tirto.id - Salah satu keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas Alim Ulama NU) menyatakan bisnis money game model multi level marketing (MLM), baik skema piramida atau matahari, dan ponzi adalah haram. Hal ini diputuskan dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah yang dipimpin Ustaz Asnawi Ridwan.
Asnawi mengatakan, ada tiga alasan yang mendasari mengapa bisnis model seperti itu tidak diperbolehkan. Pertama, penipuan (gharar). Menurut Asnawi, bisnis money game model MLM dan ponzi dinilai haram karena mengandung unsur gharar.
Kedua, menyalahi prinsip akad transaksi. Ketiga, motivasi akad transaksi adalah bonus, bukan barang.
“Haram karena terdapat gharar dan syarat yang menyalahi prinsip akad sekaligus motifasi (ba’its) dari transaksi tersebut adalah bonus bukan barang,” kata Asnawi dalam sidang Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah, di Pesantren Putri Miftahul Huda Al-Azhar Cotangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, seperti dikutip laman NU Online.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali mengatakan bisnis MLM yang menyerupai kriteria dalam Munas Alim Ulama NU itu merupakan jenis money game.
Menurut Rhenald, jenis MLM seperti itu memang berbahaya lantaran seolah-olah memberi harapan tinggi bagi seseorang untuk mendapatkan uang dan hadiah dari sejumlah yang dibayarkannya.
“Jenis money game ini memang jahat. Akidahnya saya enggak paham, tapi bisa dibenarkan bisnis itu berbahaya. Spekulasinya lebih berbahaya dari judi,” kata Rhenald saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (1/3/2019).
Rhenald mengatakan dalam sejumlah kasus, seseorang diharuskan menaruh sejumlah besar uang dan membeli produk untuk menjadi anggota. Di saat yang sama, mereka yang menjadi anggota didorong untuk menjual produk yang belum tentu laku dengan harga tinggi.
Tak hanya itu, kata Rhenald, nantinya mereka diwajibkan untuk mencari anggota baru dengan pola yang sama sekaligus diiming-imingi kenaikan jumlah bonus, hadiah, dan imbal hasil seiring dengan banyaknya jumlah orang yang dapat diajak.
Persoalannya, kata Rhenald, pola pemberian bonus ini ternyata menyebabkan seseorang menjadi nafsu dan ketagihan untuk memperoleh lebih banyak. Namun, imbal hasil yang dijanjikan melampaui kemampuan finansial pemilik bisnis MLM ini.
Alhasil, kata Rhenald, tidak heran bila dalam sejumlah kasus sang pemilik kabur dengan meninggalkan sejumlah besar bonus yang tak terbayar. Bahkan kerugian dapat semakin membengkak bila dalam prosesnya seseorang turut mengajak keluarga hingga menjual asetnya, tetapi tak memperoleh balasan setimpal.
“Bonus itu bikin nafsu kejar uang, tapi sistemnya enggak mampu bayar. Dia perlu ditopang sama iuran orang yang masuknya belakangan,” ucap Rhenald.
“Heran masyarakat kita enggak kapok. Sudah 20 tahunan praktiknya,” kata Rhenald menambahkan.
Namun, Presiden Direktur Paytren, Ustaz Yusuf Mansur menampik hal itu. Ia mengatakan dirinya telah mengecek ke Dewan Syariah Nasiona Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) bahwa pembahasan Munas Alim Ulama NU itu ditujukan untuk menggali persoalan money game bukan MLM.
Yusuf Mansur justru mengatakan, terdapat keputusan DSN MUI untuk mendukung MLM yang halal dan sesuai syariah, serta yang berkomitmen tak menerapkan money game.
“Enggak mungkin terjadi di Munas NU itu. Dugaan saya di antara pembahas belum mendalami perbedaan MLM dan money game,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (1/3/2019).
Meskipun demikian, ia membenarkan tak menutup kemungkinan sebuah MLM juga dapat menerapkan money game, termasuk tidak mematuhi UU sehingga memerlukan penegakan hukum. Namun, Yusuf meminta agar hal itu tak digeneralisir pada semua MLM termasuk Paytren.
Yusuf mengatakan, Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) pun berencana menyurati PBNU untuk mengonfirmasi hasil Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah saat Munas Alim Ulama, di Banjar, Jawa Barat yang mengharamkan MLM.
Tujuannya, kata Yusuf, adalah meminta audiensi agar PBNU menjelaskan duduk masalah terkait hasil Bahtsul Masail Munas Alim Ulama NU yang mengharamkan MLM itu.
“Ada 1-2 MLM yang melakukan tipu-tipu, tapi tidak menjadikan MLM itu haram. Masa karena beberapa kejadian di pasar, malah semua pasarnya ditutup. Yang ditutup itu yang nipu saja,” kata Yusuf Mansur.
Asosiasi: Kami Korban
Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) Kany V. Soemantoro mengatakan tata cara bisnis MLM sebenarnya jauh berbeda dari yang diungkapkan dalam Munas Alim Ulama NU. Menurut dia, ada standar ketat yang telah ditetapkan pemerintah dalam Permendag 32 Tahun 2008 tentang tata cara penjualan langsung.
Jika mengacu pada peraturan itu, kata Kany, maka konsumen tak akan menemui MLM yang menawarkan iming-iming komisi setinggi langit bila mampu membawa anggota baru.
Sebaliknya, besarnya komisi, kata Kany, ditentukan dari capaian penjualan yang diraih. Itu pun masih dibatasi hanya 40 persen dari total penjualan.
Menurut Kany, kalaupun dalam penjualan itu melibatkan sejumlah orang, maka mereka berfungsi sebagai mitra untuk mengakselerasi target penjualan. Hal ini, menurut dia, berbeda dengan pemahaman money game yang menjadikan tambahan anggota untuk memperoleh bonus dan menaikan pangkat.
"Ini yang membedakan. Komisi berasal dari penjualan produk, bukan dari perekrutan. Daripada menjual secara individu, kami melibatkan mitra jadi penjualannya lebih cepat," ucap Kany saat dihubungi reporter Tirto.
Karena itu, Kany memastikan bahwa telah terjadi miskonsepsi mengenai MLM yang dikenal masyarakat dan dalam persepsi Munas Alim Ulama NU. Sebaliknya, ia mengklaim selama ini kehadiran model bisnis money game seringkali mengambil label MLM sebagai kedoknya.
“Kami korban ya. Money game menggunakan MLM sebagai kedok. Mereka menggunakan kami sebagai kamuflase,” ucap Kany.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz