tirto.id - Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Abdul Kadir Karding, kembali mengungkapkan keinginan untuk mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi setelah menemukan data sekitar 183 ribu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal bekerja di Arab selama moratorium diberlakukan pada 2011 silam.
"Totalnya yang kami peroleh ketika kami kunjungan ke Riyadh, total pekerja kita yang ada di sana ada 183.000 yang tidak terlindungi," kata Karding dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (28/4/2025).
Pada 2024, Karding juga menyebut bahwa terdapat 25.000 pekerja yang berangkat ke Arab Saudi secara ilegal. Menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa masih saja banyak pekerja yang nekat berangkat meskipun tak diperbolehkan dan tak mendapat perlindungan.
"Yang kita usulkan hari ini, jadi belum dibuka dan dilanjut, jangan salah paham, kita ingin pertama, menjaga agar selama SPSK (Sistem Penempatan Satu Kanal) ini maka ada sekitar 25.000 pekerja migran ilegal kita yang terus mengalir setiap tahun," katanya.
Oleh karena itu, Karding menilai kehadiran pemerintah menjadi penting untuk melindungi para pekerja tersebut, terlebih para pekerja yang berangkat secara ilegal ini tidak terdata pada Sistem Pelayanan Administrasi penempatan Pekerja Migran Indonesia (SISKOP2MI).
Menguatnya renana pencabutan moratorium juga disebabkan oleh adanya reformasi tata kelola pekerja domestik yang dilakukan oleh Arab Saudi. Salah satunya, TKI yang bekerja di sektor domestik dijanjikan menerima gaji minimal sebesar 1.500 riyal Saudi atau sekitar Rp6 - Rp7 juta per bulan.
"Kalau dalam proses pembahasan MoU dengan kami, mereka sepakat untuk minimal gaji minimum 1.500 riyal, artinya sekitar Rp6,7 juta sampai Rp7 juta," ujar Karding.
Selain itu, kata Karding, pemerintah Arab Saudi juga sepakat menyediakan asuransi dan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, ketenagakerjaan, dan asuransi jiwa, yang sebelumnya tidak difasilitasi. "Asuransinya berupa asuransi kesehatan, ketenagakerjaan, dan juga asuransi jiwa. Kemudian telah ada lagi pengaturan jam kerja dan istirahat. Jadi jam kerja diatur 8 sampai 10 jam, dan ada waktu istirahat," paparnya.
Lebih lanjut, Karding mengatakan Arab Saudi akan mempergunakan sistem Musanet, yang akan dipergunakan untuk mengontrol hubungan kerja, pemberi kerja, pekerja, hingga agensi. Platform Musanet ini akan mengatur dan melindungi hak pekerja domestik dan majikan di Arab Saudi.
"Yang (diatur), pertama calon pemberi kerja. Di sana ada verifikasi keuangan, status hukum pemberi kerja, kepatuhan regulasi, dan batasan kuota pekerja. Jadi tidak semua pemberi kerja boleh menerima misalnya 10 pekerja sekaligus, nggak boleh," terang dia.
Sementara itu, dalam kesimpulan rapat, komisi IX DPR RI juga mendukung pencabutan moratorium pengiriman Pekeria Migran Indonesia (PI) ke Arab Saudi dengan catatan khusus.
“Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) segera mengupayakan adanya memastikan adanya pemenuhan prinsip jaminan pelindungan maksimal terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI), termasuk adanya perianjian kerja yang adil dengan pemberi kerja berbadan hukum, kepastian sistem pemantauan evaluasi, jaminan sosial, gaji minimum, jam keria layak, dan kepastian hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) terintegrasi dengan sistem pemerintahan Arab Saudi dan hukum internasional,” tulis simpulan rapat yang dibacakan Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris.
Wacana pencabutan moratorium ini juga telah sampai pada pembahsan Presiden Prabowo Subianto seperti yang diungkap Karding pada Maret lalu.
"Tentang rencana kita untuk membuka kerja sama dengan Arab Saudi. Kita ketahui selama ini sedang ada proses moratorium," ucap Karding usai pertemuan dengan Prabowo di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































