tirto.id - Berita tentang kondisi Myanmar saat ini usah junta militer melakukan kudeta sejak awal Februari lalu belum mereda. Baru-baru ini, seorang polisi mengaku bahwa dia diperintah oleh militer untuk menembak pengunjuk rasa dan ia menolak untuk melakukan hal itu.
"Saya diberi perintah untuk menembak para pengunjuk rasa. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak bisa," kata Naing (bukan nama sebenarnya) seperti diwartakan BBC, Kamis, 11 Maret 2021.
Menurut pengakuannya kepada BBC, ia melarikan diri ke perbatasan India setelah menolak perintah militer. Ia takut dipaksa membunuh atau mencelakai warga sipil.
Selama 9 tahun Naing menjadi polisi di Myanmar dan sekarang wanita berusia 27 tahun itu bersembunyi di negara bagian Mizoram.
"Saya takut akan dipaksa untuk membunuh atau melukai orang-orang tak bersalah yang memprotes militer," kata seorang perwira. "Kami merasa bahwa adalah salah bagi militer untuk menggulingkan pemerintah terpilih."
Sejak demontrasi pada awal Februari lalu, pasukan keamanan dituduh membunuh lebih dari 50 orang. Kendati demikian, BBC tidak dapat memverifikasi secara independen klaim apa pun yang dibuat oleh polisi tersebut.
Sikap UN Women & Penangkapan 600 Perempuan Myanmar
UN Women atau Entitas Perserikaan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan mengutuk keras cara militer menggunakan kekerasan dalam merespons unjuk rasa damai selama sebulan terakhir di Myanmar.
"Respons represif ini telah merenggut nyawa enam perempuan dan mengakibatkan penangkapan hampir 600 perempuan, termasuk perempuan muda, LGBTIQ + dan aktivis masyarakat sipil. Selain itu, mereka yang ditahan juga dikabarkan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual," kata mereka sebagaimana dilansir laman myanmar.un.org.
UN Women menyatakan, dalam sejarah Myanmar, wanita telah lama memainkan peran penting. Mereka terus berperan dan tidak boleh diserang dan dihukum karena ekspresi damai mereka.
Sebabm Myanmar adalah salah satu penandatangan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang menyatakan, antara lain, bahwa “pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia dan tujuan perdamaian membutuhkan partisipasi maksimum dari perempuan yang setara dengan laki-laki di segala bidang ”dan menjamin“ pelaksanaan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki ”.
Komite CEDAW dengan jelas menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi yang dilarang berdasarkan Konvensi.
"Kami menyerukan kepada militer dan polisi Myanmar untuk memastikan bahwa hak berkumpul secara damai dihormati sepenuhnya dan bahwa para demonstran, termasuk wanita," kata UN Women.
"Kami selanjutnya menyerukan kepada militer dan polisi untuk menghormati hak asasi perempuan yang telah ditangkap dan saat ini ditahan dan mengulangi seruan untuk segera membebaskan semua tahanan," ungkap mereka.
Penyebab Kudeta Militer Myanmar
Negara Myanmar mengalami guncangan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021 lalu. Dalam kudeta itu, militer menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.
Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengambil alih kekuasaan selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat.
Ketegangan ini terjadi karena tentara menuduh pemerintah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu, di mana partai Suu Kyi dituding memperluas mayoritas parlemennya dengan mengorbankan perwakilan militer. Namun demikian, komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang kuat terkait dengan tudingan itu.
Atas hal itu, tentara mempromosikan Wakil Presiden Myint Swe menjadi penjabat presiden pada Februari 2021 setelah mereka menggulingkan Presiden Win Myint dan kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi dalam sebuah kudeta militer.
Sejak junta militer merebut kekuasaan dan menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, masyarakat sipil Myanmar turun ke jalan untuk melakukan protes. Gelombang massa semakin meningkat meskipun pasukan keamanan berulang kali menembakkan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam untuk membubarkan massa. Bahkan, militer turut menangkap pengunjuk rasa secara massal.
Seorang pejabat PBB mengatakan, setidaknya ada 38 orang tewas dalam unjuk rasa pada Rabu, 3 Maret 2021.
"Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi pada 1 Februari. [...] hanya hari ini - 38 orang tewas. Kami sekarang memiliki lebih dari 50 orang tewas sejak kudeta dimulai dan lebih banyak lagi yang terluka," kata pejabat PBB utusan Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan kepada wartawan di markas besar PBB pada Rabu seperti dilansir Star Tribune.
The Democratic Voice of Burma, sebuah televisi independen dan layanan berita online, juga menghitung ada 38 kematian. Sedikitnya, 34 korban dikumpulkan oleh seorang analis data di Yangon, kota terbesar di Myanmar.
Editor: Iswara N Raditya