Menuju konten utama

KPK Menuju Kehancuran: Uji Formil Ditolak, Timbul Isu Novel Dipecat

Penolakan uji formil dan materiil telah memicu pertanyaan Novel Baswedan dipecat hingga kehancuran KPK tinggal menunggu waktu.

KPK Menuju Kehancuran: Uji Formil Ditolak, Timbul Isu Novel Dipecat
Tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kemarin. Penolakan serupa juga terjadi pada sebagian uji materi, termasuk tentang kewajiban pegawai KPK beralih status jadi aparatur sipil negara (ASN) pada Pasal 24.

Para pegawai yang diseleksi ulang untuk jadi ASN itu telah ikut sejumlah tes. Salah satunya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Namun, TWK disebut-sebut jadi instrumen yang menggagalkan penyidik KPK seperti Novel Baswedan.

Sejumlah sumber menyebut ada 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus TWK. Imbasnya, mereka tidak lagi bisa bekerja untuk KPK. Ke-75 pegawai itu, selain Novel Baswedan, ada Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko, hingga Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Giri Suprapdiono.

Novel Baswedan mengaku tidak tahu kebenaran hasil tes, tetapi mengakui ada informasi tersebar daftar pegawai yang gagal tes TWK dan berpeluang tidak bisa mengabdi di KPK.

"Saya nggak tahu apakah benar begitu, tapi info yang saya dapat demikian," kata Novel kepada Tirto, Selasa (4/5/2021)

Novel menyayangkan 75 penyidik tersebut bila kelak gagal gara-gara tes. Ia menilai mereka punya kemampuan akademis yang bagus. Selama ini telah melaksanakan bela negara di banyak kesempatan. Profil mereka juga mewakili keragaman Indonesia yang kaya suku, etnis dan agama.

"Mereka ini orang-orang yang baik, berintegritas di KPK. [Namun] sejak lama diupayakan untuk dikeluarkan. Bila info soal tidak lulus WK itu benar, maka saya yakin hal tersebut motifnya sama," ujar Novel.

Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa mengakui telah menggelar asesmen terhadap 1.349 pegawai KPK untuk diproses menjadi ASN. Namun, hasil tes bersifat rahasia dan belum diungkap ke publik. Ia menyebut hasil asesmen telah keluar pada 27 April 2021 lalu. Penyerahan hasil tes oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN) berlangsung di kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB)

"Saat ini hasil penilaian asesmen TWK tersebut masih tersegel dan disimpan aman di Gedung Merah Putih KPK dan akan diumumkan dalam waktu dekat sebagai bentuk transparansi kepada seluruh pemangku kepentingan KPK," ujar Cahya.

Cahya mengklaim publik agar tidak mudah percaya terhadap informasi di luar sumber resmi KPK, termasuk kabar 75 pegawai senior tidak lolos.

Tes Wawasan Kebangsaan Diskriminatif

Hingga berita ini naik, Kepala BKN Bima Arya Wibisana dan Pelaksana Tugas Karo Humas BKN Paryoto belum permintaan konfirmasi dari Tirto tentang seleksi ASN kepada pegawai KPK, termasuk soal tes wawasan kebangsaan.

Sejumlah pertanyaan wawasan kebangsaan menguji pandangan politik dan agama. Sumber Tirto menyertakan 20 daftar pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan yang harus dijawab 'ya' dan 'tidak'. Antara lain pertanyaan itu adalah: UU ITE mengancam kebebasan berpendapat, budaya barat merusak moral orang Indonesia, saya akan pindah negara jika kondisi negara krisis, hingga hak kaum homoseks harus tetap dipenuhi.

Meskipun hasil tes diserahkan di kantornya, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo mengaku kementeriannya tidak terlibat tes itu.

"Kemenpan tidak punya wewenang melantik pegawai KPK dan Kemenpan juga tidak tahu dan tidak terlibat dalam tes wawasan kebangsaan calon ASN. Kewenangan pada BKN," ujar Tjahjo kepada reporter Tirto, Selasa (4/5).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, Tes Wawasan Kebangsaan kepada pegawai KPK itu tidak boleh jadi dalih menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah.

"Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui litsus atau penelitian khusus atau bersih lingkungan yang diskriminatif," ujar Usman.

"Ini Penundukan Total KPK"

Keputusan MK menolak uji formil UU KPK disampaikan dalam sidang putusan, kemarin. Uji formil diajukan oleh 14 pemohon. Sebagian penguji pernah duduk sebagai ketua dan komisioner KPK sebelum revisi seperti Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas hingga Moch Jasin.

"Mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan menolak para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (4/5).

Gugatan uji formil dilayangkan karena revisi UU KPK cacat secara formil dan prosedural, sehingga revisi harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Dalih pemohon antara lain revisi UU KPK tidak masuk prolegnas, DIM RUU KPK disiapkan kurang dari 24 jam, sehingga partisipasi masyarakat nihil. Namun, hakim MK meyakini sebaliknya bahwa kecepatan revisi UU KPK sah secara hukum dan kecepatan pembahasannya itu tidak bisa disebut penyelundupan hukum.

Pada 2019 jalanan protokol di kota-kota besar Indonesia dipenuhi oleh demonstran selama berhari-hari menolak pemerintah dan DPR merevisi UU KPK. Kekhawatiran gerakan bernama "Reformasi Dikorupsi" itu terjadi saat ini ketika KPK dikebiri.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman bilang penolakan uji formil menunjukkan KPK berada di titik nadir kehancuran. Sebab, KPK sudah tidak lagi independen dalam memberantas korupsi. Ia bahkan menyebut situasi KPK saat ini sudah dikuasai penuh penguasa.

"Ini adalah penundukan total," tegas Zaenur kepada reporter Tirto, Selasa.

Penolakan uji formil, kata eks Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dengan jelas menunjukkan hancurnya KPK berlangsung perlahan seperti besi yang hancur karena karat. Secara perlahan tanda kehancuran KPK sudah tampak, kata Saut, seperti Indeks Persepsi Korupsi pada 2020 turun dari 40 menuju 37.

"Dalam sejarah republik ini mana pernah indeks korupsi turun? Malah naik. Paling tidak stagnan," tegas Saut.

Baca juga artikel terkait UJI FORMIL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali