tirto.id - Pada tahun 2016, Stephania melanjutkan studi ke jenjang magister di London. Sebelum itu, ia bekerja di sebuah bank selama lima tahun di Kota Bogota, Kolombia. Hampir sama seperti Jakarta, kota ini mengalami peningkatan populasi karena urbanisasi. Untuk itu, tak mengagetkan jika keberadaan sistem transportasi publik massal yang efisien menjadi salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah Kota Bogota.
Moda Bus Rapid Transit (BRT) menjadi pilihan Pemerintah Kota Bogota, juga Stephania sebagai seorang komuter. TransMilenio namanya. Menurut kajian Boston Consulting Group, TransMilenio merupakan sistem transportasi bus terbesar di dunia saat ini.
Untuk pergi ke kantor, Stephania menggunakan TransMilenio dengan ongkos sekitar 10 ribu rupiah untuk sekali jalan. Sama seperti perjuangan para komuter di Jakarta, pada jam-jam pergi dan pulang kerja, ia harus siap berdesak-desakan di dalam Bus Merah khas TransMilenio.
Baca juga: Pemerintah Pusat Dukung Ok-Otrip dengan Hibahkan Ribuan Bus Kecil
“Di luar jam sibuk, kita mungkin dapat tempat duduk. Namun ketika jam sibuk, 06.30 - 09.00 pada pagi hari dan 17.00 - 19.30 pada malam hari terkadang terasa seperti neraka,” kata Stephania kepada Tirto melalui Instagram Messenger, Rabu (29/11).
Pengalaman Stephania senada dengan temuan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) tahun 2016 mengenai TransMilenio yakni meski memiliki kapasitas angkut per hari yang dapat mengalahkan sistem kereta bawah tanah, kepadatan yang berlebihan mulai menjadi masalah. Untuk itu, ekspansi jaringan dan efisiensi kedatangan bus menjadi mutlak dilakukan. Di Kota-kota besar, walaupun tak sempurna, BRT menjadi solusi transportasi primadona.
Jauh dari Kota Bogota, di Kota Jakarta, mulai 2004, BRT dengan nama Transjakarta, juga mulai beroperasi. Survei ITDP-Indonesia tahun ini menunjukkan, untuk Koridor 1 Blok M - Kota, Transjakarta digunakan setidaknya lebih dari tiga kali oleh 63 persen responden setiap minggunya. Tak hanya itu, setidaknya Koridor 1 Transjakarta mendapatkan penilaian "silver" dari evaluasi kualitas BRT ITDP. Artinya, koridor ini memiliki kualitas teknis dan efisiensi yang baik untuk pengguna.
Walaupun begitu, dalam perspektif yang lebih luas, jaringan BRT Transjakarta masih dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan proses integrasi transportasi publik ketika Mass Rapid Transit (MRT) Fase 1 mulai beroperasi 2018 mendatang. Melalui sistem yang terintegrasi, masyarakat akan dimudahkan ketika harus berpindah moda transportasi.
Alvinsyah, ahli ilmu transportasi Universitas Indonesia, mengatakan Transjakarta dan MRT dapat memiliki fungsi yang fleksibel sebagai moda transportasi utama ataupun feeder. Untuk itu, secara teknis perlu dilakukan perpaduan secara fisik, jaringan, dan sistem (transaksi) dan operasional antara kedua moda transportasi ini. Ia menambahkan jaringan Transjakarta masih dapat diperluas untuk mencapai pemukiman masyarakat yang berlokasi di pinggiran kota.
“Jangan dibayangkan kalau layanan Transjakarta harus selalu bis sedang atau besar. Kalau kondisi fisik jaringan jalannya terbatas, bisa dilayani oleh bis kecil seperti angkot yang penting sistem pengolaan dan standard operasionalnya sesuai dengan jenis layanan Transjakarta,” jelas Alvinsyah kepada Tirto, Rabu (29/11)
David Tjahjana, koordinator komunitas pengguna Transjakarta, Suara Transjakarta, juga mengatakan integrasi antara MRT dan BRT diperlukan agar dapat menarik lebih banyak pengguna. Untuk itu kerja sama antara kedua moda transportasi menjadi krusial.
“Misalnya koridor dan stasiunnya harus nyambung. Jadi ada pathway atau busnya nanti masuk stasiun. Selain itu harus ada juga integrasi tarif dan jadwal,” kata David kepada Tirto melalui telepon, Rabu (29/11). Berdasarkan estimasi dari ITDP, integrasi 15 km jalur MRT dengan 144 km rute Transjakarta memiliki potensi penumpang sebanyak 180.000.
Baca juga: Bus Transjabodetabek Dinilai Belum Beroperasi Maksimal
Menurut riset World Resource Institute (2014), BRT telah menjadi primadona moda tranportasi kota-kota di dunia. Terdapat 160 kota di dunia yang menerapkan BRT sebagai solusi mobilitas masyarakat urban dan pinggiran kota. Pada kajian yang sama, berdasarkan evaluasi terhadap empat sistem BRT di Bogota, Johannesburg, Mexico City, dan Istanbul, BRT disebut memberikan tiga dampak positif.
Pertama, BRT mengurangi waktu tempuh untuk para penumpang karena memiliki jalur khusus sehingga bisa menghindari kepadatan lalu lintas. Kedua, terjadi pengurangan emisi gas karbon. Di Bogota, misalnya, tempat Stephania bekerja, menurut kajian Boston Consulting Group, polusi udara berkurang mencapai 40 persen sejak adanya BRT. Ketiga, keuntungan kesehatan dari pengurangan kecelakaan di jalan raya dikarenakan berkurangnya jumlah pengendara kendaraan pribadi.
BRT memang bukan sekadar bus biasa. Ia adalah sistem transit bus terintegrasi yang memiliki jalus khusus. BRT wajib memiliki titik transit berupa koridor yang dilengkapi sistem pembayaran elektronik dan memudahkan penumpang untuk naik-turun bus secara cepat.
Kota Curitiba di Brazil adalah kota pertama yang mengembangkan sistem BRT pada 1974. Sebagai moda transportasi, BRT mendapat julukan sebagai “surface subway”, karena efisiensi dan kapasitas angkut penumpangnya yang dapat bersaing dengan subway. Setelah Curitiba, BRT mulai dibangun di kota lain di Brazil seperti di Porto Alerge dan Sao Paulo dan beberapa kota di Amerika Serikat, seperti di Arlington dan Pittsburgh.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Zen RS