tirto.id - Gatot Nurmantyo memutasi 85 perwira jelang masa tugasnya berakhir per Senin (4/12) kemarin. Ada 46 Pati TNI Angkatan Darat, 28 Pati TNI Angkatan Laut, dan 11 Pati TNI Angkatan Udara yang dimutasi berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/982/XII/2017.
Dalam siaran pers yang diterima Tirto, disebutkan bahwa mutasi jabatan ini "dalam rangka memenuhi kebutuhan organisasi dan pembinaan karier Perwira Tinggi TNI." Selain itu mutasi juga diterapkan dalam rangka "mengoptimalkan tugas-tugas TNI yang semakin kompleks dan dinamis."
Pengamat militer, Aris Santoso, menyebut rotasi tidak semata agar kinerja tentara lebih baik. Ada motif politik di balik mutasi perwira ini.
"Biasanya tentara itu ketika akan pensiun bakal 'menaruh' orangnya yang masih aktif," kata Aris kepada Tirto, Selasa (5/12/2017). Tujuannya agar ketika sudah pensiun Gatot masih punya pengaruh secara tidak langsung.
"Katakanlah kalau nanti Gatot punya agenda politik, dia tetap punya jaringan ke TNI yang akan berguna," katanya.
Gatot memang sering dikaitkan dengan agenda politik tertentu, terutama Pemilihan Presiden 2019. Mantan KSAD itu dinilai layak mendampingi Presiden Jokowi untuk maju dalam pesta politik akbar tahun 2019. Bahkan, ada pula yang ingin memajukannya sebagai calon presiden (Capres).
Survei Indikator Politik Indonesia bahkan menempatkan Gatot sebagai satu dari dua tokoh teratas yang dinilai layak menjadi calon pendamping Joko Widodo di Pilpres 2019. Gatot, bersama Basuki Tjahaja Purnama, mengalahkan calon-calon lain seperti Ridwan Kamil dan Sri Mulyani dalam survei dengan metode multistage random sampling.
Tapi Aris menggarisbawahi kalau apa yang dia utarakan, terutama agenda politik Gatot, baru sebatas dugaan. "Kita, kan, tidak tahu agenda Gatot yang sebenarnya apa," katanya.
Aris menekankan keputusan ini tidak menyalahi aturan apapun. Juga bukan persoalan etis atau tidak, seperti yang sempat diutarakan Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin. TB Hasanuddin bilang kalau mutasi sebaiknya dilakukan Panglima TNI yang baru agar tercipta suasana kondusif. "Itu [masih] domainnya Gatot," kata Aris.
Muradi, peneliti dan pengamat militer dari Universitas Padjajaran, punya pandangan lain. Menurutnya rotasi perwira bermasalah dan tidak etis. "Baiknya panglima tidak usah bikin-bikin kebijakan seperti itu," katanya kepada Tirto.
Selain persoalan etis, rotasi perwira juga menguatkan dugaan bahwa memang ada fraksi tidak kasatmata di tubuh tentara. Ini dapat dilihat dari komposisi perwira yang dirotasi. 46 dari 85 perwira yang dirotasi berasal dari AD, angkatan dimana Gatot "dibesarkan". Sementara yang paling sedikit dari AU, asal calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Muradi juga melihat bahwa rotasi jelang lengser akan berakibat buruk pada angkatan secara keseluruhan. Sebab sangat mungkin dalam waktu maksimal setengah tahun mereka yang dirotasi akan kembali dipindahtugaskan oleh pimpinan baru.
"Kasihan yang digeser. Dianggap orang-orangnya [Gatot]," kata penulis buku Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era of Reformasi yang diterbitkan oleh penerbit Inggris, Routledge.
Dari puluhan perwira yang dirotasi, ada yang benar-benar menempati jabatan baru namun ada pula yang non-job atau [dalam keterangan] tertulis "dalam rangka pensiun dini". Salah satunya adalah Edy Rahmayadi. Edy sebelumnya menjabat Pangkostrad, sementara jabatan barunya adalah Panglima Tinggi (Pati) Mabes AD. Pada jabatan ini Edy dibebastugaskan.
Status Edy berkaitan dengan langkah politiknya untuk turut serta dalam Pilkada Sumatera Utara. UU TNI tidak membolehkan tentara aktif untuk maju atau berkontestasi memperebutkan jabatan politik apapun. Ia harus menanggalkan seragamnya terlebih dulu. Edy jadi satu-satunya tentara berpangkat Letjen yang dirotasi.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS