tirto.id - Sachio Yamazaki masih sebagai staf di divisi Indonesia untuk Toyota Motor Corporation (TMC) pada 1977. Sebagai perwakilan prinsipal Toyota di Indonesia, ia berkesempatan menyaksikan peristiwa bersejarah bagi perusahaannya, sebuah peluncuran mobil legendaris Toyota, bernama Toyota "Kijang Buaya".
Secara perlahan, kariernya terus meningkat, hingga pada akhirnya ia jadi orang pertama yang memangku jabatan tertinggi di PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)—salah satu perusahaan manufaktur paling berpengaruh di Indonesia yang dibentuk pada 2003.
Memorinya akan kelahiran "Kijang" muncul kembali pada 1 Oktober 2003, saat sebuah seremoni meriah Toyota Kijang menggelinding yang ke-1 juta unit di Pabrik Sunter.Sachio Yamazaki menyampaikan pidato dengan penuh kenangan dan kebanggaan.
“Saya merasa mendapatkan kehormatan dilibatkan dalam perkenalan Kijang yang pertama pada 1977. Saya bahkan masih ingat dengan jelas acara itu diselenggarakan di Hotel Hilton Jakarta,” katanya dipacak dari James Luhulima dalam, Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini (2012:121).
Yamazaki bisa dibilang perwakilan prinsipal Toyota yang beruntung. Selain bisa jadi saksi hidup dua lintasan sejarah mobil legendaris Indonesia, ia juga bisa dipercaya oleh TMC mengendalikan perusahaan baru TMMIN hasil patungan TMC dan Astra.
Selain dirinya, ada orang yang jauh lebih beruntung yakni Warih Andang Tjahjono. Setelah Yamazaki lengser dari TMMIN, baru Warih lah sebagai orang Indonesia pertama yang ditunjuk memimpin TMMIN pada 2017. Ia menggantikan Masahiro Nonami, yang sejak 2010 memegang kendali.
Glorifikasi kiprah orang lokal memimpin perusahaan otomotif juga sempat muncul saat Mukiat Sutikno—kini Presiden Direktur Hyundai Mobil Indonesia—yang didapuk sebagai Managing Director GM Indonesia di 2007 saat berumur 35 tahun. Mundur ke belakang, nama Johnny Darmawan mampu bertahan 12 tahun di pucuk tertinggi Toyota Astra Motor (TAM) setelah memimpin TAM sejak 2002, tepat 20 tahun setelah berkarier di TAM. Sebelum eranya Johnny, ada juga orang Indonesia lain yang pernah memimpin TAM.
Nama lainnya, ada Sudirman MR yang dipercaya sebagai Presdir Astra Daihatsu Motor (ADM) sejak Maret 2011 setelah 33 tahun berkarier di Astra, ia bahkan melangkah lebih jauh. Sudirman yang fasih berbahasa Jepang, sukses bertengger di kursi direktur Daihatsu Motor Corp (DMC) di Jepang. Sudirman memang bukan orang lokal yang pertama di posisi puncak ADM.
“Satu-satunya orang Indonesia yang pernah jadi direktur di DMC,” kata Direktur Marketing ADM Amelia Tjandra kepada Tirto.
Dalam perjalanannya, para pentolan lokal dunia otomotif Indonesia ini mulai berguguran. Di TAM misalnya, sejak Johnny Darmawan pensiun empat tahun lalu, penerusnya adalah orang-orang prinsipal dari TMC, yaitu Hiroyuki Fukui dan kini di bawah kendali Yoshihiro Nakata. Di TAM, Nakata bukanlah orang kemarin sore, sejak 2006-2009 pernah memegang executive coordinator, sales department manager planning and customer relation division TAM. Nakata, kini didampingi oleh Henry Tanoto yang sudah berkarier di Astra 23 tahun lamanya.
Selain TAM, tokoh kunci orang lokal di ADM juga sudah lungsur, dari Sudirman MR ke Tsuneo Itagaki sejak tahun lalu. Sudirman kembali ke kursinya semula sebagai yang nomor dua di Daihatsu Indonesia, menjelang masa pensiunnya.
Dominasi pucuk pimpinan oleh prinsipal tak hanya terjadi di “raksasa” otomotif Astra tapi juga di prinsipal lainnya. Mari kita lihat dari daftar anggota Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) yang terdiri 5 pabrik motor: Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, dan TVS, kini semua presdirnya masih dipegang oleh perwakilan prinsipal terutama Jepang dan India. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang punya 42 anggota mencakup 20 agen, 10 distributor, dan 12 perusahaan manufaktur menunjukkan kondisi tak jauh beda.
Sebagai contoh dari 10 anggota distributor Gaikindo mencakup Toyota, Nissan, Tata, BMW, Mercedes-Benz, Mitsubishi, Daihatsu, Hino, Peugeot, dan Hyundai, kini 7 di antaranya dipimpin oleh presdir dari pemegang saham prinsipal. PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors misalnya, salah satu anggota Gaikindo, di bidang agen penjualan Mitsubishi Fuso dalam catatan Tirto sejak satu dekade terakhir seluruh presdirnya berasal dari orang prinsipal Jepang. Mayoritas sahamnya memang dikuasai oleh prinsipal hingga 60 persen.
Masalah Kemampuan dan Kepercayaan?
Terpilih jadi orang nomor satu di perusahaan-perusahaan patungan otomotif seperti agen pemegang merek (APM), distributor, maupun manufaktur, tentu saja tak mudah. Di dunia korporasi, paling lazim melihatnya dari komposisi saham pengendali. Biasanya, pemegang saham mayoritas punya privilese untuk menempatkan orang nomor satu di perusahaan.
Bagaimana dengan porsi saham yang sama-sama kuat antara lokal dan prinsipal?
Sebagai contoh, saat TAM berdiri 12 April 1971, porsi saham TMC hanya 49 persen dan PT Astra International Tbk menguasai 51 persen. Namun, sejak tahun lalu, kepemilikan saham TMC di TAM bertambah jadi 50 persen lewat penjualan saham oleh Astra. Kini, dua-duanya berimbang dengan porsi 50:50.
Namun, soal porsi saham ini tak selamanya jadi pijakan untuk menentukan posisi pucuk tertinggi di perusahaan. Contoh terkini yang terjadi pada TMMIN. Sejak TMMIN berdiri, komposisi saham TMC 95 persen, dan Astra hanya 5 persen tapi kini dipegang oleh presdir dari lokal.
Pada kasus TMMIN memang unik, saat pucuk tertingginya dikendalikan dari orang Indonesia, tapi tetap saja direktur keuangannya dipegang pihak prinsipal Jepang, oleh Keijiro Inada. Presdir TMMIN Warih Andang Tjahjono sebagai orang lokal di tengah sederetan para petinggi prinsipal Jepang di perusahaan otomotif lainnya, tak mau berkomentar, kata dia “masalah ini nggak etis”.
Pihak Astra sebagai pemegang saham kedua perusahaan itu, mencoba menjelaskan khususnya dalam konteks TAM. Head of Corporate Communications PT Astra International Tbk Boy Kelana Soebroto mengatakan porsi pemegang saham di TAM, antara TMC dan Astra sudah 50:50 berlaku efektif sejak April 2017.
Penjualan satu persen saham oleh Astra di TAM pada dasarnya hanya untuk mencerminkan pengendalian bersama dengan komposisi yang lebih berimbang antara Astra dan TMC di TAM dan juga untuk lebih memperkuat merek Toyota di Indonesia. Boy memberikan gambaran keputusan soal siapa yang ditunjuk dalam direksi termasuk juga presdir TAM disetujui secara bersama oleh Astra dan TMC. Fakta bahwa, kursi presdir di TAM berturut-turut dua kali dipegang oleh prinsipal, apakah SDM lokal belum bisa dipercaya?“Tidak seperti itu. SDM dari Indonesia pun sama-sama berperan penting karena pengendalian bersama 50:50, sehingga keputusan pun dilakukan bersama,” kilah Boy kepada Tirto.
Menanggapi ini, Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Johnny Darmawan yang juga veteran Presdir TAM menegaskan bahwa dominasi prinsipal di perusahaan otomotif memang sudah terjadi sejak dahulu, terutama bagi merek yang sedang melakukan pendalaman pasar di Indonesia.
Saat ini memang ada perubahan di pucuk TAM dan ADM yang dipegang kembali oleh perwakilan Jepang. Johnny berpendapat seorang presiden direktur yang dipilih pada perusahaan patungan otomotif dengan Jepang lebih karena mempertimbangkan kemampuan kerja di lapangan yang telah teruji. “Dahulu aku dipercaya oleh dua pihak, Astra dan Toyota, dulu aku dianggap bawa berkah dan hoki,” kata Johnny kepada Tirto.
Namun, ia berpendapat ada aspek keraguan saat pemegang saham menempatkan orang lokal sebagai yang nomor satu di perusahaan, dari sisi pihak prinsipal. Ini sangat wajar, karena investasi prinsipal seperti Toyota memang sangat besar. Sejak 2015 hingga 2019, total rencana investasi Toyota di Indonesia mencapai Rp20 triliun. Prinsipal juga biasanya menempatkan orang-orangnya di pos-pos strategis terutama di posisi direktur keuangan.
“Saya yang nyimpen duit, lumrah saja saya menempatkan orang di keuangan,” kata Johnny kepada Tirto.
Aspek lain, adalah soal regulasi yang memungkinkan presdir di perusahaan Indonesia dipegang oleh pihak prinsipal. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing sudah mengaturnya, dalam aturan ini posisi Presdir tak termasuk yang dilarang.
Deputy Head of Corporate Communication PTAstra Honda Motor Ahmad Muhibbuddin justru punya perspektif lain. Posisi presdir ditentukan oleh pemegang saham, tapi presdir dan eksekutif wakil presdir sama-sama punya wewenang di AHM. Keduanya termasuk kategori di posisi puncak perusahaan pembuat motor Honda ini. Alasannya karena AHM dimiliki oleh Astra dan Honda Motor Company dengan pembagian saham 50:50. Kursi presdir AHM sudah sejak lama dipegang oleh pihak Jepang, sedangkan eksekutif wakil presdir oleh orang Indonesia.
“Selama itu 50:50 wewenangnya sama. Top manajemennya juga berdua. Keputusan ya berdua,” kata Muhibbuddin kepada Tirto.
Apa yang dikatakan Muhibbuddin sepintas memang memberi gambaran soal pemahaman mengapa prinsipal mendominasi kursi empuk orang nomor satu di korporasi patungan Jepang-Indonesia. Namun, pada kenyataannya tak sesederhana itu. Pengalaman Mukiat Sutikno, yang pernah merasakan berkarier di Grup Astra, General Motors (GM), hingga kini sebagai PT Presdir Hyundai Mobil Indonesia, membawa sudut pandang lain, bagaimana cerita orang lokal yang dipercaya oleh prinsipal. Bisa dibilang gampang-gampang susah.
Mencoba menyelami apa yang dirasakan Mukiat, seorang presdir punya kewajiban melakukan laporan rutin ke kantor pusat prinsipal seminggu atau sebulan sekali yang biasanya dilakukan secara teleconference. Faktor fleksibelitas bahasa memang menjadi tantangan, sekalipun seorang dengan bahasa internasional yang mumpuni, masalah aksen, idiom tertentu hingga konteks suatu peristiwa saat berkomunikasi dengan orang beda asal negara bukan hal sepele. Ia menilai ada keinginan “kenyamanan” bagi prinsipal bila mereka menempatkan orang dari negaranya pada pucuk tertinggi di perusahaan negara lain.
“Mungkin faktor bahasanya juga, kalau orang Jepang sama Jepang, akan lebih nyambung,” kata Mukiat kepada Tirto.
Mukiat meyakini ada ihwal lain yang tak sepenuhnya jadi pertimbangan oleh prinsipal, bahwa orang lokal tentu akan sangat mengenal pasarnya sendiri, karena Indonesia punya karakter pasar otomotif yang berbeda-beda, setiap daerah butuh pendekatan yang unik. Berbeda dengan orang prinsipal, tentu butuh penyesuaian yang lama bagi dirinya dan pekerjaannya saat ditugaskan di Indonesia, apalagi sampai tahap untuk memahami pasar.
Seringkali yang terjadi adalah perwakilan prinsipal di pucuk tertinggi perusahaan mencoba menerapkan atau memaksakan pendekatan yang dipakainya saat ditugaskan di negara asal atau negara lain. Sekalipun beberapa perwakilan prinsipal yang memimpin perusahaan pernah bertugas di Indonesia, pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, ini tak menjamin mereka bisa memahami dan mengambil keputusan tepat terhadap pasar yang terus berubah.
“Hal-hal kayak gini seringkali tak dimengerti, banyak sekali pengalaman saya, banyak ekspatriat berbicara think globalact local, tapi yang terjadi malah think global act global. Ini yang menjadi kesulitan,” katanya.
Lokal adalah kunci dari semua skenario besar di bisnis dan industri otomotif dengan segala aspek di dalamnya: penyedot tenaga kerja, penyumbang pajak hingga punya andil pada kemacetan dan polusi di jalan.
Kisah perjalanan “Kijang Buaya” yang lahir empat dekade silam jadi sebuah pelajaran. Kijang yang awalnya hanya mengandung komponen lokal 19 persen dan 81 persen komponen impor. Perlahan, para prinsipal Jepang memutar balik keadaan, All New Kijang kini komponen lokalnya sudah 85 persen. Kini, hanya menunggu waktu membalik orang-orang yang ada di pucuk tertinggi.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti