tirto.id -
Marwan mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa pada 2016 dan awal 2018, saat harga CPO turun ke titik terendah (sekitar 414 dolar AS per ton), pemerintah sangat aktif mempromosikan program-program B10, B20 bahkan B30.
B20 adalah program pemerintah dimana produsen harus mencampur solar 80 persen dengan 20 persen bahan bakar minyak kelapa sawit. Menurutnya, masih tanda tanya juga untuk penerapan B20, apabila harga minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO) nantinya naik.
"Tujuannya agar permintaan CPO meningkat dan harga CPO terkerek naik. Penaikan harga CPO ini akan meningkatkan penerimaan negara," ujar Marwan kepada Tirto pada Kamis (27/9/2018).
Namun setelah harga CPO “pulih”, promosi program-program B”X” tersebut seolah dilupakan. Tak terlihat upaya yang komprehensif guna meningkatkan penggunaan CPO pada sektor energi. "Terkesan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan industri sawit dibanding kepentingan ketahanan energi nasional," ujar Marwan.
Marwan mengatakan program B20 semestinya tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi dan industri CPO, tetapi juga pada kepentingan ketahanan energi. Ketiga hal tersebut mestinya ditangani secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Marwan mengatakan semestinya pemerintah telah menerapkan B20 secara terintegrasi dan berkelanjutan sejak lama, karena B20 yang merupakan energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi, yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. B20 juga dapat menghemat devisa, meningkatkan devisa ekspor melalui naiknya harga CPO dan meningkatnya harga di tingkat petani.
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro. Ia mengatakan pelaksanaan mandatori Biodiesel 20 persen (B20) baik untuk skema public service obligation (PSO) dan Non-PSO, saat ini masih belum berjalan sepenuhnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri