tirto.id - “Heart rate gue naik!” ujar seorang kawan sambil menatap jam tangan pintarnya yang bergetar saat ia sedang presentasi. Ia tengah menjadi narasumber di salah satu sesi Konferensi Musik Indonesia 2025 yang digelar Kementerian Kebudayaan di Jakarta beberapa hari lalu, masih didera demam panggung.
Mantan jurnalis musik majalah ternama yang kini bekerja di salah satu platform musik plat merah itu berbicara tentang harapan dan ancaman industri musik ke depan. Detak jantungnya yang naik menandakan: topik ini bukan perkara sepele. Ia, bersama banyak narasumber lain, diundang sebagai bagian dari ekosistem musik tanah air yang dianggap “berpengaruh” dan “bertaji”.
Berbeda dari konferensi di Ambon beberapa tahun lalu yang diwarnai kegelisahan musisi terhadap RUU Permusikan, gelaran kali ini mencoba keluar dari pola “musisi-sentris”. Sebab industri musik tak hanya digerakkan oleh musisinya, tapi juga banyak peran lain yang menopang jalannya bisnis dan ekonomi musik.
Untungnya, sang pengampu acara, Wakil Menteri Kebudayaan dan timnya, menggandeng orang-orang yang tepat: mereka yang sehari-hari berkutat dengan strategi dan analisis pasar. Forum utama dan forum-forum kecil dirancang dengan tema relevan, menyasar regulator dan lembaga pemerintah terkait.
Dalam waktu singkat, kurang dari tiga bulan, konferensi ini disiapkan. Wajar muncul resistensi: dianggap terburu-buru, fondasi lemah, dan tak mewakili semua pihak. Tapi begitulah kita, ahli berprasangka, terutama jika melihat siapa penyelenggaranya. Resistensi dari kalangan musisi pun paling kentara. Namun, jika disikapi positif, itu justru tanda acara ini mendapat perhatian. Semoga di edisi berikutnya, mereka yang absen dengan sengaja mau mengubah pandangannya.
Menuju Industri yang Berkeadilan, Menguntungkan, dan Inklusif
Mari kesampingkan dulu hal-hal yang terasa janggal. Sebab meski berbeda pandangan, kita semua mendambakan industri musik yang berkeadilan, menguntungkan, dan inklusif. Siapapun yang akhirnya mendapat kredit dari inisiatif ini, biarlah. Politik adalah bagian dari industri, kadang tak bisa dihindari.
Kalau yang “kurang tepat” mendapat panggung, biarkan jadi pelajaran. Yang penting, mereka yang punya niat baik terus berusaha agar semuanya berjalan. Ini adalah sebuah keputusan berani yang diambil oleh Program Director Konferensi Musik Indonesia 2025, Kukuh Rizal Arfianto.
Sejak awal, banyak peserta datang dengan skeptisisme. Tapi mereka tetap hadir, memasang “kuda-kuda” untuk menguji regulator di tiap panel. Ada yang berhasil menyampaikan aspirasi, ada yang tidak. Di luar sesi, diskusi tetap sengit. Suasana dan atmosfer konferensi terasa hidup.
Meski tema dan narasumber disusun rapi, tak semuanya memuaskan. Ada juga pembicara yang tampil tanpa substansi. Tapi mari dimaklumi: begitulah prosesnya. Kita tetap perlu fokus pada hal yang lebih penting.
Seorang kawan yang lama memperhatikan musik Indonesia Timur sempat berkata di sesi penutup:
“Yang kurang dari kita itu adalah memperhatikan. Karena banyak yang hanya mengambil manisnya saja.”
Sudah malam, wajah para peserta letih. Banyak yang mengangguk setuju.
Di sesi sebelumnya, terjadi adu gagasan antara peserta dan narasumber. Tema dipersoalkan: ada yang menggugat jawaban menggantung dari pemangku kebijakan; ada yang mengkritik istilah “hyperlocal”; bahkan panel “Diplomasi Budaya” justru diisi soal visa dan pembiayaan tur.
Tiga Mesin Berbeda
Konferensi ini memperlihatkan perbedaan nyata di antara peserta dari berbagai generasi. Bukan soal umur, tapi cara berpikir. Seolah ada tiga mesin yang bekerja.
Mesin pertama: peserta bergaya lama, dari organisasi bersejarah yang pernah berjaya di industri musik. Mereka paling vokal di setiap sesi, memberi tanggapan dan saran.
Mesin kedua: mereka yang tak berafiliasi, tapi sudah paham cara kerja industri modern. Terbiasa mengambil keputusan berbasis data, mengelola bisnis musik secara efektif.
Mesin ketiga: kelompok baru yang masih menyerap pengetahuan, belajar dari sesi dan obrolan di luar forum, entah sambil “sebatang” atau makan bersama.
Untuk yang bermesin pertama, mari kita beri apresiasi: mereka bagian penting dari perjalanan industri.
Untuk yang bermesin kedua, semoga terus semangat, kritis, dan berani mengambil langkah strategis demi iklim musik yang sehat.
Dan bagi pemilik mesin ketiga, mereka inilah yang kelak membawa musik Indonesia menjadi soft power yang nyata, bukan sekadar bisnis kaleng-kaleng.
Mereka akan terus menularkan semangat dan mencurahkan tenaga untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh pelaku musik: musisi, pencipta lagu, teknisi, dan tim produksi.
Konferensi Musik Indonesia adalah salah satu ikhtiar bersama para pegiat musik. Melibatkan banyak kementerian dan lembaga, ini menjadi sinyal bahwa musik kini dipandang sebagai sektor strategis. Jika dikelola dengan serius, nilainya bisa melebihi sumber daya alam, seperti yang ditunjukkan para narasumber lewat data-data mereka.
Dalam dua hari yang padat, dari pagi hingga malam, lahir beragam rekomendasi dari ruang-ruang diskusi. Semua mewakili suara dan pemikiran peserta. Ini baru langkah awal.
Resistensi pun tak masalah. Setiap upaya baik, pada akhirnya, akan beresonansi dengan kebaikan juga.
Editor: Nuran Wibisono
Masuk tirto.id


































