akan menjadi sangat bermasalah saat pemungutan suara, lagi-lagi tanpa bukti nyata. Ketika ditanya wartawan apakah dia akan menjaga perdamaian saat transisi kekuasaan, Trump menyatakan “hilangkan surat suara, dan kamu akan mendapatkan, tidak ada pergantian, tapi justru kelanjutan kekuasaan yang sangat, sangat damai.”
Intinya, Trump harus menang.
Apa yang dilakukan Trump adalah meneruskan tradisi buruk berupa kekerasan saat perebutan kekuasaan. Profesor politik dari Universitas College London, Brian Klaas menyebut tidak heran jika ada kekerasan yang terjadi saat pemungutan suara.
Sebuah jejak pendapat yang dilakukan oleh YouGov menunjukan 47 persen dari 1.999 responden percaya bahwa pemilu tidak akan berjalan adil dan jujur. Sedangkan sebanyak 51 persen tidak akan percaya pada presiden hasil pemilu kali ini. Sedangkan dari 1.505 pemilih, YouGov menemukan 56 persen diantaranya percaya akan ada peningkatan kekerasan setelah pemilu.
Trump sukses merasuk pemikiran masyarakat bahwa pemilu bermasalah dan kekerasan akan terjadi jika ia kalah.
“Dia [Trump] justru meyakinkan pendukungnya, sekitar lebih dari 10 juta orang, bahwa jika dia kalah, maka itu karena pemilu dicurangi, yang mana itu bohong. Saya khawatir jika nanti hasilnya terpaut tipis [dan Trump kalah] maka dia akan mendorong simpatisannya untuk bertindak [kekerasan],” kata Klaas dikutipCNBC.
Editor: Ivan Aulia Ahsan