tirto.id - Bencana selalu membawa perubahan pada pola hidup, relasi manusia, hingga hubungan manusia dengan alam. Sebagai contoh, wabah Kematian Hitam (Black Death) yang bermula di Eropa pada abad ke-14 telah meruntuhkan sistem feodalisme lama.
"Kenapa [hal itu terjadi]? Karena saat itu, sekitar 75-200 juta jiwa mati di Eurasia dan Afrika, sehingga pekerja menjadi sedikit. Semakin sedikit pekerja, otomatis upah semakin tinggi, dong. Para tuan tanah dan para aristokrat akhirnya menemukan teknologi baru,” terangnya.
Selain itu, ada pula wabah Demam Kuning yang terjadi di Haiti yang menyebabkan Revolusi. Juga wabah Ternak (Rinderpest) yang terjadi di Afrika. Wabah ini telah menjangkiti 90 persen ternak yang menyebabkan kelaparan di benua hitam. Kehidupan sosial rontok sehingga masyarakat kabur dari daerah terdampak wabah tersebut.
Perubahan selama dan setelah bencana menyeret manusia pada zaman "normal baru" yang mesti dihadapi dengan cara-cara yang berbeda.
Bagaimana dengan pandemi Covid-19 yang kini tengah melanda hampir seluruh dunia? Perubahan apa yang dibawa wabah ini dalam keseharian?
Pertanyaan-pertanyaan itulah di antaranya yang menjadi bahan diskusi pada Jumat (24/4/2020), dalam acara perayaan Hari Buku Sedunia 2020 yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Literasi Indonesia.
Pembicara pada sesi ke-6 itu adalah Kanti W. Janis, seorang penulis, pengacara, dan menjabat sebagai sekjen Satupena. Diskusi yang dilakukan secara daring ini berjudul "Memilih Bacaan untuk Menghadapi Normal Baru Pascapandemi".
WFH, Banting Setir, dan Kedermawanan
Sebelum bermuara pada normal baru setelah pandemi yang entah kapan akan berakhir, kebiasaan-kebiasaan baru justru telah lahir sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung, termasuk di Indonesia.
Wabah ini telah memaksa sebagian lapisan masyarakat untuk bekerja dari rumah. Ritme bekerja pun otomatis berubah sebab kadang direcoki oleh urusan domestik. Juga pola komunikasi dengan rekan kerja yang berubah karena hanya bertatap muka di dunia maya, itu pun tak jarang dipusingkan dengan kendala teknis jaringan internet.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan bahwa total pekerja Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas per Agustus 2019 sebanyak 126,51 juta orang. Persebaran terbanyak terdapat pada pekerja informal, yaitu 70,49 juta orang. Sementara pekerja formal hanya 56,02 juta orang.
Angka pekerja formal yang minoritas itu berdasarkan data Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES), yang benar-benar bekerja secara remote atau jarak jauh hanya 10 persen. Meski kecil, angka ini menggambarkan perubahan kebiasaan baru atau normal baru selama pandemi berlangsung.
Kondisi lain yang mulai menggambarkan normal baru adalah banyaknya industri yang banting setir menyediakan pelbagai kebutuhan selama pandemi ini berlangsung.
“Sekarang, di tengah wabah ini, tanpa disadari telah menghadapi normal baru. Kawan-kawan saya, telah banyak beralih ke industri pengolahan makanan, minuman, menyediakan masker, menjahit APD, dan membuat hand sanitizer," tutur Kanti.
Selain itu, kebiasan baru lainnya adalah tumbuhnya gerakan filantropis di tengah masyarakat secara luas. Kondisi ekonomi yang tumbang membuat ribuan orang di PHK, terjadi pemotongan gaji, pedagang kecil sepi pembeli, dan sebagainya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong kebiasan baru, yakni masyarakat yang lebih sadar untuk berlomba menggalang bantuan kemanusiaan. Solidaritas tumbuh dan menyebar.
Memilih Bahan Bacaan
Bagi sebagian kalangan, bahan bacaan juga tidak kalah penting dari kebutuhan pokok saat pandemi menerjang, sebab pelbagai kabar buruk kian menambah tekanan psikologis.
Menurut Kanti W. Janis, di tengah kondisi tersebut, kita sebaiknya menyeleksi mana yang paling penting bagi hidup, termasuk dalam memilih bahan bacaan.
Kanti sendiri memilih beberapa buku berikut: The New Health Rules (Frank Lipman, M. D. & Danielle Carlo), Teknologi Praktis untuk Petani Mandiri (Sentot Burhanudin Iksan), Titik Balik Evolusi Budaya Air Hujan (V. Kirjito), The Drama of the Gifted Child (Alice Miller), dan The Miracle of Endorphin (Dr. Shigeo Haruyama). Baginya, buku-buku tersebut ia pilih sebagai bekal terapan untuk memenuhi kebutuhan harian.
Ia menambahkan, selain ragam aktivitas yang berubah, di zaman normal baru juga pilihan bahan bacaan akan ikut berubah. Tidak menutup kemungkinan pada saat itu kita akan memilih bahan bacaan yang lebih berguna untuk kepentingan kita.
Pada akhirnya, imbuh Kanti, bahan-bahan bacaan itu lahir dari pertanyaan-pertanyaan terhadap kebutuhan dasar apa yang dapat disediakan sendiri, seperti makanan sehat, air bersih, ketenangan pikiran, serta kesehatan raga.
"Buku-buku yang kita konsumsi hendaknya dapat dipraktikan di rumah, seperti membuat urban farming, mengolah air hujan menjadi air yang baik untuk dikonsumsi, dan memilih bahan makanan yang sehat untuk tubuh kita," ujarnya.
Di pengujung acara Kanti menyampaikan bahwa normal baru tak dapat dielakkan. Sebagaimana beberapa contoh yang telah dipaparkan sebelumnya, pelbagai perubahan telah dan akan datang setelah pandemi ini berlalu. Dan kita, sekali lagi, mesti adaptif terhadap perubahan tersebut.
“Normal baru tidak dapat dihindari, sekarang tinggal memilih mau menjadi poros perubahan atau ikut arus” pungkasnya.
=======
Laporan ini ditulis oleh Heri Maja Kelana (Penulis, pengelola Rumah Baca Taman Sekar Bandung). Hari Buku Sedunia 2020 yang diadakan oleh Perkumpulan Literasi Indonesia berlangsung pada 23 April-2 Mei 2020. Tahun ini mengusung tema Indonesia Online Festival, "Book Lovers in the Time of Corona: Sharing, Collaboration and Create"
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti