Menuju konten utama

Kontras: Banyak Fakta Ditutupi Polri di Kasus Polisi Tembak Polisi

Kontras menilai kepolisian terkesan menutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J di rumah Kadiv Propam.

Kontras: Banyak Fakta Ditutupi Polri di Kasus Polisi Tembak Polisi
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (tengah), didampingi Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kanan), Irwasum Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto (kedua kiri) memberikan keterangan pers terkait insiden baku tembak sesama polisi di Mabes Polri, Jakarta. Selasa (12/7/2022). ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti proses pengusutan kasus penembakan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau J. Brigadir J ditembak Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

“Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa kepolisian terkesan menutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J. Terlebih keberadaan Kadiv Propam saat peristiwa terjadi pun tidak jelas,” ucap Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar, via keterangan tertulis, Kamis (14/7/2022).

Ditambah, keterangan mengenai luka tembak antara pernyataan Polri dan keluarga berbeda. Pihak keluarga mengatakan ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher.

Ada juga luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki. Hal ini berlainan dengan klaim polisi yang menyebutkan terdapat tujuh luka dari lima tembakan.

Bukan kali pertama Polri menyembunyikan fakta, menurut Rivanlee. Contoh kasus sebelumnya ialah penembakan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam. Pada persidangan kasus, terbukti bahwa sejumlah warga sekitar diduga diintimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus fail rekaman penangkapan.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan dalam persidangan.

Selain itu, untuk lari dari pertanggungjawaban pidana, polisi berdalih bahwa tindakan diambil merupakan langkah terukur terhadap pelaku kriminal.

“Padahal dalam peristiwa ini, kami justru menemukan adanya dugaan rekayasa kasus dan fakta,” kata Rivanlee.

Berdasar pemantauan Kontras, dalam mekanisme pertanggungjawaban perkara pidana yang melibatkan anggota kepolisian, terdapat pola.

Pola kesatu, ketidaktegasan dalam mendorong mekanisme pidana pada anggota yang terbukti bersalah dan menyerahkan pada mekanisme internal (etik/disiplin) semata; kedua, upaya menyelesaikan perkara dengan cara “kekeluargaan” atau “perdamaian” yang membuat pihak korban menjadi tertekan dan menyetop perkara; ketiga, tidak adanya evaluasi kelembagaan serta perbaikan institusi dari kesalahan yang terjadi.

Selain memunculkan keberulangan peristiwa, hal tersebut akan berimplikasi pada terkikisnya kepercayaan masyarakat dan meruntuhkan wibawa Korps Bhayangkara sebab, hal tersebut akan mencoreng asas persamaan di hadapan hukum dan hanya memperpanjang fenomena impunitas aparat.

Kontras mendesak Kapolri menjamin independensi dan transparansi kepada tim khusus yang bertugas mengungkap fakta serta menyampaikan secara berkala pada publik atas perkembangan yang terjadi. Kontras juga meminta Kapolri menjamin masukan, saran, serta penyampaian dari pihak keluarga korban untuk bebas dari tindakan intimidatif dan tekanan dalam bentuk lain guna mencari fakta seterang-terangnya.

Sementara bagi pengawas eksternal kepolisian, seperti Kompolnas, juga memastikan profesionalitas kelembagaan dalam pengusutan perkara, dan meminta LPSK untuk menjamin perlindungan bagi keluarga korban.

Baca juga artikel terkait POLISI TEMBAK POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto