tirto.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan sejumlah kritik terhadap naskah Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) per September 2019.
Salah satu poin kritik Komnas Perempuan tersebut adalah perlunya menghapus sejumlah pasal yang diduga menyimpang dari asas legalitas dan berpotensi diskriminatif terhadap kelompok rentan.
"Penting menghapus usulan norma hukum yang hidup di masyarakat (pasal 2, pasal 66, pasal 96, pasal 97, pasal 116, pasal 120, pasal 597), karena pasal ini menyimpang dari asas legalitas: tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keterangan tertulisnya dikutip Selasa (5/7/2022).
Sejumlah pasal yang disebut oleh Andy tersebut mengatur adanya tindak pidana berdasarkan hukum adat. Menurutnya, hal tersebut berpotensi mendorong maraknya peraturan daerah diskriminatif yang memuat ketentuan pemidanaan sekaligus sanksi pidana dan mengkriminalkan kelompok rentan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong harmonisasi RKUHP dengan UU TPKS yang telah berlaku.
Komnas Perempuan menilai pemerintah dan DPR perlu menegaskan bahwa enam jenis kekerasan seksual berikut ini merupakan tindak pidana kekerasan seksual, yakni (1) perkosaan, (2) pencabulan dan persetubuhan, (3) tindak pidana terhadap perkawinan, (4) melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, (5) pemaksaan aborsi, (6) pemaksaan pelacuran.
Lebih lanjut, harmonisasi RKUHP dengan UU TPKS juga perlu dilakukan di Bab XXXIV Tentang Tindak Pidana Khusus Bagian Keenam RKUHP dan menegaskannya dalam Ketentuan Peralihan RKUHP dengan memasukkan pasal 4 ayat (2) UU TPKS.
"Sehingga korban kekerasan seksual yang diatur di RKUHP dapat mengakses hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan yang diselenggarakan sebelum, selama, dan setelah putusan peradilan pidana sebagaimana yang dijamin dalam UU TPKS," kata Andy. Selain permasalahan substansi, Komnas Perempuan juga menyayangkan keputusan pemerintah dan DPR yang hingga saat ini belum juga membuka draf RKUHP. Padahal berdasarkan RDP Komisi III DPR RI dengan pemerintah pada 25 Mei 2022 disebutkan bahwa sedianya RKUHP akan disahkan pada Juli 2022.
"Kondisi ini patut disayangkan karena menghambat pemenuhan hak warga negara untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan undang-undang. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi: Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat," kata Andy.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Restu Diantina Putri