tirto.id - Pada akhir 1960-an mobil pabrikan Jepang secara terbatas mulai lalu lalang di jalanan kota-kota besar. Saat kali pertama masuk ke Indonesia, mobil-mobil Jepang panen dengan cibiran. Masyarakat Indonesia yang sejak berpuluh tahun sudah akrab dengan mobil-mobil buatan Eropa dan Amerika yang terkenal dengan bodi yang kokoh tentu tak mudah berpindah ke lain hati. Mobil Jepang dianggap ringkih dengan balutan plat bodi yang tipis, hingga jadi langganan bahan ejekan konsumen.
“Dengan nada mengejek, mereka menyebut bodi mobil Jepang yang tipis itu terbuat dari blek atau kaleng kerupuk yang menggunakan seng sebagai bahan dasar,” kata James Luhulima dalam Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini(2012).
Di balik bodinya yang bila diketuk menghasilkan bunyi seperti suara kaleng, mobil Jepang memang punya keunggulan harga. Pada awal 1960-an harga satu unit mobil Toyota Canvas misalnya hanya Rp112.000. Di kelas yang sama, Jip Willy buatan Amerika dibanderol Rp350.000, apalagi harga Jip Land Rover saat itu menembus Rp450.000.
Masuknya mobil Jepang ke pasar Indonesia ini tak lepas dari peran pemerintah. Pada 1961, Departemen Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa membeli 100 mobil Jip Toyota Canvas, untuk dibagikan kepada instansi koperasi di seluruh Indonesia dalam rangka Musyawarah Nasional Koperasi di Surabaya.
“Jip Toyota Canvas merupakan mobil Jepang pertama yang masuk ke Indonesia.”
Mobil Jepang Jip Toyota Canvas didatangkan melalui importir PT GICA Ltd di Jakpus. Beberapa importir lain mulai tertarik memasukan mobil Jepang, antara lain AH Budi dan kawan-kawannya, yang merupakan pendiri Nasmoko Group yang merupakan jaringan distribusi dan penjualan Toyota di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mereka awalnya hanya memasarkan mobil-mobil keluaran Toyota sejak 1961 melalui Toyota Toyopet Tiara bermesin 1.500 cc.
Selain menjadi importir, swasta lokal mencoba menjajaki peluang dengan membangun pabrik perakitan, seperti Tayeb Mohammad Gobel (Bapak dari Rachmat Gobel) yang mencoba peruntungan merakit Daihatsu Midget (bemo) di Cawang pada Juli 1962. Perlahan namun pasti, mobil Jepang lainnya masuk ke Indonesia seperti Mazda, Mitsubishi, Suzuki, Subaru, dan Nissan.
Pemerintah lagi-lagi juga punya andil mengubah peta bisnis invasi mobil Jepang ke Indonesia, dengan skema keharusan membentuk Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) sejak 1969 bagi produsen mobil asing. Semenjak itu hadir sosok baru dalam menyongsong masuknya perakitan mobil Jepang antara lain Sjarnoebi Said yang meneken perjanjian dengan Mitsubishi, lalu ada William Soeryadjaya melalui Astra International yang berhasil menggandeng Toyota dan Daihatsu.
Mobil Jepang dan Astra
Seiring berjalannya waktu, mobil Jepang mampu mengambil hati konsumen di Indonesia, karena selain harganya murah, secara di luar dugaan mobil Jepang cukup andal dan mudah perawatannya
“Mobil-mobil keluaran AS yang sampai 1960-an mendominasi ruas-ruas jalan di kota-kota besar di Indonesia, pada awal 1970-an berangsur-angsur menghilang. Mulai digantikan oleh mobil-mobil keluaran Jepang,” tulis James Luhulima.
Ekspansi masif mobil-mobil Jepang di Indonesia tak bisa dipungkiri ada andil besar Astra yang kini jadi penguasa pasar mobil di Indonesia hingga 57 persen. Namun, jauh sebelum William bermitra dengan Jepang khususnya Toyota, ia memulainya dengan menyuntikkan dana di pabrik eks General Motors di Tanjung Priok yang sudah ada sejak 1920, kemudian diakuisisi pemerintah, lalu berubah nama menjadi Gaja Motor (Gaya Motor), perakitan pertama adalah truk-truk Chevrolet.
William sempat merasakan masa-masa pahit karena tak mudah menarik investor asing termasuk Jepang untuk menjadikan Astra untuk merakit dan memasarkan mobil di Indonesia. Selain pernah ditolak GM, William juga ditolak halus oleh Nissan.
Dalam buku Man of Honor: Kehidupan, Semangat dan dan Kearifan William Soeryadjaya (2012), William awalnya sangat percaya diri. Pada pertengahan 1969 ia mengundang Nissan datang ke Indonesia, yang ketika itu memang sedang mencari mitra lokal. Delegasi Nissan diterima di kantor Astra yang berukuran kecil di Jalan Juanda, Jakarta.
“Nissan datang 10 orang dan Marubeni 2-3 orang. Datang lalu cerita-cerita. Lama juga, ada 1 jam-an,” kenang Paul A. Lapian yang baru bergabung 3 bulan di Astra.
“Keputusannya, Nanti kami pertimbangkan dan kabari.”
Sampai suatu saat William dan Astranya menjadi bagian dari arus kebijakan yang dikembangkan oleh Soeharto yang baru berkuasa di era Orde Baru untuk mengembangkan industri mobil kendaraan niaga berbasis lokal dengan harga terjangkau atau basic utility vehicle (BUV).
Buntut dari kebijakan itu, larangan impor mobil secara utuh diberlakukan pada awal Orde Baru, khususnya sedan, insentif untuk mobil niaga ditetapkan untuk mendukung skema pembangunan ekonomi yang mulai dibangun Soeharto. Di sisi lain, Toyota Motor melalui Seisi Kato, sebagai Vice President Toyota Motor Sale Co Ltd berkunjung ke ASEAN pada 1971, termasuk mencoba menangkap peluang di Indonesia. Hingga akhirnya berdiri PT Toyota Astra Motor (TAM), sebagai agen tunggal Toyota di Indonesia pada 1971.
Tonggak penting perkembangan mobil Jepang, Toyota khususnya, saat mereka meluncurkan Toyota Kijang pada 9 Juli 1977 sebagai kendaraan niaga atau pick up. Selain Kijang, beberapa tahun sebelumnya Mitsubishi Colt T100 dan T120 sudah lebih dahulu mengaspal, meski pada akhirnya pemasaran Colt T120 dihentikan pada 1981. Kijang pun melanggeng dengan mulus hingga berkembang sebagai kendaraan keluarga atau MPV. Pada 1 Oktober 2003 atau 26 tahun setelah kehadirannya, kijang sudah diproduksi 1 juta unit.
Berselang 14 tahun, penantang baru dari Cina datang. Produsen otomotif asal China PT Saic General Motors Wuling (SGMW) Indonesia (Wuling) akan meluncurkan mobil MPV pertamanya pada kuartal ketiga tahun ini. Dengan investasi 700 juta dolar atau lebih dari Rp9 triliun untuk pabrik di Cikarang, tentu pemain mobil Cina ini tak main-main, dibandingkan pemain mobil Korea Selatan yang masih mengandalkan impor, meski sudah hadir lebih dari dua dekade.
Wuling juga menyiapkan 50 dealer sepanjang 2017 yang akan tersebar di Indonesia. Namun, mereka tentu harus berjuang menghapus jejak bisnis Cina di Indonesia yang tak sedap dari kasus motor Cina yang gagal total pada awal 2000 silam.
"Masuk ke pasar Indonesia agak susah, oleh karena itu kami tidak hanya berbicara mengenai penjualan produk, tetapi juga membangun komitmen dengan investasi berupa pabrik dan layanan purnajual," kata Brand Manager Wuling Motors, Dian Asmahani dikutip dari Antara.
Bagaimanapun kedatangan mobil Cina jadi tantangan bagi Toyota dan Daihatsu di bawah Astra sebagai penguasa pasar. Namun juga peringatan bagi pemain mobil Jepang lainnya, bahwa mobil Cina tak bisa dianggap remeh. Ini kembali mengingatkan saat para mobil-mobil Eropa dan Amerika tersingkir secara teratur oleh mobil-mobil yang awalnya dianggap sebagai mobil “kaleng kerupuk” lima dekade lalu.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti