Menuju konten utama

Kota dengan Transportasi Publik Terbaik, Jakarta di Peringkat Bawah

Hong Kong menempati peringkat 1 sebagai Kota dengan sistem transportasi publik terbaik. Jakarta ada di urutan ke-89.

Kota dengan Transportasi Publik Terbaik, Jakarta di Peringkat Bawah
Sejumlah angkutan umum menunggu penumpang di Terminal Bus Blok M, Jakarta, Selasa (1/11). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Jumat, 22 Desember 2017, jalanan ibu kota kembali menjadi saksi tragedi. Metromini yang dikendarai oleh Agus Santoso hilang kendali—karena kejar-kejaran dengan Metromini lain, lalu menabrak mobil Avanza di jalurnya. Metromini ini kemudian menabrak satu pengemudi GoJek dan GrabBike di jalur yang berlawanan. Pengemudi GoJek meninggal di tempat kecelakaan, sedangkan pengemudi GrabBike harus dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka.

Bukan sekali ini saja Metromini menyebabkan korban meninggal. Keganasan Metromini di jalanan membuatnya mendapat julukan "mesin pembunuh". Sayangnya, meski korban berjatuhan, pemerintah daerah belum juga mengambil langkah tegas terhadap pengelola Metromini. Ia masih bebas melenggang di jalanan, dalam kondisi kendaraan yang tidak prima, supir ugal-ugalan, dan setiap saat membahayakan orang lain di jalanan.

Kehadiran bus Metromini/Kopaja sebagai variasi transportasi publik terkadang menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi keberadaan mereka dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang kerja di lokasi tanpa akses langsung ke stasiun kereta atau Busway, di sisi lain bus-bus ini terkadang abai dengan faktor keselamatan.

Data tahun 2015 dari Polda Metro Jaya menunjukkan Metromini berkontribusi terhadap 10 persen angka kecelakaan lalu lintas di Ibu Kota. Permasalahan transportasi Jakarta bukan hanya soal standar keselamatan transportasi publik seperti Metromini, tetapi juga ketergantungan terhadap kepemilikan kendaraan pribadi.

Para komuter Jabodetabek mayoritas masih bergantung dengan kendaraan roda dua sebagai moda transportasi utama. Menurut survei komuter Badan Pusat Statistik pada 2014, sebanyak 59,54 persen komuter menggunakan sepeda motor untuk mobilisasi di Jabodetabek. Sementara, penggunaan transportasi umum yang masih berada pada angka 15 persen.

Baca juga: Menunggu Ajal Metromini dan Kopaja Pada 2018

Angka-angka ini membuat laporan dari Arcadis, konsultan yang fokus dalam kajian pembangunan kota berkelanjutan, tak mengagetkan. Untuk tahun 2017, Jakarta berada pada peringkat ke-89 di antara 100 kota dunia untuk kualitas indeks mobilitas berkelanjutan—dengan mengukur kualitas dan perilaku penggunaan transportasi publik di kota-kota di dunia. Laporan Sustainable Cities Mobility Index 2017 ini menggunakan 23 indikator yang dikelompokkan menjadi tiga pilar besar.

Pilar masyarakat sebagai pilar pertama mengukur keamanan, akses, jumlah penumpang dan fasilitas untuk masyarakat difabel. Pilar planet merupakan pilar kedua yang menganalisis tingkat keramahan lingkungan dengan melihat tingkat polusi, kemacetan dan fasilitas sepeda. Sementara itu, pilar profit sebagai pilar ketiga mengukur tingkat keterjangkauan biaya transportasi publik dan waktu tempuh transportasi.

Jakarta mendapatkan skor paling rendah untuk indikator dalam pilar planet. Jika berkaca dari data yang dipresentasikan di pertemuan AirQualityAsia, polusi di daerah perkotaan 70 persen masih berasal dari sektor transportasi. Selain itu, Jakarta juga masih belum memenuhi standar jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang idealnya mencapai angka 30 persen. Saat ini, RTH Jakarta baru berada pada angka 9,9 persen. Dalam konteks transportasi, RTH memiliki fungsi krusial sebagai area penyerap polusi dari sektor ini.

Infografik kota dengan transportasi publik terbaik

Hong Kong Nomor 1

Dalam indeks ini, Kota Hong Kong ditetapkan sebagai kota dengan sistem transportasi terbaik karena nilai pilar masyarakatnya yang tinggi. Ini tidak mengagetkan, jejaring transportasi publik Hong Kong yang efisien dan berkapasitas besar membuat masyarakat dapat bermobilisasi dengan mudah.

Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Hong Kong, transportasi publik di Hong Kong dapat memobilisasi 12,6 juta orang/harinya dan memenuhi 90 persen perjalanan harian yang sudah dijadwalkan. Namun, jika hanya dilihat dari indikator yang tergabung dalam pilar planet, peringkat Hong Kong langsung turun ke peringkat 53. Menurut analisis dari Arcadis, ini disebabkan karena tingkat polusi dari aktivitas pelabuhan dan industri di Hong Kong.

Kota di Asia lain seperti Singapura (peringkat 8) dan Seoul (peringkat 4) juga masuk dalam 10 besar indeks kota dengan sistem transportasi paling ciamik. Kota-kota yang berada di sepuluh besar, ketika dikupas lebih jauh, memiliki karakter yang sama yaitu memiliki tingkat penggunaan transportasi publik yang tinggi dibandingkan kendaraan pribadi. Misalnya, menurut data dari Kementerian Perhubungan Singapura, 67 persen perjalanan masyarakat Singapura dilakukan dengan menggunakan transportasi publik pada jam sibuk. Sama halnya dengan Kota London yang 43 persen perjalanan juga dilakukan dengan menggunakan bus atau kereta bawah tanah.

Sebaliknya, kota yang berada di peringkat 80 ke bawah memiliki kesamaan dalam hal ketergantungan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor untuk mobilitas masyarakat. Misalnya, Kota Houston (peringkat 86) di Amerika Serikat, 94,4 persen rumah tangga memiliki rata-rata 1,8 mobil. Sementara itu, kota lain AS seperti Indianapolis (peringkat 88) memiliki tingkat kepemilikan mobil rata-rata sebanyak 1,6 untuk setiap rumah tangga.

Mirip dengan dua kota ini, kepemilikan pribadi kendaraan bermotor Jakarta juga tinggi. Menurut data BPS Jakarta pada 2016, terdapat 13,5 juta kendaraan roda dua dan 3,5 juta mobil penumpang yang terdaftar di Ibu Kota. Menurut survei komuter BPS pada tahun 2014, 72,85% komuter menggunakan kendaraan pribadi (motor (59,54 persen dan mobil 13,3 persen) untuk pergi dan pulang kerja di Jabodetabek. Menurut analisis Arcadis, kota dengan peringkat 80 adalah kota dengan transportasi publik yang cukup komprehensif namun belum lepas dari ketergantungan kendaraan pribadi.

Strategi Peningkatan Kualitas Transportasi Jakarta

Pengelolaan transportasi umum di Jakarta memang masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk bisa disebut layak. Untuk meningkatkan kualitas transportasi publik pada tahun 2018, pemerintah Kota Jakarta akan melakukan dua strategi. “Pertama, pembangunan transportasi ini harus berpihak kepada utamanya untuk mereka yang bermasyarakat lemah,” kata Wakil Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko via sambungan telepon kepada Tirto, Kamis (28/12/17).

Baca juga: Mengapa Bus Rapid Transport Sukses di Banyak Kota Besar?

“Untuk yang kedua kita berbicara integrasi layanan, karena kita mengejar target shifting di 2019. 40 persen perjalanan di DKI menggunakan public transport,” imbuh Sigit. Menurut Sigit, salah satu alasan yang menyebabkan tingkat penggunaan transportasi umum yang masih rendah (berkisar antara 15-20 persen) adalah belum optimalnya konektivitas antarmoda transportasi publik.

Untuk itu, ia menjelaskan uji coba program OK-Otrip akan membantu dalam proses integrasi manajemen dan sistem layanan. Menurutnya, pemerintah harus membuka alternatif transportasi publik lebih dulu, untuk kemudian membuat masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi. Selain itu, untuk moda transportasi seperti bus Metromini, juga akan dilakukan integrasi. Bus kecil atau sedang yang tadinya menggunakan sistem setoran akan dikonversi menjadi angkutan umum yang dibayar sesuai dengan waktu tempuh.

Baca juga artikel terkait OK OTRIP atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti