tirto.id - Hi-Breed merupakan sebuah menjadi platform untuk bagi hasil ternak. Awalnya, startup itu berjalan mulus. Selama setahun, mereka juga berhasil mendapatkan pelatihan, pendanaan, dan networking di Singapura. Sayangnya, startup ini harus diubah menjadi bisnis keluarga karena perbedaan komitmen para pendirinya. Selain itu, pusat operasi bisnis yang berada di pedalaman Jawa Tengah juga menjadi masalah.
Ialah Rio dan keempat temannya yang menjadi pendiri startup setengah gagal tersebut. Rio adalah sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia. Pantang menyerah setelah kegagalan itu, saat ini Rio masih melanjutkan petualangannya di industri startup. Tirto menanyakan alasannya. “Ingin do someting good dengan mengeksplorasi solusi yang kreatif dan disruptif,” kata Rio yang saat ini berumur 24 tahun.
Pengalaman Rio memberikan ilustrasi soal lika-liku pendirian dan menjalankan startup. Tentu ini bukan proses yang sederhana, startup dilahirkan dan tubuh dalam sebuah ekosistem. Untuk kasus Rio dan temannya, ekosistem yang terdiri atas program pelatihan, pendanaan, dan akses terhadap jejaring pengusaha startup lain didapatkan di Singapura. Salah satu kota yang Nestpick nobatkan sebagai kota terbaik untuk memulai ataupun belajar soal startup.
Kota terbaik untuk startup bukan hanya Singapura. Berbagai kota besar di dunia berlomba-lomba untuk menjadi kota paling ramah untuk startup. Kota industri besar menjadi tempat untuk belajar, bekerja maupun mendirikan startup.
Menurut kajian Global Startup Ecosystem (GSE) (2017), kota yang ramah terhadap startup adalah kota yang memungkinkan startup baru untuk tumbuh dan sukses. Selain itu, akses mudah untuk mendapatkan investor, infrastruktur yang mendukung, dan ketersediaan tenaga ahli berkualitas menjadi indikator yang juga menentukan seberapa ramah sebuah kota terhadap startup.
Menurut analisis oleh SparkLabs (2017), walaupun Sillicon Valley masih nomor satu sebagai kota teramah untuk startup, akan tetapi posisinya mulai tergusur oleh Beijing. Kota di Cina itu secara perlahan menjadi primadona bagi startup.
Dalam kajian GSE yang sama, Sillicon Valley dikatakan memberikan akses yang luas terhadap startup baru untuk mendapatkan investor. Selain itu, startup yang lahir di Silicon Valley memiliki proyeksi penguasaan pasar secara global. Keunikan dari area yang berada di selatan Teluk San Fransisco ini adalah akses masif dan berkualitas terhadap jejaring pelatihan dan edukasi kewirausahaan khususnya startup teknologi.
Sementara itu, dalam kajian yang sama, London dinobatkan sebagai kota di Eropa dengan ekosistem terbaik untuk startup baru mekar. Klaim ini konsisten dengan laporan oleh Tech Nation (2016) yang menunjukkan bahwa industri digital London memang tumbuh 32 persen lebih cepat dibandingkan dengan keseluruhan sektor ekonomi untuk periode 2011-2014. Industri finansial London yang besar memiliki kontribusi yang signifikan dalam memudahkan pencarian dana investasi untuk pemilik startup.
Akan tetapi, menurut Benard Moon, analis SparkLabs Global Venture, Silicon Valley dan London harus mewaspadai sepak terjang Kota Beijing. Bayangkan saja, tahun lalu Beijing hanya memiliki sembilan startup dengan status “unicorn” (memiliki valuasi lebih dari 1 miliar dolar AS), akan tetapi saat ini jumlahnya meningkat menjadi 25 startup.
Menurut laporan Wall Street Journal, meroketnya status Beijing sebagai kota yang ramah startup tidaklah mengejutkan, jika melihat investasi agresif dari pemerintah Cina untuk membangun sektor kewirausahaan dan inovasi. Dana sebesar 2,2 triliun yuan telah digelontorkan. Melalui strategi ini, wirausahawan muda yang masih kuliah ataupun yang baru lulus dari universitas di Cina tidak perlu terseok-seok dalam mencari modal ataupun takut untuk mendirikan startup mereka sendiri.
Namun, mengembangkan startup bukan cuma soal ada tidaknya duit modal. Menurut riset SparkLabs, akses terhadap pusat inovasi teknologi juga menjadi faktor yang penting. Saat ini, di Beijing telah ada tiga pusat inovasi teknologi yaitu Zhongguancun, Sanlitun and Guomao ditambah dengan fasilitas riset Apple senilai 45 juta dolar yang sedang dibangun.
Tak hanya itu, Sumber Daya Manusia (SDM) berupa insinyur berkualitas juga menjadi faktor penting untuk pertumbuhan startup. Kota Beijing yang menjadi tempat universitas terbaik Cina beroperasi memberikan akses yang mudah bagi startup untuk mendapatkan SDM yang berkualitas
Pasar yang besar juga menentukan menjadi daya tarik yang kuat bagi calon pendiri atau pemilik startup. Beijing maupun kota besar Cina yang lain memberikan potensi pasar yang tidak ada habisnya. Potensi ini justru diperkirakan akan meningkat.
Menurut proyeksi McKinsey, lebih dari 75 persen konsumen Cina yang tinggal di perkotaan akan memiliki gaji sebesar 9.000 sampai 34.000 dolar AS pada tahun 2022. Angka pendapatan yang naik dua kali lipat ini dapat menjadi alasan yang kuat bagi startup baru untuk menjadikan Kota-kota industri besar Cina seperti Beijing sebagai pasar utama dan pertama produk/jasa mereka.
Tak hanya itu, menurut laporan New York Times, bukan hanya Beijing yang tumbuh manis sebagai pusat startup di Cina. Sebagai contoh, pemerintah lokal di Kota Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, telah menginvestasikan dana sebesar 200 juta untuk mengembangkan sektor inovasi dan kewirausahaan. Selain itu, Kota Shenzhen juga memberikan subsidi hingga 70 persen untuk startup. Tak dapat dipungkiri, Pemerintah Cina memang tak main-main menjadikan Cina sebagai pusat startup dunia. Lalu pertanyaannya, siapkah Silicon Valley menghadapi tantangan ini?
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti