tirto.id - Kasus pembunuhan Munir kembali menjadi perhatian usai seorang hacker (peretas) bernama Bjorka merilis dalang pembunuhan Munir versinya di akun Twitter @bjorkanism. Menurut pantauan Tirto pada Senin (12/9/2022), akun Twitter tersebut sudah tidak bisa ditemukan dan berganti menjadi @bjorkanesm.
Munir Said Thalib adalah seorang aktivis hak asasi manusia dan salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Imparsial. Ia lahir pada 8 Desember 1965 dan meninggal 7 September 2004.
Munir meninggal pada saat menumpangi pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 974 dari Jakarta menuju Amsterdam pada bulan September 2004. Ia dibunuh dengan cara diracuni menggunakan arsen.
Hingga hari ini, dalang di balik peristiwa pembunuhan itu belum terungkap. Kasus pembunuhan Munir juga tidak termasuk sebagai pelanggaran HAM berat sehingga terancam kedaluwarsa. Selama ini kasus Munir hanya diproses sebagai pidana pembunuhan biasa.
Kronologi Pembunuhan Munir
KontraS pernah menerbitkan kertas kerja khusus mengenai kasus pemubunuhan Munir. Dalam laporan berjudul Bunuh Munir tersebut, KontraS mengungkap kronologi pembunuhan Munir di atas pesawat Garuda Indonesia.
Munir berangkat pada 6 September 2004 malam, diantar oleh istrinya, Suciwati serta rekan-rekan Imparsial dan KontraS. Munir terlihat sehat, ceria, dan masih bercanda dengan istri serta rekan-rekannya. Munir dan Suciwati sempat makan dan minum di Dunkin Donut’s selama menunggu keberangkatan.
Ketika boarding dan memasuki koridor pesawat, salah seorang kru Garuda Indonesia yang tengah menjadi extra crew/aviation security yang bernama Polly Carpus Budihari Priyanto menghampiri Munir dan berbincang-bincang dengannya.
Polly kemudian menawarkan Munir untuk duduk di kursi bisnis. Tawaran ini pada awalnya ditolak oleh Munir dengan alasan tidak enak karena ia membeli tiket untuk kelas ekonomi. Sampai kemudian Munir menerima tawaran ini. Munir diantarkan duduk di kursi 3 K di kelas bisnis.
Pesawat Garuda yang di tumpangi Munir berangkat pada pukul 21.55. Selama perjalanan Jakarta ke Singapura Munir sempat makan minum hidangan selama penerbangan, antara lain jus jeruk dan mie serta irisan buah segar. Pesawat transit di bandara Changi, Singapura pada hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat.
Pesawat transit di Singapura selama satu jam sepuluh menit, kemudian melanjutkan perjalanan ke Amsterdam pada pukul 01.50 waktu setempat. Pesawat dijadwalkan tiba di Amsterdam 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam.
Dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam, Munir duduk di kelas ekonomi kursi 40G. Sekitar 40 menit setelah take off, Munir menuju toilet.
Sekitar dua jam kemudian Munir mendatangi pramugara Bondan Hernawa dan menyampaikan bahwa ia sakit dan ingin dipertemukan dengan dokter Tarmizi yang duduk di kelas bisnis sambil menyerahkan kartu nama dokter itu.
Bondan Hernawa dan Madjib Nasution selaku puser kemudian mendatangi dokter Tarmizi yang duduk di kursi 1J. Tetapi karena dokter Tarmizi tidur pulas, Madjib meminta Munir untuk membangunkan dokter Tarmizi. Setelah bertemu dengan dokter Tarmizi, Munir menyampaikan bahwa ia telah muntah dan buang air besar sebanyak 6 kali.
Munir mendapat penanganan oleh dokter Tarmizi. Setelah itu, ia ditempatkan di kursi nomor 4 bisnis kelas agar dekat dengan dokter. Munir terus mengalami muntah dan buang air besar berkali-kali sekalipun telah diberikan obat diare dan susu serta air garam.
Beberapa jam kemudian Munir kembali kesakitan. Dokter memberinya minum tapi dimuntahkan kembali. Dokter Tarmizi kemudian memberikan suntikan, dan Munir kembali tenang.
Pada Selasa, 7 September 2004, sekitar pukul 04.05 UTC (diperkirakan di atas negara Rumania) atau pukul 08.00 waktu setempat, sekitar 2 jam sebelum mendarat di Bandara Schipphol, Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada 12 November 2004, polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum dari hasil otopsi Munir. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir pada saat itu.
Jenazah Munir kemudian dimakamkan di Taman Makam Umum Kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
Siapa Munir?
Munir Said Thalib lahir di Batu Malang pada 8 Desember 1965. Ia merupakan aktivis HAM yang sudah beberapa kali menangani kasus-kasus penting.
Munir mengambil studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang. Di bangku kuliah, ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, serta Himpunan Mahasiswa Islam; selain menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Ia lulus pada tahun 1989.
Setelah lulus kuliah, Munir menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun, sebelum pindah kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Munir terlibat dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh TNI di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.
Pada 1998, Munir ikut serta mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Sebagai Koordinator Badan Pekerja KontraS, Munir ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM pada tahun 1997-1998 dan mahasiswa korban penembakan pada Tragedi Semanggi (1998).
Ia juga berperan aktif mengawal dan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).
Selepas tidak lagi menjadi pengurus di KontraS, Munir menjadi direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia.
Editor: Addi M Idhom