tirto.id - Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata 'partai politik' dan 'DPR'? Korup? Elitis? Cenderung sulit dipercaya?
Persepsi yang disebut terakhir terkonfirmasi lewat survei terbaru dari Indikator Politik berjudul Suara Anak Muda tentang Isu-Isu Sosial Politik Bangsa. Salah satu temuan dalam kanal “Tingkat Kepercayaan pada Lembaga” adalah DPR RI dan partai berada urutan terbawah setelah TNI, Presiden, Polri, KPK, Kejaksaan, bahkan media mainstream dan media sosial.
Di kanal lain ditemukan bahwa mayoritas anak muda, dengan persentase 64,7 persen, menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik sama sekali/tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.
Survei yang melibatkan 1.200 responden yang berumur 17-21 tahun ini dilaksanakan selama dua tahun—Maret 2018 sampai Maret 2020. Metode survei dilakukan dengan simple random sampling dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Bukan Generasi Apolitis
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan survei tersebut bisa menjadi masukan bagi DPR RI dan partai politik. “Memang partai politik dan DPR perlu membuka diri dan mengajak anak muda dalam kegiatannya. Buat acara dengan anak muda dan ajak influencer anak muda ikut dalam kegiatan DPR,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (22/3/2021).
Hal ini penting karena menurutnya “anak muda adalah pemilih terbesar di 2024”—yang berarti tetap saja hanya dipandang sebagai lumbung suara elektoral.
Meski mengatakan survei penting, politikus berumur 52 tahun mengatakan sebetulnya ada banyak prestasi positif per individu anggota dalam melayani konstituennya. “Tapi memang tertutup dengan kasus korupsi oknum DPR.”
Anggota Komisi II DPR RI lain dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menilai ketidakpercayaan kaum muda terhadap DPR RI dan partai wajar muncul. Pasalnya, kata dia, bisa jadi mereka memang tidak paham dengan kerja parlemen. Apalagi posisi DPR RI krusial sebagai pengawas lembaga eksekutif, penyetuju anggaran negara, hingga membuat undang-undang.
“Jadi karena dia [DPR RI] sebagai pengawas, terkesan rentan dengan persoalan korupsi,” kata Guspardi, Senin pagi.
Guspardi juga menduga persepsi kaum muda tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh apa yang disajikan oleh media mainstream dan media sosial. “Bagaimanapun sebagai kaum milenial terpengaruh dengan berita-berita tersebut. Artinya menimbulkan persepsi. Akhirnya ikut juga menyampaikan persepsinya.”
Oleh karena itu politikus berumur 64 tahun itu mengatakan lembaganya akan terus meyakinkan para kaum muda bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidak seperti yang diberitakan oleh media. “Kami akan berupaya melakukan perubahan yang akan luar biasa ke depannya. Karena tanpa DPR, anggaran tak turun; tanpa DPR tak ada pengawas eksekutif; tanpa DPR tak ada UU,” kata dia.
Sebenarnya temuan ini bukan hal baru. Tirto pernah merilis riset berjudul Juara Diam di Senayan yang mengevaluasi kinerja DPR RI periode 2014-2019 lalu dengan menyigi risalah rapat tiap komisi hingga Desember 2018. Ditemukan banyak anggota yang kedapatan super irit bicara; perbincangan di seputar Senayan yang hanya didominasi salah satu isu yang tak substantif; dan parlemen yang terlalu maskulin bagi Indonesia yang masih memiliki banyak persoalan isu perempuan dan anak.
Selama lima tahun, DPR RI periode tersebut juga paceklik undang-undang, lalu masa jabatan penuh drama dan kontroversi, anggota yang terjerat korupsi, hingga dugaan pemborosan anggaran. DPR RI periode 2014-2019 disebut legislatif terburuk sepanjang sejarah Reformasi.
Ada pula hasil survei Transparansi Internasional Indonesia yang menemukan bahwa DPR RI adalah lembaga paling korup di Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah melakukan riset dengan hasil DPR RI dan partai politik mendapatkan kepercayaan publik yang rendah dan dianggap sebagai institusi demokrasi dengan citra yang buruk.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti mengatakan tak ada perubahan signifikan atas pandangan publik tersebut menunjukkan jika dua lembaga itu memang tak memiliki niat untuk mereformasi diri.
“Pandangan semakin negatif juga muncul dari fenomena politik belakangan ini, seperti misalnya terkait pengesahan UU Cipta kerja, korupsi kader partai, dan maraknya dinasti politik dalam pilkada. Hal ini tentu menjadikan konstruksi pemikiran publik terhadap partai dan DPR tetap atau bahkan semakin buruk,” kata Puput, sapaan akrabnya, saat dihubungi wartawan Tirto, Senin pagi.
Puput mengatakan responden survei Indikator Politik memiliki akses yang cukup tinggi terhadap pemberitaan politik. Karena memiliki akses, mereka “punya pengetahuan dan daya kritik yang tinggi.” “Karena itu tak heran jika mereka kecewa dengan kinerja partai dan DPR hari ini yang kerap kontroversial dan menunjukkan kerja yang bertolak belakang dengan kepentingan publik,” katanya.
Salah satu wujud kritis tersebut adalah aksi besar-besaran bertajuk #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu yang memang diikuti ribuan mahasiswa dan kelompok muda lainnya selama berhari-hari. Aksi memprotes ragam kebijakan itu digadang-gadang merupakan demonstrasi anak muda terbesar sejak Reformasi.
“Mereka menjadi kunci pengawal demokrasi kita yang objektif untuk mengawasi kerja pemerintah, partai, parlemen dan institusi demokrasi, apalagi di tengah koalisi politik gendut saat ini,” tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino