tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan konstruksi perkara kasus dugaan pemerasan pada pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) 2019-2024.
Kasus ini menjerat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer alias Noel, dan 10 orang lainnya yaitu Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 Irvian Bobby Mahendro, Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja Gerry Aditya Herwanto Putra, dan Sub Koordinator Keselamatan Kerja Ditjen Bina K3 Subhan. Kemudian, Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja Anita Kusumawati.
Kemudian, Direktur Binwasnaker dan K3 Fahrurozi, Direktur Bina Kelembagaan Hery Sutanto, Sub Koordinator Sekarsari Kartika Putri, Koordinator Supriadi. Juga ada dua pihak dari PT KEM Indonesia, Temurila dan Miki Mahfud.
Ketua KPK, Setyo Budianto, mengatakan bahwa pemerasan ini dilakukan dengan mengancam para pihak yang ingin mengurus sertifikat K3. Para pihak tersebut, diminta untuk membayar biaya senilai Rp6 juta dari biaya yang seharusnya hanya Rp275 ribu.
"Hal ini menjadi ironi, ketika kegiatan tangkap tangan KPK mengungkap bahwa dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp6.000.000, karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih," kata Setyo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).
Setyo mengatakan, atas penerimaan uang dari selisih antara yang dibayarkan oleh para pihak yang mengurus penerbitan sertifikat K3, kepada perusahaan jasa K3 dengan biaya yang seharusnya sesuai tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kemudian uang tersebut mengalir ke beberapa pihak, yaitu sejumlah Rp81 miliar.
Kata Setyo, pada 2019-2024 Irvian Bobby diduga menerima Rp69 miliar melalui perantara. Kemudian, uang tersebut digunakan untuk belanja hiburan, DP rumah, dan setoran tunai kepada Gerry dan Hery serta pihak lainnya.
Uang tersebut juga digunakan untuk pembelian sejumlah aset seperti beberapa unit kendaraan roda empat hingga penyertaan modal pada tiga perusahaan yang terafiliasi PJK3.
Sementara itu, Gerry diduga menerima aliran uang sejumlah Rp3 miliar dalam kurun waktu 2020 hingga 2025, yang berasal dari sejumlah transaksi, diantaranya, setoran tunai mencapai Rp2,73 miliar, transfer dari Irvian Bobby sebesar Rp317 juta, dan dua perusahaan di bidang PJK3 dengan total Rp31,6 juta.
"Uang tersebut digunakan saudara GAH untuk keperluan pribadi, dibelikan aset dalam bentuk satu unit kendaraan roda empat sekitar Rp500 juta dan transfer kepada pihak lainnya senilai Rp2,53 miliar," ujar Setyo.
Selanjutnya, Subhan diduga menerima aliran dana sejumlah Rp3,5 miliar pada kurun waktu 2020-2025, yang diterimanya dari sekitar 80 perusahaan di bidang PJK3.
"Uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi di antaranya transfer ke pihak lainnya, belanja, hingga melakukan penarikan tunai sebesar Rp291 juta," tuturnya.
Kemudian, saudara Anitasari diduga menerima aliran dana sejumlah Rp5,5 miliar pada kurun waktu 2021-2024, dari pihak perantara. Atas penerimaan tersebut, aliran dana juga diduga mengalir ke pihak-pihak lainnya.
Kata Setyo, sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara, yaitu, Wamenaker Noel sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024 dan sisanya mengalir kepada pihak lainnya.
Para tersangka diduga telah melanggar Pasal 12 huruf e dan atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Bayu Septianto
Masuk tirto.id


































