tirto.id - Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak dasar yang dimiliki manusia untuk dapat hidup sejahtera. Hak ini meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak mengemukakan pendapat, hak memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, hak berpolitik, hingga hak untuk memeluk agama sesuai keyakinan.
Indonesia menjadi salah satu dari sebagian besar negara di dunia yang telah mengakui keberadaan HAM. Indonesia memasukkan HAM dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 A s.d. J.
Selain dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi, sejak 1993, Indonesia mendirikan sebuah badan negara independen bernama Komisi Nasional HAM (Komnas HAM). Badan ini ditugasi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan menjadi salah satu langkah dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Akan tetapi, meskipun Indonesia sudah lama mengakui HAM dan melakukan upaya penegakkan hak dasar manusia tersebut, sejarah Indonesia tak luput dari pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Faktor Terjadinya Pelanggaran HAM
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas VIII(2017) terbitan Kemendikbud, ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran HAM dapat terjadi. Faktor-faktor ini terbagi menjadi dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor pendorong terjadinya pelanggaran HAM yang berasal dari dalam diri pelaku pelanggaran HAM itu sendiri. Faktor internal tersebut meliputi:
1. Sikap terlalu mementingkan diri sendiri
Pelaku pelanggaran HAM seringkali memiliki sikap yang selalu mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain. Sikap ini akan membuat seseorang merasa boleh melakukan segala cara agar kepentingan pribadinya tercapai, termasuk pula melanggar HAM.
2. Pemahaman akan HAM yang rendah
HAM adalah hak hidup yang dimiliki setiap manusia tanpa terkecuali. Tiap manusia memilikinya, dan karenanya setiap manusia tak boleh melanggar hak orang lain. Kurangnya pemahaman, atau bahkan sikap tidak mau tahu dengan konsep tersebut, dapat mendorong seseorang melakukan pelanggaran HAM.
3. Sikap intoleran
HAM menjamin bahwa setiap manusia adalah setara oleh karenanya tidak diperkenankan untuk merendahkan atau mendiskriminasi orang lain. Tanpa sikap toleransi, yang terjadi justru sebaliknya. Intoleransi akan mendorong terjadinya diskriminasi dan penindasan atas orang lain yang mana merupakan pelanggaran HAM.
Faktor Eksternal
Selain faktor dalam diri, ada pula faktor eksternal yang mana merupakan faktor pendorong terjadinya pelanggaran HAM yang berasal dari luar diri manusia. Faktor eksternal tersebut meliputi:
1. Penyalahgunaan kekuasaan
Ada banyak jenis kekuasaan dalam kehidupan kita, misalnya kekuasaan dalam pemerintah atau kekuasaan dalam tempat kerja. Kekuasaan membuat orang yang diberi kuasa seolah dapat melakukan apa saja kepada orang yang dikuasai. Hal ini rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap beberapa golongan dalam masyarakat atau pemilik perusahaan yang tidak mengindahkan hak-hak para buruh adalah contoh penyalahgunaan kekuasaan yang menimbulkan pelanggaran HAM.
2. Ketidaktegasan aparat penegak hukum
Pelanggaran HAM merupakan tindakan melanggar hukum dan mesti diproses secara hukum. Namun, jika aparat penegak hukum tebang pilih dalam menyelesaikan sebuah kasus pelanggaran HAM, kasus tersebut akan berlarut, sulit diselesaikan, dan berujung pada normalisasi pelanggaran HAM.
3. Penyalahgunaan teknologi
Teknologi merupakan pisau bermata dua, ia dapat berguna untuk kehidupan manusia, namun pula dapat dijadikan alat untuk menyerang manusia. Penyerangan terhadap manusia lain dengan teknologi berarti mencederai hak orang lain atas hidup tanpa kekerasan.
4. Kesenjangan sosial dan ekonomi
Kesenjangan yang terjadi, baik sosial maupun ekonomi, membuat masyarakat terbagi dalam strata tertentu. Golongan masyarakat di strata yang tinggi akan merasa lebih berkuasa atas golongan yang bawah. Ketidakseimbangan ini rawan memunculkan tindakan-tindakan melanggar HAM.
Contoh Kasus: Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib adalah seorang aktivis hukum dan HAM asal Indonesia. Ia giat mengkritik kekerasan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Namanya dikenal setelah mendampingi proses hukum pembunuhan Marsinah, buruh perempuan di Surabaya yang dibunuh karena menuntut hak pada tahun 1993.
Karier aktivisme Munir kian melejit kala ia menjadi salah satu tokoh yang mendirikan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS).
Menukil catatan KontraS, organisasi nir-laba ini dibentuk sebagai respons atas tindakan kekerasan dan penghilangan paksa yang terjadi pada masa Orde Baru. KontraS aktif dalam advokasi kasus-kasus kekerasan dan penghilangan paksa pada waktu itu.
Ironisnya, pada 7 September 2004, Munir mengembuskan napas terakhirnya setelah diracun ketika ia naik pesawat menuju Amsterdam, Belanda untuk melakukan studi lanjutannya di sana.
Kasus tersebut menjadi yang terhangat ketika itu, hingga Presiden SBY membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus tersebut tak lama setelah pembunuhan terjadi.
Penyelidikan yang dilakukan TPF tersebut rampung setahun berselang pada Juni 2005. Namun, anehnya, dokumen hasil penyelidikan TPF dinyatakan hilang oleh pemerintah.
Persidangan kasus pembunuhan Munir yang digelar pada akhirnya menjatuhkan putusan bersalah pada Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus dinyatakan bersalah karena terbukti menjadi orang yang meracuni Munir di pesawat.
Dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, Pollycarpus dibebaskan pada 2018 meski baru menjalani hukumannya selama 8 tahun. Ia pun meninggal pada Oktober 2020 lalu.
Meski Pollycarpus ditangkap, namun aktor intelektual di balik pembunuhan tersebut belum diketahui hingga kini. Nama Muchdi Purwoprandjono, Deputi V BIN/Penggalangan saat pembunuhan Munir terjadi, sempat terseret dalam kasus ini, namun pengadilan memutuskan ia bebas dari segala dakwaan pada 2008 silam.
Menurut undang-undang KUHP, kasus Munir akan kadaluwarsa pada tahun 2022. Upaya penyelesaian kasus pembunuhan Munir terus dilakukan.
Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), pada 2020 lalu, menyerahkan legal opinion untuk membuat kasus pembunuhan Munir dijadikan kasus pelanggaran HAM berat supaya dapat diselesaikan tanpa tenggat.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Alexander Haryanto